Sabtu, 20 April 24

Jokowi Diminta Urungkan Minta Maaf ke Korban Tragedi 1965

Jokowi Diminta Urungkan Minta Maaf ke Korban Tragedi 1965

Jakarta, Obsessionnews – Ketua Umum Komunitas Keluarga Besar Angkatan 1966 (KKB ’66) Binsar Effendi Hutabarat meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengurungkan niatnya yang kabarnya berencana meminta maaf kepada pihak PKI korban tragedi 1965 dalam teks pidato kenegaraan 16 Agutus 2015 mendatang di DPR.

Jika isu tersebut tidak benar,Binsar Effendi yang juga Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966 berharap adanya penjelasan Presiden Jokowi, agar segala sesuatunya tidak lagi menjadi bahan perbincangan di ranah publik yang sungguh-sungguh akan menyakitkan TNI-AD, Umat Islam dan Angkatan 1966.

Surat bernomor 023/PP/KKB’66/VII/2015 dan bersifat konfidensial, perihal mohon diurungkan jika benar akan jadi teks pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2015 di DPR. Diawali dengan pernyataan, bahwa dalam suasana lebaran, Pengurus Pusat KKB ’66 menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Iedul Fitri 1436 H, mohon ma’af lahir dan bathin kepada Presiden itu

Dalam suasana yang penuh ampunan ini, kata Binsar, KKB ’66 merasa perlu untuk menyampaikan pula harapan yang sangat prinsipil kepada Presiden. Sekalipun Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo dalam memberikan pengarahan kepada perwira tinggi se-Garnisun Jakarta dan perwira menengah Mabes AD pada 29 Juni 2015 lalu yang menyoroti isu tentang Teks Pidato Kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2015 di DPR, yang akan memuat permintaan maaf secara resmi dari pemerintah diantaranya kepada korban pelanggaran HAM G.30.S PKI yang oleh Bapak KSAD terkait isu ini dinyatakan hal itu tidak benar.

“Namun sebelum ada penjelasan dari Presiden secara langsung, rasanya kami masih belum yakin jika isu tersebut berada pada posisi tidak benar atau benar adanya. Sebab telah kami catat bahwa Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Nur Khaeron selepas pemutaran film Senyap di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 10 November 2014, pernah mengeluarkan pernyataanharus mendukung presiden baru (maksudnya Jokowi) karena dia ingin menyelesaikan masalah HAM.Bahkan kalau perlu, Komnas HAM juga berharap Presiden meminta maaf kepada keluarga korban yang menderita karena dituding PKI, dan memastikan pelanggaran HAM tak terjadi lagi,” tutur Binsar.

Ketua Umum KKB ’66 ini memaparkan, bekas Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen di Surabaya, pada 3 Juli 2015 menyikapi gagasan Presiden yang bakal mohon maaf pada keluarga PKI dalam Pidato Kenegaraan, dinilainya jika langkah itu dikerjakan, berarti Pemerintah mengaku semua rakyat Indonesia yang menuntut PKI dibubarkan bersalah dalam tragedi 1965. Termasuk Pemerintah mengaku TNI-AD bersalah, NU bersalah, Muhammadiyah bersalah. “Tentunya termasuk Angkatan 1966 juga dianggap bersalah”, bebernya.

Menyusul Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang KH. Salahuddin Wahid di Jakarta yang pada 14 Juli 2015 menyarankan Presiden untuk tidak menyampaikan permintaan maaf atas nama negara kepada PKI. Gus Solah juga menyarankan agar Presiden tidak menambah masalah dengan melakukan hal yang tidak perlu, masih banyak masalah lain yang mendesak untuk diselesaikan oleh pemerintahan Bapak Presiden. Gus Solah pun mengingatkan, bahwa PKI itu merupakan pemberontak yang sudah diketahui publik, dan Gus Solah yakin Presiden mengetahui hal itu. Tetapi kalau nanti Presiden nekad meminta maaf bisa melukai bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya yang pernah berhadapan langsung dengan PKI. “sama artinya, melukai kami, Angkatan 1966” imbuh Binsar Effendi.

Sebenarnya, pada tahun 2012, ungkap Ketua KKB ’66 ini, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) bersama 22 organisasi kemasyarakatan dan sejumlah tokoh, termasuk juga mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga serta penyair Taufik Ismail, telah membuat deklarasi yang langsung menentang hasil penyelidikan Komnas HAM tentang pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965. “Masih jelas dalam ingatan yang menimbulkan banyak korban jiwa, sejak pemberontakan PKI 1948 sampai dengan Pemberontakan G.30.S/PKI 1965. Kita juga sudah sangat paham bahwa PKI sangat pandai melakukan infiltrasi atau penyusupan,” demikian bagian isi deklarasi tersebut.

Ketika itu, Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali, ikut menandatangani deklarasi itu dan mengatakan persoalan 1965 adalah persoalan kebangsaan. Peristiwa 1948 dan 1965 ini memang terjadi saling bunuh-membunuh, dan culik menculik. Beberapa kiai hilang, terus waktu NU barzanji dilempari ular, terus ada pentas ludruk ‘Sedane Gusti Allah’. Dan ini, menurut As’ad, benar-benar terjadi waktu itu. Dan As’ad juga menyampaikan keterangan yang dilakukan Presiden Gus Dur terhadap korban 1965 itu sudah lebih dari cukup, sehingga negara tidak perlu meminta maaf.

Sementara Ketua Umum PP GP Ansor Nusron Wahid, waktu it, juga berpandangan sama. Masalah 1965 tidak perlu diungkap karena situasi zaman pada saat itu adalah suasana perang ideologis. “Ada PKI yang mati, lalu juga ada kiai yang mati, sama-sama. Sehingga rekonsiliasi sebaiknya dibiarkan berlangsung secara alamiah dan berbudaya”, ujar Binsar Effendi mengutip pernyataan Gus Nusron.

Ketua KKB ’66 ini menyatakan, masih ingat ketika Jokowi kampanye Pilpres di Palembang, pada 25 Juli 2014, Presiden katakan bahwa sudah berulang kali dijelaskan kalau bapak dan ibu Jokowi itu dua-duanya haji. “Tapi sebaliknya pada 17 Agustus 2014, Anggota DPR Bambang Beathor Suryadi, justru mengajakkader-kader partai lain untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966, sehingga persoalannya menjadi bias” lanjut Binsar Effendi.

Padahal menurutnya, seperti diketahui bahwa TAP MPRS No XXV/1966 adalah ketetapan tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Lenininisme. “Karena itu, dengan segala hormat, kami menyampaikan satu permohonan – jika benar – agar diurungkan saja teks pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2015 di DPR terkait permintaan maaf atasnama negara kepada korban tragedi 1965”, pungkas Ketua Umum KKB ’66 Binsar Effendi seraya berharap jika isu itu memang tidak benar. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.