
Jakarta, Obsessionnews – Nilai tukar rupiah semakin melemah. Banyak yang menafsirkan bahwa kondisi sekarang akibat faktor eksternal dari dampak level global. Meski perdebatannya antara level ekstenal dan internal namun situasi sekarang cukup memprihatinkan ekonomi Indonesia.
“Mau tidak mau kondisi bangsa Indonesia sekarang patut diakui sebagai fenomena yang sebenarnya lebih buruk dari tahun 1998,” ungkap Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam diskusi Aktual Forum bertema “Rupiah Anjlok Peringatan Dini Krisis Ekonomi?” bertempat di Resto Warung Komando, Jl. Dr. Saharjo Raya, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (5/4/2015).
“Karena sebelum 1998 surplus kita masih bagus, perdagangan masih bagus, sekarang surplus perdagangan kita hanya 700 USD per bulan sehingga tidak mungkin sanggup menempuh angka devisa berjalan kita,“ tambahnya.
Menurut Salamuddin, selain faktor eksternal ada juga faktor internal yang mempengaruhi nilai tukar rupiah menjadi tertekan dan stabilitasi makro akan jadi rapuh dan kacau. Ia pun menilai, penyebab nilai tukar rupiah melemah pertama disebabkan Pemerintah gagal di dalam memahami problem pokok perekenonomian Indonesia.
“Jadi, problem pokoknya adalah ekonomi kita masih di dominasi oleh modal asing, di topang oleh utang luar negeri dimana besar ekspor bertumpu pada rol material, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh konsumsi, konsumsi yang ditopang oleh kredit konsumsi, daya beli masyarakat sangat rendah karena ketimpangan ekonomi yang tinggi,” bebernya.
“Gimana caranya menyelesaikan dominasi asing, menyelesaikan utang luar negeri, apakah terus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kredit konsumsi, seperti delapan tahun pemerintahan SBY,” ungkap Peneliti The Indonesia for Global Justice (IGJ) ini.
Kedua, lanjut dia, Pemerintah gagal memahami atau menjalankan strategi dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama yang berkaitan dengan UUD. “Jadi, kita melihat kenaikan listrik, kenaikan BBM, kenaikan harga-harga bahan pokok rakyat itu adalah inplikasi dari proses yang di tentukan,” tandasnya.
“Kemudian impilkasi langsung dari membekaknya utang-utang perushaan luar negeri seperti PGE, Pertamina dan sebagainya serta utang luar negeri yang besar, kemungkinan mereka tidak sanggup lagi membayar utang-utang mereka,” duganya pula.
Ia memaparkan, poin ketiga persoalan yang disorotinya mengenai kegagalan Pemerintah memperbaiki pemerintahan dan masyarakat bawah. “Sehingga tidak mungkin kita menggerakkan pertumbuhan ekonomi dengan produktifitas rakyat,” terangnya.
Selain itu, tegas dia, pada poin keempat Salamuddin juga menyoroti mengenai rencana pemerintah yang sangat bombastis, rencana fiskal yang bombastis, rencana penerimaan pajak yang bombastis yang tidak berkaca pada situasi perkembangan ekonomi yang terjadi sebagai akibat melemahnya rupiah terhadap Dolar.
“Sehingga dalam hal ini pemerintah gagal dalam menyusun recana fiskal yang benar-benar dan rasional. Kalau kita lihat kan rencana penerimaan yang begitu besar, rencana pengeluaran yang begitu besar, mau bikin tol laut tapi mereka tidak berkaca apa yang kita miliki dan kemana akan bertumpu rencana-rencana ini,” kritiknya.
Poin lima, jelas Salamuddin, umber penyebab lain lemahnya rupiah dimana Pemerintah juga gagal memimpin lembaga-lembaga di dalam negara republik sendiri dan lembaga di luar eksekutif misalnya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia).
“Gimana caranya tadi disinggung peran kredit sekarang pengawasan perbankan itu ada di tangan OJK sementara tingkat keuangan masih di tangan BI (Bank Indonesia) ini terjadi benturan,” bongkarnya.
“Kebetulan kami yang menggugat UU OJK dan BI dalam sidang terakhir mengatakan begitu sulit mejalankan lintas keuangan karena ada OJK yang menjalankan lintas keuangan, karena ada OJK sekarang menguatkan sektor perbankkan. Jadi pemerintah gagal dalam menjalankan lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga negara tinggi lainnya,” tuturnya.
Adanya kegagalan ekonomi dalam menjaga stabilitas politik, menurut Salamuddin, disebabkan munculnya berbagai benturan politik yang tidak kunjung selesai. “Jadi, gimana ada benturan dalam lembaga, benturan dalam partai politik dan sebagainya, sehingga apa yang dapat menjadi sandaran bagi sporal untuk melakukan investasi di Indonesia,” tandasnya.
“Kalau kita baca lanjutnya, perjalanan internasional pasca Jokowi kunjungan ke Cina dan Jepang pihak pemerintah Cina dan Jepang menolak berkomentar tentang Indonesia, ia melihat ada tiga hal yang menjadi problem di Indonesia yang tidak akan pernah di selesaikan. Pertama birokrasinya yang sama sekali tidak berguna katanya, kedua, bagaimana pemerintah membebaskan tanah untuk investasi-investasi asing yang beroperasi di Indonesia. Mereka bilang terlalu sulit untuk membebaskan tanah melakukan invetasi di Indonesia.”
“Ia memberih contoh rencana investasi di Jawa Tengah yang nilai 4 miliar USD tidak mungkin direalisasikan. Ketiga kekacauan di dalam lembaga-lembaga negara, atau benturan di dalam lembaga-lembaga negara, yang di dalam pemikiran mereka itu gimana caranya akan diselesaikan oleh unsur pemerintah dan parlemen. Itulah yang membuat saya sulit berkeyakinan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berkisar 13.000 melainkan akan terus bergerak ke atas,” tegasnya.
Sedangkan pengamat Ekonomi INDEF Enny Sri Hartati menyatakan, persoalan lemahnya rupiah terdapat pada fundamental ekonomi yang masih rendah. “Kalau dipetakan ada masalah di level global tetapi yang menjadi persoalan pokok adalah fundamental ekonomi kita memang masih sangat rendah, disamping defiden yang diberikan proporsi daripada surat utang pemerintah dalam bentuk valuta asing ini 39% ini yang menjadi penyebab utama dari kelemahan nilai tukar,” pungkanya.
Tapi, lanjut dia, pada prinsipnya sebenarnya yang namanya nilai tukar maka bicara harga mata uang. “Harga mata uang pasti hubungannya demand dan suplay (permintaan dan penawaran). Kalau dalam rata-rata pembayaran itu devisit artinya permintaan terhadap dolar itu lebih besar pasokan dolar yang bisa kita hasilkan kedalam perekonomian kita,” jelasnya. (Asma)