
Jakarta – Suku bunga acuan yang terbilang tinggi yang diterapkan Bank Indonesia selama setahun ini, dinilai sudah terlalu lama untuk tetap dipertahankan. Semakin lama penerapan suku bunga tinggi, akan semakin buruk dampaknya terhadap sektor riil.
Demikian pandangan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/7).
Menurutnya, jika mengandalkan suku bunga tinggi sebagai bantalan untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar AS, memang efektifitasnya relatif cepat direspon oleh pasar.
Dengan mempertahankan suku bunga tinggi, lanjutnya, investasi di portofolio memang akan deras masuk. Akan tetapi, kata dia, sisi keberlanjutannya terhadap penguatan rupiah maupun sisi moneternya menjadi tidak ideal.
“Kalau mempertahankan suku bunga tinggi, hot money memang masuk, tapi persoalannya tidak mendorong sektor riil. Dengan suku bunga [dalam negeri] yang tinggi, swasta cenderung melakukan utang luar negeri,” kata Eko.
Eko berpendapat, utang luar negeri swasta yang tinggi akan meningkatkan risiko karena membutuhkan dollar AS untuk membayarnya. Pada gilirannya rupiah akan terdorong untuk kembali drop karena di pasar akan terjadi perebutan dollar AS di pasar untuk membayar utang luar negeri.
“Di kita bunganya [kredit] selangit, dobel digit. Di luar negeri, mereka berlomba-lomba tekan suku bunga. Apalagi tidak ada barrier, kalau mau untuk utang,” ujarnya.
Belum lagi, impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia yang sangat besar, karena tidak memiliki cadangan dari dalam negeri. Sementara itu, cadangan BBM di stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU) rata-rata hanya untuk persediaan 21 hari saja.
“Nah, untuk mencukupi itu [kebutuhan minyak] saja, bisa menggoyang rupiah. Kalau hanya mengandalkan suku bunga saja untuk stabilitas rupiah, lama-lama sektor riil tidak jalan, dan risiko nilai tukar itu makin tinggi,” papar Eko.
Dia menambahkan, risiko terhadap nilai tukar rupiah terjadi karena swasta lebih tertarik berutang ke luar negeri. Akibatnya, kebijakan moneter ketat benar-benar harus dihentikan karena tidak ada manfaatnya dengan suku bunga tinggi itu.
“Harus ada cut-off. Stabilitas [moneter ketat] ini sampai kapan? Artinya tidak boleh begini-begini saja. Harus ada upaya, karena [suku bunga tinggi] lebih dari setahun sudah terlalu lama. Bagaimanapun yang menggerakkan ekonomi itu sektor riil,” jelasnya.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) mempertahan suku bunga (BI rate) di level lebih dari tujuh persen sejak dari setahun lalu. BI rate pada Mei 2013 lalu masih berada di level 5,75% dan berangsur-angsur mengalami kenaikan hingga 7,5% pada bulan Nopember pada tahun yang sama, berlanjut atau bertahan hingga sekarang. (Ipotnews)