
Jakarta, Obsessionnews – Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring ICW (Indonesia Corruption Watch) Emerson Yuntho menilai penyelesaian kasus Bambang Widjojanto (BW) seakan hanya mengulur-ngulur waktu, sehingga wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif itu akan sulit untuk kembali bertugas di KPK lagi.
“Kita membaca begitu ada kesan bahwa kecenderungannya ada upaya mengulur-ngulur waktu dalam tanda kutip mempermalukan Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS) agar tidak kembali di KPK. Artinya, kalau mereka bebas maka bisa jadi akan menjadi pimpinan KPK kembali dan Pak Taufiequrachman Ruki Cs harus berhenti jadi pimpinan KPK,” ungkapnya kepada obsessionnews.com usai ‘Diskusi Melawan Korupsi’, minggu lalu.
“Kalau kasusnya lama kan artinya November atau Desember kan masa jabatanya mereka berakhir, kalau diganti sekarang artinya masih ada peluang bagi BW dan AS untuk menjabat KPK. Dalam waktu empat bulan itu kan bisa saja proses AS bisa cepat karena ada amonisi baru dari pimpinan KPK,” bebernya
Menurut Emerson, ICW berharap kasus BW agar segera diselesaikan secepatnya, utamanya melakukan gelar perkara khusus, bukan mengulur-ngulur waktu. “Yang kita harapkan kasus pada BW itu segera selesai cepat tuntas gitukan, tapi bukan dimaknai dengan penahanan gitu. Di kami sendiri mengharapkan pada kepolisian gelar perkara khusus dan kasusnya dihentikan,” tegasnya.
ICW menilai kasus yang menimpa BW bukan hanya sekedar diskriminasi namun tidak lain hanyalah rekayasa kasus BW dan AS. ICW juga belum bisa mempastikan atau menyimpulkan tuduhan yang tujukan pada BW terkait mempengaruhi saksi saat sidang perkara di kota Waringin Barat 2010 yang lalu, karena itu masih dalam perdebatan.
“Bukan sekedar diskriminasi menurut kami ini kasus rekayasa kasus BW dan AS. Jadi aneh kalau bicara soal apakah posisi wajar dan tidak wajar ya hampir semua pengacara melakukan itu, apakah betul dia melakukan mempengaruhi saksi untuk tidak benar,” tegas Aktivis ICW.
“Menurut kita itu masih perdebatan dan kami sendiri meyakini bahwa itu tidak benar. Tapi bagi pihak-pihak tertentu itu memanfaatkan situasi karena BW dan AS itu adalah orang yang berbahaya persoalan proses penentuan ketua Kapolri. Dan kesannya ini upaya balas dendam, sehingga peluang kayaknya akan di tutup dengan cara mengulur-ngulur waktu,” tambahnya.
Ia memaparkan, diskriminasi yang menimpa BW berawal telah dijadikan terasangka terlebih dahulu kemudian (tindak pidana) belakangan. Hal ini berdasarkan pasal, tempus dan locus pada surat penangkapan dan pemanggilan berbeda-beda. Setiap pemeriksaan selalu ada perubahan pasal, situasi ini mengindikasikan polisi masih berada pada tahap penyidikan namun malah memaksakan diri menetapkan sebagai tersangka.
Kondisi ini, lanjutnya, juga melahirkan reaksi perlawanan terhadap KPK, dimana tahapan waktu menunjukan tanda kriminalisasi BW dari 11 hari (12/1/2015) Budi Gunawan (BG) ditetapkan sebagai tersangka BW ikut ditangkap oleh polisi. Terlihat jelas pada 19/1 BW dilaporkan ke polisi, 20/1 dilayangkan surat perintah penyidikan, sehari kemudian 22/1 diterbitkan surat penangkapan, dan tepatnya 23/1 BW ditangkap.
Emerson menegaskan, jika seorang dilaporkan hal utama terlapor dilayangkan surat panggilan terlebih dahulu, jika terlapor tidak mengindahkan maka kemudian mengambil langka penangkapan. “Namun kenyataannya BW tiba-tiba saja ditangkap, setelah dilepaskan baru mendapat surat panggilan pertama,” tandasnya.
Dalam penetapan BW sebagai tersangka tertera Kombes viktor dalam surat perintah penyidikan, termasuk dalam penangkapan BW sebagaimana BW diapit bersama Bolyy-Ketua Tim Penyidik. Padahal diketahui Kombes viktor bukan penyidik di bareskrim tetapi dari lembaga pendidikan polri (Lemdikpol) alias anak buah langsung BG.
Berdasarkan pasal 109 ayat 1 KUHP sebelum penyidikan diperlukan ada surat pemberitahuan (SPDP), tapi malah SPDP dikirim pada saat sore hari setelah penangkapan dilakukan pagi hari. Sehingga bisa diartikan sejak dikeluarkanya sprindik 20/1/2015 hingga penangkapan BW penyidikan ilegal.
Di tahun 2010 BW diperiksa polisi di kota Waringin Barat atas laporan Sugianto S. Yang saat itu berlawanan dengan Ujang merupakan Klien BW. Sudah lima tahun kasus ini (2010) kemudian mencuat kembali, pertanyaanya apakah polisi sudah cukup bukti kenapa polisi tidak menindaklanjuti proses hukumnya ditahun 2010 yang lalu?
Mengenai retentan penangkapan BW, Ombudsman RI juga menerangkan kinerja kepolisian yang terbanyak diadukan dengan mayoritas undue delay atau penundaan polisi bertindak luar biasa secara cepat untuk kasus BW ketika tiga hari laporan BW ditangkap.
Disaat kuasa hukum BW meminta gelar perkara khusus malah tidak diperbolehkan ada gelar perkara, padahal gelar perkara merupakan mandat dari peraturan Kapolri 14/2012.
Pasca berbarengan dan sesudahnya penyerangan penangkapan kanan kiri membabi buta. Sejumlah orang yang merupakan tokoh anti korupsi dilaporkan ke Bareskrim antara lain : Abraham Samad, Novel Baswedan, 3 direktur KPK, 21 penyidik KPK, Chatarina Girsang, Adnan Pandu Praja, Zulkarnaen, Deni Indrayana, Yunus Husein, Ferry Amsari, Charles, 8 orang anggota Komnas HAM dan Omariah Emong.
Sedangkan dalam laporan Komnas HAM dan ORI sama-sama menyebutkan dalam penangkapan BW menggunakan kekuatan yang berlebihan, yang tidak demi kepentingan penyidikan karena sebelumnya belum pernah dipanggil. Dalam peristiwa penangkapan polisi juga telah menyiapkan sejumlah kamera dan gambar yang dimiliki polisi kemudian diberikan pada Rima News. Sehingga motif penangkapan BW ini dianggap penangkapan membalas dendam. (Asma)