Sabtu, 20 April 24

Islam Merajut Persaudaraan

Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute

Dalam perjalanan Safari Ramadan dari Semarang menuju Surabaya, Rabu (14/6), di kereta api saya membaca kisah heroik Noor Lucman dari Kota Marawi. Kita tahu penduduk kota di wilayah Filipina Selatan ini sedang terjebak konflik.

Gerombolan bersenjata Maute meneror dan membunuh banyak warga sipil, terutama kaum Nasrani. Merespons tindakan yang brutal itu, tentara Filipina diterjunkan untuk menumpas kelompok Maute yang juga diduga terafiliasi dengan ISIS.

Yang menyentuh hati saya, Noor Lucman justru mengambil risiko di antara desing peluru dan jerit ketakutan warga. Pria Muslim ini menyembunyikan 64 orang Nasrani di rumahnya agar mereka lolos dari patroli gerombolan Maute.

Noor Lucman tidak sendirian. Di berbagai penjuru dunia, ada banyak kisah heroik seperti ini. Ironisnya, di abad 21, Muslimin seolah menyandang predikat sebagai kaum yang penuh dengan amarah dan kebencian.

Islam dicap sebagai agama yang tidak cinta damai, serta tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Islam juga dilabelkan sebagai agama yang menolak kemajuan zaman, termasuk globalisasi dan demokrasi.

Predikat dan stigma semacam ini tentu sangat menyakitkan dan melukai perasaan umat Islam seluruh dunia. Memang benar bahwa stigma itu merupakan implikasi dari ulah sejumlah kelompok Islam radikal. Mereka melakukan berbagai aksi teror yang keji, termasuk membunuh warga sipil yang tak berdosa.

Sebenarnya, jumlah kelompok Islam radikal ini sangat sedikit dibandingkan dengan populasi Muslim di seluruh dunia. Tapi akibat pemberitaan yang masif terkait aksi terorisme seolah memperkuat stigma itu. Terlebih dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi terutama media sosial, semakin mempercepat penyebaran berita tersebut.

Untuk itu, hati-hati melakukan generalisasi. Terorisme bukanlah Islam dan Islam bukan agamanya teroris, karena Islam tidak mengajarkan kebencian dan permusuhan.

Sejatinya, Islam diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW dan disebarkan sejak 14 abad yang lalu sebagai agama perdamaian. .

Peradaban Islam kemudian berkembang selama sekitar 1000 tahun lamanya, menjangkau seluruh bagian dunia ini. Kemudian, Islam juga menjadi landasan penting bagi Renaissance atau kebangkitan peradaban Barat yang kini mendominasi dunia.

Dalam perkembangannya, Islam dianggap sebagai ancaman bagi bangsa Barat, utamanya pasca insiden 11 September 2001 (9/11) di Amerika Serikat (AS). Tindakan kelompok Alqaidah ini menginspirasi berbagai kelompok Islam radikal lainnya, termasuk yang berada di Indonesia.

Terhadap tumbuhnya kelompok Islam radikal ini, negara-negara Barat meresponsnya dengan pendekatan agresif, di mana kekuatan militer digunakan sebagai komponen utamanya. Sebagai contoh serangan militer AS dan koalisinya di Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003. Tidak dapat dihindari, serangan militer ini menimbulkan jatuhnya korban jiwa yang tidak bersalah dan kerusakan kolateral yang meluas. Hal ini kemudian menjadi sebuah siklus balas dendam yang berkepanjangan dan amat sulit diputus. Konsekuensinya, di awal abad ke-21 ini, seolah dunia diwarnai perang Islam dan Barat.

Sebenarnya, di kalangan Islam moderat, yang merupakan kelompok Muslim mayoritas, mereka mengutuk keras tindakan kelompok teroris yang keji dan melabrak nilai-nilai kemanusiaan. Namun, ketika melihat jatuhnya korban jiwa yang tak berdosa akibat serangan militer negara Barat, kelompok Islam moderat tersebut juga tidak dapat menerimanya. Apalagi kelompok ini pun sebenarnya kerap menjadi korban dari perang itu.

Tidak hanya menjadi korban secara fisik, kelompok Islam moderat ini juga sering terkena imbasnya secara non fisik. Contohnya, perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam ketika masuk ke sebuah negara Barat, menimbulkan kebencian-kebencian baru di kalangan umat Islam terhadap Barat.

Tidak mudah untuk menghadirkan solusi yang permanen terhadap realitas dan kompleksitas di atas. Namun, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat diharapkan turut menghadirkan solusi. Indonesia juga diharapkan menjadi teladan untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang “Rahmatanlilalamin” (rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam). Umat Islam Indonesia juga harus mampu menunjukkan bahwa kaum Muslim adalah kaum yang rasional; bersih hatinya, jernih pikirannya.

Saya optimistis, umat Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan memenuhi eskpektasi dunia itu. Optimisme ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya pribadi. Alhamdulillah, baik dalam dinas keprajuritan maupun tugas pendidikan di berbagai negara, kaum Muslim Indonesia umumnya dipandang baik, toleran dan terhormat.

Ketika bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di perbatasan Libanon Selatan dan Israel pada 2006 misalnya, pasukan TNI yang mayoritas muslim sangat diandalkan. Saya mengalami sendiri bagaimana tentara Indonesia dipercaya untuk menengahi konflik antara kedua belah pihak yang bertikai.

Namun, sesungguhnya Indonesia yang sangat majemuk ini juga kerap menghadapi tantangan dan ujian di negeri dalam konteks kehidupan antarumat beragama. Konflik komunal di Poso dan Ambon, dan insiden lainnya, merupakan bukti toleransi dan rasa saling menghormati perbedaan antarpemeluk agama adalah hal yang paling krusial. Dalam konteks negara, toleransi dan rasa saling menghormati ini merajut persaudaraan dan persatuan anak bangsa.

Untuk mencapai persaudaraan dan persatuan anak bangsa itu, maka ada dua hal yang mesti kita cermati bersama.

Pertama, para ulama dan umara sepatutnya selalu bersatu dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Para umara mendapatkan mandat dari rakyat untuk menghasilkan kebijakan, program dan aksi yang berpihak pada kepentingan rakyat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan, para ulama diberikan ruang untuk dapat memberikan pandangan-pandangan yang jernih dari aspek keagamaan.

Kedua belah pihak harus saling mendengarkan dan menghormati satu sama lain sehingga dihasilkan solusi terbaik. Hubungan baik antara umara dan ulama, termasuk pemimpin agama lainnya, akan menghadirkan kesejukan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, marilah kita perkuat ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniyah dan ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah Islamiyah adalah memperkuat persaudaraan sesama umat Islam. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang hari ini hidupnya belum berkecukupan. Untuk itu, dalam bulan Ramadan ini marilah kita berbagi dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita.

Adapun ukhuwah insaniyah adalah menjaga persaudaraan antarsesama manusia tanpa melihat perbedaan keyakinan. Tindakan Noor Lucman di Marawi yang menyelamatkan 64 orang Nasrani dari ancaman gerombolan bersenjata Maute merupakan contoh nyata implementasi ukhuwah insaniyah ini.

Sedangkan ukhuwah wathaniyah adalah menjaga kerukunan antar umat beragama atas dasar saling menghargai dan menghormati perbedaan. Perbedaan pendapat dan keyakinan itu pasti, tetapi bukan untuk dijadikan pemisah di antara pemeluk agama. Untuk itu, umat Islam Indonesia harus dapat selalu menjadi teladan bagi masyarakat dunia dalam menjaga harmoni dalam keberagaman dan perbedaan antarmanusia.(*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.