Sabtu, 20 April 24

Jokowi Didesak Lindungi Pengungsi Ahmadiyah di NTB

Jokowi Didesak Lindungi Pengungsi Ahmadiyah di NTB

Jakarta – Tim Gabungan Investigasi untuk Pemulihan Hak-Hak pengungsi Ahmadiyah di NTB mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai agenda prioritas pemerintah.

Desakan ini disampaikan di Jakarta, Senin (8/12/2014), saat lounching Tim Gabungan ini yang terdiri dari unsur Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, LPSK dan Ombudsman RI.

Selain mendesak presiden, Tim juga menyampaikan rekomendasi kepda pemerintah Provinsi NTB untuk membuat, melaksanakan serta mengevaluasi rencana jangka pendek, menengah dan panjang terkait solusi atas hilangnya hak-hak pengungsi Ahmadiyah di NTB. Seperti Hak atas akses kesehatan, pendidikan dasar dan menengah, kepastian dan perlindungan hukum serta memperoleh tempat yang layak, nyaman dan aman.

Rekomendasi lima tim gabungan negara itu merupakan hasil dari investigasi bersama yang mendapati sejumlah temuan hilangnya hak-hak dasar pengungsi Ahmadiyah. Beberapa temuan yang diperoleh antara lain berupa gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Muhamadiyah, ungkap Masruchah Komnas Perempuan melalui forum.

Maria Ulfa dari KPAI mengatakan, ada banyak ancaman perkosaan dan pelecahan seksual di tempat pengungsian. “Penyerangan dan pengusiran berulang terhadap pengungsi Ahmadyah, dan kesulitan mendapatkan akses kependudukan seperti sulitnya mendapat KTP, serta pembedaan rapor peserta didik Jamaah Ahmadiyah,” paparnya.

Indahyadi dari komnas HAM juga menganggap bahwa persoalan ini bisa  terjadi dilatar belakangi beberapa hal seperti SKB (Surat keputusan bersama) tiga menteri yang tidak berjalan efektif untuk menyelesaikan konflik Ahmadiyah, dan peran kepolisian yang tidak sungguh-sungguh dalam mengamankan dan melindungi pengunsi serta program pemerintahan dalam keputusan Gubernur NTB Nomor 357/2011 yang malah memuat kebijakan diskriminatif ihwal pemaksaan pindah agama bagi penganut Ahmadiyah.

Dari latar belakang tersebut melalui lounching tim gabungan mereka para korban Lili dari NTB dan Pak pronto selaku Ketua Ahmadiyah Indonesia beserta lima Tim gabungan berharap pemerintah yang baru ini dapat memberikan solusi untuk pemulihan hak pengungsi Ahmadiyah di NTB sebagaimana yang termuat dalam laporan yang disampaikan Tim Gabungan.

Kebijakan larangan terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah berikut:

1. Pada awal 1970-1980, Rabithan Islami (Ikatan Islam Sedunia) sebuah oraganisasi non pemerintah yang berpusat di Mekkah, Arab Saudi, mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari agama Islam.

2. Pada 21 juni 1983, suray keputusan Jaksa Agung No. Kep.IV.141/B/6/1983 tentanh pelarangan jemaah Ahmadiyah penyebarannya baik secara lisan maupun tulisan.

3. Tahun 1984 diperkuat oleh surat edaran Departemen Agama yang mempertegas pelarangan Ajaran Ahmadiyah.

4. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkaj fatwa pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat.

5. Tahun 2005, MUI kembali mengeluarkaj fatwa sesat kepada Ahmadiyah.

6. 16 April 2008, Badan Koordinasi pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pekem) menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari Islam.

7. Pada 9 juni 2008 diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag, Mendagri, Jaksa Agung tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dam/ atau Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat No. 3 tahun 2008 dan No. 199 tahun 2008. (Asm)

 

Related posts