Jakarta, Obsessionnews.com – Sederet kisah sahabat Nabi Muhammad Saw tentang keislaman sering kita dengar. Salah satunya Mu’adz bin Jabal yang dinyatakan oleh Rassulullah sebagai pemimpin para ulama di hari kiamat nanti.
Mu’adz bin Jabal adalah sahabat nabi yang berbai’at kepada Rasulullah sejak pertama kali. Sehingga ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Mu’adz terkenal sebagai cendekiawan dengan wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqh, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana yang halal dan yang haram. Mu’adz juga merupakan duta besar Islam pertama kali yang dikirim Rasulullah.
Nama panjangnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, sedangkan nama julukannya adalah “Abu Abdurahman”. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat. Mu’adz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah. Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah.
Mu’adz berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat terkemuka misalnya Amru bin al-Jamuh. Rasulullah mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib. Rasulullah mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajar. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan, dan Nabi bersabda kepadanya: ”Sungguh, aku mencintaimu“.
Mu’adz wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tempat ia mengajar sebagai utusan khalifah Umar bin Khattab, waktu itu usianya 33 tahun.
Mu’adz terkenal sebagai sosok pemikir cerdas. Ketika Rasulullah masih hidup pintu ijtihad belum dibuka, tetapi beliau justru mempersilahkan Mu’adz untuk berijtihad.
Rasulullah sempat bertanya: “Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan jawaban dalam Al-Qur’an dan Sunnah?” Mu’adz menjawab dengan percaya diri: “Aku akan berijtihad!”
Itulah keistimewaan Mu’adz karena dianggap memiliki otoritas keilmuan. Hingga Rasulullah pun bersabda: “Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari kiamat.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga sering menyanjungnya: “Wahai Mu’adz, demi Allah aku sangat menyayangimu. Untuk kecerdasan yang kau miliki, hendaklah jangan kau lupakan untuk bersyukur dan berdoa: Ya Allah, tolonglah diriku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan menjadi yang terbaik hamba-Mu.”
Pesan Rasulullah ini semacam kode etik akademisi yang harus dijunjung tinggi oleh sahabat Mu’adz bin Jabal. Atas dasar itu pula para ulama, kiai pesantren selalu membiasakan do’a berisi kode etik ulama itu pada saat memulai zikir sesudah shalat lima waktu.
Pengakuan otoritas keilmuan Mu’adz juga datang dari Umar bin Khattab. Sebelum wafat, beliau pernah ditanya seputar siapa yang akan menggantikannya sebagai Khalifah? Dia menjawab: “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup maka aku akan mengangkatnya sebagai khalifah. Jika aku telah menghadap Allah dan ditanya alasan mengangkat Mu’adz sebagai pemimpin umat Muhammad, maka aku akan jawab: bahwa aku telah mendengar langsung sabda Rasulullah yang mengatakan Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari kiamat.”
Sekelumit kisah tentang otoritas keilmuan sahabat Mu’adz ini hendaknya menjadi pembelajaran pada saat terjadi anomali cerdik-cendekiawan di zaman sekarang ini. Dikatakan anomali dikarenakan ada semacam trend generasi masa kini, alumni perguruan tinggi umum ingin jadi ustadz.
Sebaliknya alumni pesantren tidak mau jadi kiai. Puncaknya, karena faktor tuntutan dan ekspektasi, banyak yang menggunakan ilmu aji mumpung untuk membangun profil diri sebagai cerdik-cendekiawan.
Otoritas Keilmuan itu penting, sebab pada dasarnya semua cabang ilmu pengetahuan lahir bukan secara tiba-tiba. Tetapi mulai dari proses panjang. Sebut saja disiplin ilmu sosiologi dan cabang-cabangnya yang lahir setelah lolos melewati wilayah otoritas antara ekonomi dan sejarah. Begitu pula fiqh berikut cabang-cabang interdisiplinernya yang dalam Islam terbentuk sesudah berhasil melintasi antara wilayah otoritas tafsir, bahasa, dan kalam serta teologi.
Jadi, ilmu pengetahuan tak akan mungkin lahir jika tidak ada wilayah otoritas Keilmuan. Cabang-cabang disiplin keilmuan Islam bisa jadi tak akan pernah lahir jika Rasulullah tidak meletakkan dasar-dasar otoritas keilmuan melalui Mu’adz. Hargailah orang-orang berilmu, sebab mereka memiliki otoritas keilmuan di bidang masing-masing. (sumber muslimobsession)