Senin, 27 Maret 23

HTI: Sisi Politik dan Pemberitaan Media (2)

HTI: Sisi Politik dan Pemberitaan Media (2)

Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media

 

HTI menjadi obyek pemberitaan. Dalam kamus media, bad news is good news. Selama ini media kerap menjadikan HTI sebagai obyek penderita. Karena nya, setiap keputusan yang dijatuhkan kepada HTI menjadi menarik untuk diliput. Berdasar pengamatan pemberitaan sebelum HTI dicabut SK BHP-nya, peliputan HTI sepi. Meski HTI tiap tahun mengadakan agenda kolosal, tak juga menjadi minat media untuk memberitakan.

Kalaulah setiap yang menimpa HTI disebut bad news dalam pandangan media, bisa jadi ini good news bagi HTI. Aneh bukan? Pasalnya, dari sisi mana pun menstigma negatif HTI, sangat-sangat sulit. Kecuali bagi yang hatinya hasud dan benci, pasti mencari-cari kejelekannya. Media selama ini menjadi instrumen alat gebuk bagi kepentingan politik.

Sisi Pemberitaan Media

Jika ditilik dari sisi pemberitaan, ada beberapa hal menarik tentang HTI:

Pertama, media sering memberitakan besar-besaran terkait HTI dengan tema yang buruk. Penyematan stigma negatif. Hal ini dikarenakan, pemilik kuasa media adalah pemodal yang kebanyakan berpikiran liberal dan islamophobia. Sedini mungkin gagasan keislaman dibungkam. Kalaulah diberi ruang, cuma perihal ibadah dan perayaan hari besar Islam.

Kedua, siapa pun yang dekat dengan HTI, harus siap digebuk dengan opini buruk. Seperti, pemberitaan dosen yang menolak pembubaran HTI. Judul beritanya ‘ngeri’, dosen diancam dipecat. Selain itu siap-siap dengan tuduhan dekat dengan kelompok radikal, teroris, intoleran, dan anti-kebhinekaan. Jika yang diberitakan tak kuat iman dan pemikiran, bisa saja menjadi ciut nyali. Inilah yang disebut propaganda.

Ketiga, mengidentikkan perjuangan khilafah dengan terorisme. Narasi ini sering dibangun tatkala isu terorisme mencuat mengisi ruang publik. Pelaku teror biasanya dikaitkan dengan ideologi radikal. Naasnya, ketika ada pelaku bom Alam Sutra non-muslim, media memberitakannya dengan tindakan kriminal. Hilang heboisme terkait tuduhan pada Islam. Aneh, bukan?

Keempat, pemberitaannya sering berdasar pada asumsi dan persepsi negatif. Media seringnya menutup ruang dialog berimbang. Media saat ini menjadi alat propaganda negatif pada Islam dan umatnya. Sungguh, sebagai pilar keempat demokrasi media berubah arah. Contoh pemberitaan asumsi bisa diamati dengan judul: “Jika HTI Menang, Indonesia Bubar”, “Melarang Ormas Terlarang”, “Tidak Ada Tempat bagi Ormas Anti Pancasila”, “Selamatkan Indonesia dari Khilafah”, dan lainnya. Seolah-olah HTI menjadi tertuduh, sebelum klarifikasi.

Kelima, pasca pencabutan SK BHP HTI dan putusan PTUN Jakarta bagi HTI menjadi berkah tersendiri. Mereka memaknai inilah ‘makar Allah’ untuk menjelaskan ke publik terkait ide syariah dan khilafah. Suka atau benci. Mau atau tidak, dua kata itu telah masuk ke alam bawah sadar umat dan rumah-rumah. HTI, Syariah, dan Khilafah menjadi satu paket opini media saat ini. Baik dunia maya, ataupun nyata.

Membaca Persepsi Publik

Digitalisasi pemberitaan media, tampaknya membawa perubahan bagi siapa pun. Kemajuan informasi teknologi, khususnya media sosial merevolusi pemikiran dan persepsi publik. Kini publik dengan genggaman smartphone di tangan, mampu mengakses ragam info yang diinginkan.

Persepsi publik pada HTI, Syariah, dan Khilafah mengalami perubahan. Publik kini tidak lagi bergantung pada media mainstream yang memang sering tidak pro-Islam. Mereka kini bisa tanya langsung, konfirmasi, dan diskusi dengan siapa pun. Tak lagi satu arah dari sumber yang salah. Lambat laun, publik pun akhirnya memahami sepenuh hati HTI, syariah, dan khilafah.

HTI mendapat panggung di ragam media, karena bisa klarifikasi langsung. Pelan-pelan HTI mampu mengomunikasikan gagasan kepada masyarakat. Masyarakat yang sadar pun akhirnya membela, sementara yang tidak suka ada yang berubah dan ada yang tetap mencela. Banyak pula respon publik yang mendukung HTI. Ini bisa diamati dari trending topic twitter dengan kampanye #HTIdiHati, #KhilafahAjaranIslam, #IslamRahmatanLilAlamin, #HTILayakMenang, #AdvokatBelaIslam, #KamiBersamaHTI, #UlamaBelaHTI, dan lainnya. Beberapa hastage (#) bertengger di twitter.

Dukungan nyata publik, tampak dari ragam kegiatan yang sering disimbolkan dengan HTI. Misalnya bendera la ilaha illallah, yakni al liwa dan ar royah. Kedua bendera itu kini tak bisa diidentikan dengan HTI, karena itu bendera umat Islam. Mobil, topi, kaos, dan aksesoris lainnya sering tertempel kalimat ‘Lailaha illallah’. Pembela HTI kini meluas pasca perppu ormas. Umat islam kini disatukan dalam satu perjuangan, tak lagi disekat kepentingan golongan. Hal inilah yang begitu ditakuti rezim atau musuh Islam.

Oleh karena itu, membandulkan HTI dengan apa pun tampaknya tidak bisa. HTI dikaitkan dengan terorisme pun tak terbukti. HTI dikaitkan dengan kudeta, mereka tak punya tentara. HTI dikaitkan dengan merongrong dan memecah belah, mereka tak pernah menyerukan pisah dari Indonesia. Lepasnya Timor-Timur bukan karena HTI. Penjualan aset-aset negara kepada asing pun bukan karena HTI. HTI dikaitkan dengan anti-Pancasila, NKRI, dan UUD 45, itu pun penafsiran tunggal penguasa. HTI dituduh melanggar hukum, buktinya keputusan PTUN sujud syukur. Lalu, fenomena apa ini? Inilah fenomena makar Allah untuk membuktikan janjinya bahwa siapa yang menolong agama-Nya, pasti Allah menolongnya. Siapapun berbuat makar untuk menjelekan Islam, maka Allah akan menampakan kemuliaan dan ketinggian Islam. Luar biasa!

HTI, syariah, dan khilafah telah menjadi terma kajian sendiri bagi dunia dalam berita. Obrolan publik pun penuh dengan tiga isu itu. Akankah ada perubahan besar ke depan? Sungguh fenomena baru di tengah kegaduhan dunia yang tak menentu. (selesai)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.