Jumat, 26 April 24

Gus Sholah: Saya NU yang Masyumi

Gus Sholah: Saya NU yang Masyumi
* Gus Sholah dan penulis. (Foto: dok. pribadi Lukman Hakiem)

Oleh:  Lukman Hakiem,  Peminat Sejarah, dan Sekretaris Majelis Pakar Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi)

 

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI. Bangsa Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya.

Tokoh senior Nahdlatul Ulama dan pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, K.H. Salahuddin Wahid wafat pada 2 Februari 2020.

Menurut H. Aboebakar (1957:160), Salahuddin Wahid yang akrab dengan sapaan Gus Sholah terlahir dengan nama Sholahuddin Al-Ayyubi di Denanyar, Jombang, pada 11 September 1942 sebagai  putra ketiga K.H. A. Wahid Hasjim.

K.H.A. Wahid Hasjim adalah Pahlawan Nasional yang tercatat sebagai salah seorang penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar NU, dan Menteri Agama di masa RIS dan RI.

Hubungan NU dengan Masyumi

SETELAH selesai menulis naskah buku Biografi Mohammad Natsir saya terpikir untuk meminta endorsement dari beberapa tokoh. Di antaranya yang –menurut saya– wajib diminta ialah Gus Sholah.

Natsir yang biografinya baru selesai saya tulis adalah tokoh dan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958). Di masa kepemimpinan Natsir, NU yang pada 7-8 November 1945 turut mendirikan Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam Indonesia, keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik.

Fakta keluarnya NU dari Masyumi, menyebabkan banyak kalangan menyimpulkan bahwa antara NU dengan Masyumi terbentang jarak yang tidak mungkin dijembatani.

Melihat berbagai fakta sesudah NU keluar dari Masyumi, kesimpulan itu tidak sepenuhnya benar.

Menurut juru bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, di  antara NU dengan Masyumi memang pernah terdapat perbedaan, tetapi lebih banyak lagi persamaannya.

Dalam tulisan di majalah Media Dakwah, Mei 1994, Harjono yang pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Masyumi mengungkapkan, bahwa sesudah menyatakan keluar  dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik, kerja sama di antara Masyumi dan NU tetap terjalin baik.

Ketika terbentuk Kabinet Boerhanoeddin Harahap (Masyumi), terdapat kerja sama yang baik dengan NU. Dua posisi strategis diberikan kepada NU, yaitu Menteri Dalam Negeri Mr. Soenarjo dan Menteri Agama K.H.M. Iljas.

Menjelang pemilihan umum 1955, pemimpin empat partai politik Islam: Masyumi, NU, PSII, dan Perti mengeluarkan Pernyataan Bersama yang intinya menyerukan umat Islam pengikut dan pendukung keempat partai agar sungguh-sungguh menjaga supaya perbedaan paham di lapangan politik jangan sampai merusak ukhuwah Islamiyah.

Sesudah terbentuk kabinet hasil pemilu 1955, kerja sama Masyumi dengan NU tercermin di dalam Kabinet Ali-Roem-Idham yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.

Di Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi definitif, kerja sama antara Masyumi, NU, dan semua partai politik Islam, juga terjalin dengan sangat baik.

Di masa pergolakan daerah dan ekses sesudahnya, kerja sama NU dengan Masyumi juga tidak mengalami masalah. Masyumi, NU, dan partai-partai pembela demokrasi bersama-sama membentuk Liga Demokrasi menolak pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955 oleh Presiden Sukarno.

Menurut Harjono, agar lebih objektif, hubungan NU dan Masyumi hendaknya jangan hanya dilihat perbedaannya.  “Lagi pula,” tulis Harjono, “penilaian-penilaian negatif terhadap Masyumi tidak mempunyai dasar sejarah. Memahami hal itulah, Musyawarah Nasional Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, pada 3 Desember 1966 di Jakarta, mendesak pemerintah agar segera merehabilitasi Masyumi, karena secara yuridis-formal pembubarannya tidak sah. Dan secara yuridis-material, tidak beralasan. Masyumi adalah korban politik rezim Orde Lama.”

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2 3 4 5

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.