
Jakarta – Mantan Terpidana kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) 2004, Nunun Nurbaeti Daradjatun, menyampaikan surat terbuka yang ditujukan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden terpilih Joko Widodo.
Surat tersebut berisi mengenai curahan hati seorang mantan narapidana koruptor yang merasa diperlakukan tidak adil atas berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang pembebasan bersyarat bagi para tahanan kasus korupsi dan kasus pidana berat lainya.
Surat yang disampaikan melalui kuasa hukumnya Ina Rachman mengatakan, bahwa Nunun kecewa atas penerapan PP 99 tahun 2012, oleh Kementerian Hukum dan HAM. Karena, Kementerian ini telah memberikan kebebasan bersyarat kepada terpidana kasus suap Bupati Buol, Siti Hartati Murdaya. Sementara dirinya tidak. Padahal, kasus hukumnya sama.
“Saya ingin memberikan masukan pada Presiden SBY serta pembantunya, dan presiden terpilih Jokowi, bahwa kenyataan diskriminasi maupun perbedaan hukum di negeri ini masih terjadi,” ujar Nunun, dalam surat terbukanya yang dibacakan oleh Ina, di Jakarta, Selasa (2/9/2014).
Padahal kata Nunun, dalam UUD 1945 yang merupakan dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan disebutkan secara jelas bahwa setiap Undang-Undang maupun turunnya harus tercermin suatu keadilan sosial atau keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seperti halnya penjelasan dari pasal 1 ayat 13 UUD 1945, bahwa negara ini negara hukum. Kata Nunun, sebenarnya pasal tersebut menegaskan bahwa orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.
Namun, dalam konteks kasus hukum yang menjerat Hartati berbeda sekali dengan semangat Undang-Undang. Ia menilai pemberian bebas bersyarat yang diberikan kepada Hartati jelas bertentangan dengan PP Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan.
Jika alasan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin membebaskan Hartati Murdaya dibebaskan karena sudah menjalani masa hukuman selama 2/3 masa penahana dan denda Rp 150 juta. Nunun pun mengaku telah melakukan lebih dari 2/3 masa tahanan dan juga membayar denda Rp 150 juta. “Bahkan saya menjalani masa hukuman penuh selama 30 bulan. Sementara Hartati hanya 22 bulan tidak sampai 2/3,” katanya.
Kemudian selain itu, berdasarkan surat edaran Menteri Kemenkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 yang dikeluarkan pada 12 Juli 2013 disebutkan, bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) setelah 12 November 2012.
Sementara Nunun dan Hartati keduanya sudah sama-sama incracht setelah tanggal 12 November 2012. Diketahui, Nunun dinyatakan incracht pada tanggal 21 November 2012. Sedangkan Hartati 24 April 2013. Bedanya, Hartati diperlakukan sesuai dengan PP 99 sementara Nunun tidak.
Kemudian, kata Nunun, Hartati juga bukanlah justice collaburator atau pelaku korupsi yang melakukan kerja sama. Sehingga harus diberikan kebebasan bersyarat dengan merujuk PP 99.
Dengan demikian, menurut Nunun, ada perbedaan yang jauh antara dirinya dengan Hartati dalam melihat penerapan PP 99 tersebut. Jika dihitung ada diskriminasi terhadap Nunun selama delapan bulan penahanan. “Apakah ini yang selalu kita katakan adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” ucapnya.
Diketahui, PP 99 ini berisi pemberian Remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana terorisme, narkotik dan prekursor narkotik, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara kejahatan HAM yang berat serta kejahatan transasional terorganisasi lainya yang kemudian harus diperketat syarat dan tata caranya untuk memenuhi keadilan masyarakat.
Surat terbuka ini, kata Nunun bukan semata-mata untuk meminta belas kasihan atau pertagung jawaban pemerintah maupun para jabatannya, lebih-lebih untuk menyulitkan bagi para warga binaan yang masih berada di dalam lembaga-lembaga permasyarakatan.
”Tetapi dari hati yang sangat bersih ingin memberikan suatu masukan kepada Presiden SBY serta para pembantunya dan presiden terpilih Jokowi serta para pembantunya agar di masa yang akan datang, tidak mudah untuk membuat suatu peraturan yang dapat menimbulkan ketidak adilan maupun ketidak samaan dalam penerapan suatu hukum yang dapat meyakinkan hati orang yang merasakanya,” ungkapnya.
KPK Nyatakan Hartati Bukan Justice Collaburator
Mendengar informasi bahwa Hartati mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi juga merasa keberatan dengan keputusan yang dibuat oleh Amir Syamsuddin selaku menteri.
Menurut Wakil Ketua KPK, Zulkarnaen. Hartati Murdaya bukan justice collaborator KPK tidak pernah mengeluarkan ketetapan yang menyatakan demikian. Sehingga ia mestinya tidak pantas mendapatkan pembebasan bersyarat.
“Pelaku utama itu enggak mungkin diberikan status sebagai justice collaborator. Kalau itu diberikan juga harus dengan surat keputusan dan kita tidak pernah mengeluarkan surat keputusan terkait yang bersangkutan,” ujar Zulkarnaen.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Ia justru mmeminta Kemenkumham segera membatalkan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Hartati. Menurutnya pemberian pembebasan bersyarat tersebut harus secara hukum karena tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam undang-undang.
Bambang mengakui, pihak Hartati pernah mengajukan permohonan status justice collaborator kepada KPK pada Juli 2014. Namun, ia menegaskan KPK selanjutnya tidak pernah memberikan Hartati status justice collaburator.
Diketahui, hartati mulai ditahan di Rutan Pondok Bambu pada 12 September 2012. Pada 4 Februari 2013 majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara kepada Hartati.
Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation ini terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. (Abn)