Rabu, 24 April 24

Jangan Anggap Enteng Budaya Nongkrong

Jangan Anggap Enteng Budaya Nongkrong
* Hendrajit. (Foto: dok. pribadi)

Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute

Tempat nongkrong banyak di beberapa kota besar sekarang ini. Yang hilang adalah budaya nongkrong di kalangan anak-anak muda yang kemudian menjelma jadi pusat kreasi dan inovasi, bahkan untuk membuat sejarah.

Rumah kos HOS Cokroaminoto di Gang Paneleh Surabaya, menghasilkan pribadi-pribadi yang menggerakkan zaman seperti Sukarno, Semaun dan Kartosuwiryo. Kramat Raya 106 Jakarta tempat kos anak-anak milenial akhirnya membuat sejarah dicetuskannya Ikrar Pemuda Oktober 1928.

Di Bandung ada tempat namanya Jalan Tamblong, arah menuju Museum KAA, merupakan tempat nongkrong para mahasiswa Bandung yang kemudian berkreasi menerbitkan surat kabar mahasiswa yang berskala nasional, Mahasiswa Indonesia. Sampai-sampai bikin gerah penguasa, sehingga akhirnya diberangus. Tokoh sentralnya antara lain Rahman Toleng dan Sarwono Kusumaatmaja.

Mundur lebih jauh ke belakang, ada sebuah jalan bernama Pathuk, yang merupakan tempat ngumpul dan nongkrong anak-anak muda aliran sosialisme dari spektrum paling kiri bahkan komunis, kiri tengahan yang kelak populer dengan jejuluk Sosdem, sampai ke aliran liberal yang tersamar sebagai sosialis, sampai ke nasionalis radikal yang dikira kaum kiri. Kemudian kelak bernama Kelompok Studi Pathuk. Pak Harto, Presiden kedua RI, merupakan salah satu anggotanya.

Pada zaman penjajahan Jepang, para mahasiswa kedokteran menjadikan kampus dan asrama mahasiswa sebagai tempat nongkrong di jalan Prapatan 10 di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.

Di Menteng Raya 31 Jakarta adalah asrama tempat nongkrong para pemuda dan mahasiswa yang umumnya radikalnya nggak ketulungan, mulai dari Wikana, Chairul Saleh, Adam Malik, sampai DN Aidit.

Di Cikini 71 Jakarta, bersebelahan dengan Taman Ismail Marzuki sekarang, juga berkumpul secara rutin para mahasiswa dari berbagai latar belakang, termasuk almat ayah saya, yang tergabung dalam BAPERPI (Badan Persatuan Para Pelajar Indonesia). Kalau sekarang semacam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Di tempat inilah anak-anak muda umur 22 dan 23 tahun seperti Sujatmoko, Soebadio dan Sudarpo Sastrosatomo dengan berani dan kritis berdebat dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang 20 tahun lebih tua dibanding anak-anak muda itu.

Sehingga saking jengkel tapi kagumnya, Bung Karno pernah bilang seusai debat,”Lihat saja nanti, aku yakin Darpo dan Jatmoko bakal jadi orang besar.”

Dan benar prediksi Bung Karno. Sujatmoko jadi intelektual tersohor di tanah air, dan bahkan jadi rektor Universitas PBB. Padahal S-1 pun nggak lulus.

Di kalangan seniman dan budayawan juga ada tempat nongkrong yang kelak melahirkan seniman-seniman besar di bidang film, lukis dan sebagainya. Kelompok Seniman Pasar Senen, begitulah namanya. Dari sini lahir insan film seperti Usmar Ismail, Ali Shahab, Misbach Yusa Biran, Sukarno M Noer. Bahkan Harmoko yang kelak menteri penerangan terlama era Suharto, juga sering ngumpul di sini.

Maka itu benar kata Andito, salah satu narasumber yang di panel bareng saya waktu seminar tentang makna Sumpah Pemuda bagi kaum milenial beberapa waktu lalu, jangan anggap enteng budaya nongkrong di sebuah tempat yang sama secara rutin dan berkelanjutan. Siapa tahu dari tempat itu lahir ide-ide dan keputusan-keputusan bersejarah.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.