
Jakarta, Obsessionnews – Sebanyak 106 anggota DPRD DKI Jakarta sudah sepakat menandatangani hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait konsep e-budgeting yang menjadi kebijakanya dalam penyusunan APBD DKI 2015.
Ahok merasa dengan konsep e-budgeting setiap anggota dewan tidak bisa memainkan anggaran dengan sembarangan, lantaran sistem yang dipake Pemprov DKI lebih ketat dari sebelumnya. Bahkan dengan konsep itu Ahok mengaku menjadi tahu ada dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun yang coba disisipkan oleh oknum anggota DPRD tanpa disertai keterangan yang jelas.
Merasa terpojok, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lungga atau yang akrab disapa Lulung awalnya mengaku mengapresiasi atas konsep e-bugeting sebagai cara modern untuk menyusun APBD. Akan tetapi ia mengingatkan bahwa konsep tersebut bukan prodak hukum yang telah disepakati sebelumnya oleh anggota DPRD, melainkan sebagai salah satu cara alternatif.
Dengan demikian, Lulung menganggap Ahok telah melanggar ketentuan hukum. Sebab kata dia, fungsi DPRD DKI-lah yang harus digunakan Gubernur DKI untuk membahas APBD bukan melalui e-bugeting. Karena itu Lulung mengatakan, hak angket merupakan sebab akibat dari kebijakan Ahok yang disebut akan berdampak luas kepada masyarakat.
Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, hak angket yang digulirkan oleh anggota DPRD DKI tidak mesti akan berakhir pada pemakzulan. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui anggota DPRD sebelum pihaknya bisa membuktikan Ahok bener-benar bersalah melakukan tindak pidana. Jadi menurutnya, pemakzulan tidak semudah yang dibayangkan.
“Mengganti kepala daerah sulit dilakukan apabila tak memiliki bukti yang cukup kuat mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok,” ujar Refly, Sabtu (28/2/2015).
Refly menjelaskan, sesuai dengan UU No 6 Tahun 1954 hak angket merupakan hak yang melekat pada legislatif. Tujuannya untuk melakukan penyelidikan dari kebijakan pejabat eksekutif yang diduga telah melakukan pelanggaran. “Artinya, hak itu bisa digunakan saat Dewan menduga pemerintah melakukan pelanggaran hukum,” terangnya.
Sedangkan pemakzulan menurut Refly adalah, hak legislatif untuk menyatakan pendapat. Tapi lanjutnya, tidak semua pelanggaran dari hasil penyelidikan hak angket dapat diteruskan menjadi pemakzulan. Sebab, pelanggaran itu harus diklarifikasi dulu, apakah itu pelanggaran berat seperti korupsi, maladministrasi atau pelanggaran pidana lain yang sifatnya lebih ringan.
“Jika terbukti gubernur melakukan pelanggaran hukum, dewan berhak memakai hak menyatakan pendapat atau pemakzulan,” tegasnya.
Setelah itu selesai, Mahkamah Agung nantinya akan menguji temuan hukum anggota dewan, apakah memang benar gubernur melakukan pelanggaran pidana. Jika MA membenarkan terjadi pelanggaran, Dewan kemudian mengusulkan nama pengganti eksekutif. Nama yang sudah dipilih selanjutnya diajukan ke Presiden untuk mendapat persetujuan. “Jadi prosesnya pajang,” jelasnya.
Ahok sendiri, merasa tidak takut atas ancaman anggota DPRD yang telah menggulirkan hak angket. Ia justru melakukan perlawanan dengan melaporkan adanya dana siluman itu ke KPK. Ahok meminta temuanya tentang dugaan korupsi anggaran di DPRD DKI ditelusuri, dan diproses secepatanya agar APBD bisa terselematkan. (Albar)