
Jakarta – Setelah ramai pemberitaan jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, kini publik dihebohkan dengan pemberitaan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan yang secara “tiba-tiba” ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penerimaan hadiah dan rekening gendut.
Budi Gunawan adalah salah satu calon Kapolri yang diusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Dari sembilan nama yang diajukan, Jokowi akhirnya memilih Budi sebagai calon tunggal Kapolri. Entah apa yang menjadi pertimbangan Jokowi sehingga memutuskan untuk mengajukan hanya satu nama calon Kapolri ke Komisi III DPR RI.
Padahal nama Budi sudah banyak mendapat penolakan dari masyarakat. Sebab, Budi dianggap tidak memiliki integritas yang cukup untuk menjadi Kapolri. Kepala Kemdiklat Polri ini diisukan sebagai salah satu pejabat Polri yang memiliki rekening gendut alias transaksi tidak wajar. Terlebih dalam proses pemilihan calon kapolri itu, Presiden Jokowi tidak melibatkan KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk dilakukan penelusuran rekam jejak.
Alasan Jokowi tidak melibatkan lembaga-lembaga tersebut, lantaran menganggap laporan dari Kompolnas tentang integritas calon Kapolri sudah cukup jelas dijadikan pertimbangan untuk memilih Budi sebagai calon tunggal. Adapun mengenai dugaan rekening gendut, Jokowi mengaku sudah mendapat surat dari Kompolnas yang membuktikan bahwa Budi bersih dari tuduhan tersebut.
”Masalah rekening sempat saya tanyakan ke Kompolnas. Ini saya dapat surat ini keterangan klarifikasi penyelidikan bahwa transaksi itu wajar,” kilah Jokowi di Istana Negara, Rabu (14/1/2015).
Namun sebenarnya Jokowi sudah tahu bahwa Budi memang terindikasi punya masalah hukum. Pasalnya, nama Budi sebelumnya sempat masuk dalam daftar calon menteri yang diserahkan ke KPK dan PPATK. Berdasarkan hasil penelusuran KPK dan PPATK, Budi masuk menjadi salah satu nama yang mendapat rapor merah, karena memiliki rekening yang tidak wajar, dan Jokowi sendiri sudah menerima laporan itu dari KPK.
Lantas pertanyaannya kenapa Jokowi tetap saja memilih Budi sebagai Kapolri? Banyak yang menduga bahwa Budi sebenarnya adalah titipan Megawati Soekarnoputri. Alasan itu muncul karena Budi adalah bekas Ajudan Megawati pada saat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menjadi Presiden RI.
Dalam posisi yang sulit ini, banyak politisi yang mengatakan Jokowi sangat delematis. Satu sisi Jokowi sebenarnya tidak menginginkan Budi sebagai Kapolri, tapi di sisi lain Jokowi harus memenuhi keinginan Megawati, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa kasus ini adalah pertarungan Jokowi dengan Megawati.
“Kita tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi antara Istana dan Teuku Umar (kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri),” kilah anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo di gedung DPR, Senayan, Rabu (14/1).
Agar tidak menyinggung perasaan Megawati, Jokowi akhirnya mengirimkan surat ke DPR tanggal 9 Januari 2014. Surat itu berisi permintaan agar DPR segera memproses pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan segera mengagendakan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Dalam proses itu, Jokowi mungkin berharap DPR akan menolak pencalonan Budi.
Namun ternyata setelah Budi mengikuti fit and proper test tanggal 14 Januari 2014, ternyata DPR justeru mendukungnya. Upaya Jokowi untuk ‘nabok nyilih tangan’ (memukul dengan meminjam tangan) KPK, nampaknya sudah terbaca oleh Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR.
Mungkin tidak hanya Jokowi yang terkaget-kaget dengan sikap DPR tersebut. Megawati Soekarnoputri yang semula mengira KMP di DPR akan menolak Budi, ternyata malah mendukungnya. Padahal, malam hari menjelang fit and proper test, Megawati mengumpulkan para bos Partai KIH diduga konsolidasi untuk menggolkan Budi, melawan penolakan dari kubu KMP. Ternyata, KMP cerdik dan malah membuat bingung Megawati pusing tujuh keliling?
Apa latar belakang manuver aneh KMP yang menggunakan jurus ‘pendekar mabuk’ tersebut? Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, bahwa sebenarnya KMP sudah tahu jika Jokowi menarungkan Megawati dengan DPR. Dengan adanya kasus ini, Jokowi dinilai ingin cuci tangan.
“Megawati memaksakan Budi Gunawan, yang sudah ditolak oleh Jokowi. Akhirnya, Jokowi memakai tangan lain (DPR). Gitu lho maksudnya!” ungkap Desmond kepada Obsessionews.com Kamis (15/1/2015).
Menurutnya, KMP tidak mau terjebak dalam permainan ini, bahkan ia sampai mengatakan kasus ini adalah permainan politik ‘tingkat dewa’. Karena itu, tidak ada jalan lain kalau KMP lebih baik melemparkan ‘bola panas’ itu ke Jokowi kembali, agar Jokowi sendirilah yang menentukan apakah mau menerima Budi sebagai Kapolri atau tidak.
“Ya gimana hari ini posisinya mereka ingin membebankan kepada kita. Kalau kita tidak memilih ya, kita masuk dalam permainan dia. Kita putar ini kita kembalikan ke dia (Jokowi). Biar dia memutuskan sendiri Budi mau lantik atau tidak,” bebernya.
Selanjutnya, Desmond mengatakan kalau seandainya Jokowi akhirnya melantik, maka KMP akan membiarkan Jokowi bertarung dengan KPK, dan juga masyarakat yang menolak keras pencalonan Budi. Namun jika tidak jadi dilantik, maka Jokowi di sisi lain akan berhadapan dengan hak interpelasi DPR. “Ya sudah itu pilihannya, nanti kita tinggal tanya kenapa bisa begitu” jelasnya.
Kedua pilihan ini dianggap oleh Desmond tidak ada yang baik buat KMP. Pasalnya, jelas dia, mau menarik kembali atau menyetujui sudah bukan menjadi wilayah KMP lagi. Namun pertanyaannya apakah sikap Partai Gerindra ini sama dengan Partai-partai lain? Menurutnya, tidak ada yang berbeda, semua sama. Meski ada Partai Demokrat dan Partai PAN yang menghendaki untuk dilakukan penundaan, itu dianggap sebagai pencitraan.
”Ya itu sama saja, kalau yang dua itu kan hanya ingin bangun citra tambahan aja. KMP pasti cara berpikirnya gak jauh beda. Kita kan sekolahnya sama,” bebernya.
Menurut Desmond, KMP pada dasarnya mendukung KPK. Jika memang ada bukti yang kuat proses hukum terhadap Budi tetap harus dilanjutkan. Sebab, dia mengaku bahwa sebenarnya diloloskanya Budi sebagai Kapolri oleh DPR bukan karena solidnya dukungan yang diberikan antara KMP dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
“Bukan, ini ada kemauan politik yang mau bermacam-macam di dunia persilatan,” akunya.
Sampai, Ia mengatakan dengan adanya kasus ini, Jokowi dianggap sudah melecehkan DPR karena diminta meloloskan seorang tersangka untuk menjadi Kapolri. Karena bisa jadi, dengan cara yang dilakukan oleh Jokowi, nama baik DPR juga akan ikut tercoreng di depan masyarakat. “Pada dasarnya Jokowi ini melecehkan DPR. Melempar segala proses di jalan, tiba-tiba disambut lagi,” bongkar anak buah Prabowo.
Di balik kasus ini, lanjtu Desmond, ternyata KMP sudah mempersiapkan strategi yang lebih besar. Yakni, jika Jokowi tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka kesempatan ini bisa dijadikan bagi DPR untuk melakukan pemakzulan atau impeachmet. Menurutnya, alasannya cukup jelas, Jokowi telah melanggar konstitusi dengan mengangkat pejabat yang berstatus tersangka, apalagi jabatan itu adalah terkait institusi penegakan hukum.
“Ya gimana, kalau interpelasi tidak bisa kita siapkan impeachment,” tandasnya.
Diketahui, KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama Dia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
Budi dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau Huruf b, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. Jenderal polisi bintang tiga ini terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup jika terbukti melanggar pasal-pasal tersebut.
Semenjak Budi ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa siang (13/1/2015), KPK langsung meminta ke Kementerian Hukum dan HAM agar Kepala Lemdiklat Polri ini dicegah bepergian ke luar negeri, bersama anaknya. Pencegahan ini dilakukan untuk mempermudah proses hukum yang harus dijalani oleh Mantan Ajudan Presiden era Megawati Soekarnoputri itu.
Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan telah menerima pengaduan masyarakat terhadap Budi pada Agustus 2010. Pengaduan itu dipicu laporan hasil analisis (LHA) transaksi dan rekening mencurigakan milik sejumlah petinggi kepolisian yang diserahkan PPATK ke Mabes Polri. (Albar)