Kamis, 28 Maret 24

Breaking News
  • No items

KHA Wahid Hasjim tentang Hukum Pilih Bukan Muslim

KHA Wahid Hasjim tentang Hukum Pilih Bukan Muslim
* K.H.A. Wahid Hasjim.

BAGAI nyanyian merdu yang selalu diulang-ulang, isu kebangsaan dengan segala turunannya selalu terdengar lagi, dan lagi.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

Pada 1990, sesaat sesudah berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), orang ramai-ramai memperdengarkan nyanyian –kali ini sumbang– mengenai sektarianisme. Kelahiran ICMI dianggap sebagai kelahiran kembali sektarianisme di tubuh bangsa Indonesia.

Untuk merespons ICMI yang “sektarian” sejumlah orang kemudian menggagas pembentukan Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP) yang sampai tulisan ini dibuat, tidak pernah terdengar kabar beritanya.

Padahal, jika kita membaca sejarah mengenai isu Islam dan  kebangsaan, soal itu sudah selesai sejak 1930-an ketika lambat-laun yang dipersoalkan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional ialah mengenai bagaimana mengisi kemerdekaan yang sedang diperjuangkan.

Menjelang kemerdekaan semua orang, baik Islam maupun nasionalis, berkeyakinan kita ini satu bangsa, bersaudara, dan mau mendirikan sebuah negara yang merdeka.

Piagam Jakarta 22 Juni 1945 –dengan Bung Karno sebagai inisiator utama– masalahnya juga soal isi. Perdebatan di Konstituante, juga mengenai apa yang akan diisikan ke dalam Undang-Undang Dasar: Pancasila, Islam, atau Sosial Ekonomi.

Di Konstituante, menurut Prof. Dr. Deliar Noer, macam-macam pendapat tentang Pancasila keluar. Malah ada pihak yang demikian bersemangat mendukung Pancasila, sehingga justru memperlihatkan kelemahan Pancasila sendiri.

Jika kemudian tiba-tiba tuduhan sektarian –dalam bahasa sekarang: antikebhinekaan, intoleran, dan sebagainya– dimunculkan lagi, sangat terasa sekali itu cuma mencari-cari persoalan yang sudah lama selesai.

Kembali ke Orde Baru?

Yang tidak kurang anehnya, muncul pula isu mengenai politik identitas atau politik aliran. Siapa saja yang mengemukakan pendiriannya, apalagi didasarkan kepada keyakinan agama, dengan serta merta dianggap telah memainkan politik aliran, politik identitas, dan politik sektarian.

Tudingan seperti itu segera saja mengingatkan kita ke masa-masa suram di era Orde Baru ketika penguasa dengan lantang berteriak: “Pembangunan Yes! Politik No!”, “Program Yes! Ideologi No!”

Di masa inilah, atas nama pembangunan, ideologi harus ditunggalkan. Dan partai politik serta organisasi kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Walhal, Bung Karno sang Penggali Pancasila, dalam pidato di depan Gerakan Pendukung Pancasila (GPPS), 17 Juni 1954, berkata: “Jangan Pancasila diakui oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Pancasila adalah asasku. PNI tetaplah pada asas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justeru karena PNI berasas Marhaenisme itulah, PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah satu partai ideologi, lalu partai-partai lain tidak mau.”

Apakah fenomena politik hari-hari ini merupakan pertanda kita akan kembali ke masa Orde Baru?

Agama dan Politik

Di tengah hiruk-pikuk itu, tiba-tiba terdengar seruan dari Presiden Joko Widodo agar politik dipisahkan dari agama.

Seruan Presiden itu tentu berbeda dengan keyakinan bahwa agama dan politik tidak dapat dipisahkan.  Agama dan politik itu seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Politik tanpa agama, hancur.

Sikap inilah yang menyebabkan umat Islam Indonesia tidak pernah surut perlawanannya terhadap kaum penjajah. Dalam hubungan ini, Dr. Setya Budi (sebelum menjadi Muslim dan menjadi anggota Masyumi bernama Douwes Dekker) mencatat bahwa dalam banyak hal Islam merupakan nasionalisme di Indonesia dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, sudah lama nasionalisme yang sebenar-benarnya (tulen) hilang lenyap.

Itu pula sebabnya di kalangan kaum Muslimin, sejak pertama kali diselenggarakan pemilihan umum, telah tumbuh anggapan bahwa   keikutsertaan kaum Muslimin dalam pemilihan umum adalah wajib atau fardhu ‘ain. Dan berdosalah yang tidak turut bergiat dalam pemilihan umum.

Jika bergiat dalam pemilihan umum adalah wajib, bagaimana dengan memilih non-Muslim atau orang yang tidak ingin menjalankan syariat Islam?

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H.A. Wahid Hasjim (1914-1953) dalam sebuah tulisan berjudul “Akan Menangkah Ummat Islam dalam Pemilihan Umum yang Akan Datang?” antara lain mengemukakan bahwa sudah cukup lama menjadi perbincangan di kalangan kaum Muslimin, terutama para ulama, tentang hukum Islam terhadap orang Muslim yang memilih wakil rakyat yang bukan Muslim atau Muslim tetapi tidak bercita-cita melaksanakan syariat Islam.

“Apakah seorang Muslimin boleh memilih calon-calon wakil rakyat yang demikian sifatnya?” tanya putra Hadratus Syaikh K.H.M. Hasjim Asj’ari ini.

Dalam berbagai konferensi alim ulama, menurut Kiai Wahid, telah diambil keputusan: “haramlah dalam pandangan agama seorang Muslimin memilih calon wakil rakyat yang bukan Islam, ataupun yang Islam tetapi tidak bercita-cita melaksanakan syariat Islam, dengan tidak memandang dari partai apapun.”

Tidak Ada Salahnya

Ayahanda K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu lebih lanjut menegaskan, meskipun calon dari suatu partai yang berdasar Islam, NU umpamanya, jikalau tidak bercita-cita melaksanakan syari’at Islam, haramlah hukumnya dipilih oleh seorang Muslim.

“Keputusan ulama seperti itu,” tulis Kiai Wahid, “dalam pendengaran sementara pihak tidak enak diterima. Tetapi dalam demokrasi theoritis sebenarnya tidak ada salahnya sesuatu golongan mengambil keputusan teruntuk bagi golongannya sendiri. Dan tidak ada alasan buat orang luar untuk berkeberatan.”

Di bagian lain tulisannya, anggota Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu mencatat sekelompok orang yang demikian giatnya menginsafkan bahwa dalam Islam tidak ada paksaan, bahkan sedemikian jauhnya menunjukkan kelapangdadaan Islam sampai-sampai mengatakan bahwa tiap-tiap Muslim mempertaruhkan jiwanya untuk mempertahankan gereja.

Kiai Wahid menyerahkan benar atau tidaknya “mempertaruhkan jiwa untuk mempertahankan gereja” kepada orang-orang yang lebih ahli.

Mantan Menteri Agama itu mencatat, menghadapi pemilihan umum partai politik Islam ada yang mencari simpati ke kaum Muslim, ada juga yang mencari simpati ke kalangan luar Muslim. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.