Sabtu, 20 April 24

‘Hakim Sarmin’ Bongkar Carut-Marut Hukum

‘Hakim Sarmin’ Bongkar Carut-Marut Hukum

Jakarta, Obsessionnews.com – Teater Gandrik kembali menyapa penonton seni pertunjukan Indonesia dalam lakon Hakim Sarmin setelah Gundala Gawat hampir 2,5 tahun lalu. Lakon kali ini terasa spesial, bukan saja karena aspek penggarapannya yang menyisipkan dialog dengan lantunan-lantunan lagu (bukan ikut-ikutan drama musikal), namun juga karena isu yang dibawakannya begitu kontekstual. Maka, akon ini ciamik juga ditonton oleh para polisi, jaksa, pengacara, dan hakim.

Hakim Sarmin dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim memilih masuk rumah sakit jiwa. Para hakim yang tak mau masuk pusat rehabilitasi, kemudian dikabarkan mati terbunuh. Mayatnya di buang ke lubang buaya. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan.

Dokter Menawi Diparani, pimpinan di pusat rehabilitasi, mengatakan, telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar.

Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Proyek rehabilitasi pada satu sisi dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi “wabah kegilaan”, tapi pada sisi lain dianggap pemborosan anggaran dan dicurigai sebagai sebuah proyek yang membahayakan kekuasaan. Terlebih-lebih ketika isu pemberontakan hakim merebak, dan melibatkan Pak Kunjaran Manuke (komandan keamanan), Bung Kusane Mareki (seorang politisi muda yang ambisius), Paringan Prangin-angin (seorang pengacara yang menjadi penasihat pimpinan kota). Sementara Mangkane Laliyan (pimpinan kota) sendiri makin terlihat lelah karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh.

Lakon ini mengisahkan sebuah zaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran,” begitu kata Hakim Sarmin.

Sementara Dokter Menawi Diparani dianggap tak lagi bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di rumah sakit jiwa yang dipimpinnya, ketika para hakim itu mulai menggerakkan “revolusi keadilan”. Dengan gayanya, Hakim Sarmin berkata, “Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila.”

Lakon yang membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut-marut hukum ini akan menjadi lakon yang kocak dan penuh satir ketika dimainkan oleh Teater Gandrik. Guyonan dan pengadegan gaya Teater Gandrik, akan membuat Hakim Sarmin ini menjadi tak sekadar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita (dipaksa) memikirkan kembali kewarasan kita.

“Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend,” kata Sang Hakim Sarmin. “Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul.” Karena itulah Hakim Sarmin berpinsip, meski pun langit runtuh, kegilaan harus ditegakkan.

Naskah  Hakim Sarmin  yang ditulis oleh Agus Noor ini disutradarai G. Djaduk Ferianto dan Jujuk Prabowo. Para pemainnya adalah Butet Kartaredjasa sebagai Hakim Sarmin, Susilo Nugroho (dokter Manawi Diparani), Sepnu Heryanto (Hakim Ngatimin), M. Arif “Broto” Wijayanto (Kusane Mareki), Fery Ludiyanto (Kunjaran Manuke), Citra Pratiwi (Sudilah Parangin Angin), dan lain-lain.

Pertunjukan di Yogyakarta

Rabu & Kamis, 29 – 30 maret 2017 jam 20.00 WIB

Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta

HTM: Platinum (Rp.200.000), VVIP (Rp.150.000), VIP (rp.100.000), Lesehan (Rp.75.000), Festival (Rp.50.000), Festival II (Rp.45.000)

Informasi & reservasi tiket: www.tiketku.id/ 0856 4243 3555/ 0878 3883 5758

 

Pertunjukan di Jakarta

Rabu – Kamis, 5 – 6 April 2017 jam 20.00 WIB

Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,  Jl  Cikini Raya 73 Jakarta Pusat

HTM: Platinum Rp. 500.000, VVIP Rp. 300.000, VIP Rp. 200.000, balkon Rp. 100.000

Informasi & reservasi tiket : kayan production & communications

083899715725 / 085693427788 / 081311630001 / 0895372014902

 

Sepintas Teater Gandrik

Sebagai bagian dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja yang berlokasi di Yogyakarta, Teater Gandrik merupakan kelompok teater Indonesia yang mengolah konsep dan bentuk teater tradisional dengan semangat panggung teater kontemporer. Teater Gandrik dibentuk 34 tahun lalu di Yogyakarta, tanggal 12 September 1983. Dalam perjalanannya, periode 1980-1990 merupakan tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan, seperti: Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu.

Teater Gandrik menyuguhkan tema-tema sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan “guyon parikena”, yaitu sindiran secara halus, seperti mengejek diri sendiri.  Seni peran dengan gagasan Teater Gandrik ini, oleh beberapa kritikus, disebut sebagai estetika sampakan, di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung “memain-mainkan karakter”, sehingga tak ada batasan yang jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”.

Para personil Teater Gandrik memang tumbuh dalam lingkungan tradisi Jawa yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang kemudian banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik. Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari dan pada akhirnya menemukan identitas estetik. Tetapi, seperti dikatakan pula oleh Dr. Faruk, para personil Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana mereka kemudian memasuki sebuah dunia baru yang bernama Indonesia.

Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Dengan manajemen kelompok yang fleksibel itu, soliditas kelompok dan iklim kreatif dapat terus terjaga. Beberapa eksplorasi pencarian dengan berbasis naskah-naskah luar negripun pernah ditelorkan, seperti: Mas Tom, yang merupakan adaptasi dari Tom Jones, karya penulis Inggris Hendry Fielding (1707-1754). Begitu juga lakon terjemahan Keluarga Tot (2009) karya penulis Hungaria, István Örkény yang berpijak pada mazab realism.

Pada tahun 1999, Teater Gandrik mendapatkan kesempatan mementaskan Brigade Maling di Monash University, Australia. Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 1992, Teater Gandrik juga mementaskan lakon Dhemit dan Orde Tabung di Singapura.

Sebagai salah satu kelompok teater yang paling konsisten mementaskan karya-karya, Teater Gandrik rutin menyapa penontonnya. Berikut adalah pertunjukan 6 tahun terakhir: Pan-Dol (2011), Gundala Gawat (2013), Tangis (2015), Orde Tabung-Dramatic Reading (2016). Dan kini di tahun 2017, Teater Gandrik tampil kembali dengan lakon Hakim Sarmin karya Agus Noor. Sebuah lakon yang dikonsepkan dengan bentuk baru yang lebih segar, memadukan seni peran dengan nuansa musik. (Ali Usman)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.