Kamis, 25 April 24

Gubernur Baru DKI Harus Perjuangkan Reformasi Birokrasi

Gubernur Baru DKI Harus Perjuangkan Reformasi Birokrasi
* Ilustrasi Pilkada DKI 2017. (Sumber foto: infonitas.com)

Jakarta, Obsessionnews.com – Gubernur baru DKI Jakarta mendatang jangan  menjadikan pengalaman Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai standar kriteria. Karena Ahok tak mampu dan gagal melaksanakan urusan reformasi birokrasi.

Harapan itu disampaikan pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap melalui keterangan tertulis kepada Obsessionnews.com, Senin (3/4/2017).

Pengamat politik, Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap.

Muchtar mengatakan, tidak terjadi perubahan mendasar pada area-area yang harus menjadi sasaran. Perubahan memang terjadi dalam batas-batas tertentu  pelayanan publik tingkat kecamatan dan kelurahan.

“Tapi, masih ada fakta untuk terima e-KTP menunggu hingga 5 bulan baru jadi. Alasannya, belum ada blanko e-KTP. Pemprov DKI ternyata tak mampu memberi solusi, hanya pandai mengalihkan kelemahan pada pemerintah (pusat). Rakyat DKI digiring untuk menyalahkan pemerintah. Rakyat tentu tak mau tahu. Bagi rakyat itu urusan Pemprov DKI yang diwakili pemerintahan kelurahan,” tandas aktivis mahasiswa 1977-1978 ini.

Dalam perspektif reformasi birokrasi, tutur Muchtar, perubahan strategis sesungguhnya terdapat di sekitar struktur kekuasaan elite atau atas, terutama  mindset dan prilaku politik Gubernur DKI, Wakil Gubernur dan para  pimpinan dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

“Intinya  adalah perubahan dari kebiasaan dilayani menjadi melayani rakyat. Pemilik DKI sesungguhnya bukan Gubernur atau Wakil Gubernur, tetapi rakyat DKI itu sendiri. Teori kedaulatan rakyat mengajarkan kita bahwa rakyatlah pemilih sumber daya DKI. Pemprov DKI diberi wewenang rakyat untuk  harus bekerja memberi pelayanan terhadap rakyat seprima mungkin. Bukan marah-marah dan menggusur paksa rakyat seperti pemilik saham perusahaan saja,” tegas alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM),  Yogyakarta, tahun 1986 ini.

Untuk itu, lanjutnya, gubernur baru DKI harus berbeda dengan Ahok. Gubernur baru harus berpikir, bahwa pemilik sumber daya ini adalah rakyat. Pemprov  hanya pelayan rakyat, bukan majikan. Rakyatlah yang menjadi majikan!

“Semua keputusan dan kebijakan  publik Pemprov harus mempertimbangkan kepentingan majikan, bukan semata kepentingan pelayan,” ujar Muchtar.

Mengapa gubernur baru  harus berbeda dengan Ahok? “Karena kondisi kinerja Ahok tergolong buruk dalam urusan reformasi birokrasi,” katanya.

Berdasarkan penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), ujar Muchtar, kinerja reformasi birokrasi  Pemprov DKI  periode 2013-2014 hanya mampu meraih predikat CC = 58. Angka predikat ini berada pada  urutan ke-18 dibandingkan dengan kinerja  provinsi-provinsi lain di Indonesia. Nilai Pemprov DKI diberi oleh Kemenpan dan RB dengan status s ama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan di bawah Pemprov Kalimantan Tengah.

“Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI ini menunjukkan prestasi Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah, dan tidak sebanding dengan posisi DKI sebagai Ibu kota RI dengan sumber daya terbesar di Indonesia,” kritik Muchtar.

Dia menilai Ahok ternyata tidak mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang RB. Realitas objektif menunjukkan lembaga negara tingkat pusat yang punya kompetensi menilai kinerja Ahok mengurus pemerintahan DKI masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah, yang dalam urusan pembangunan daerah jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI.

Muchtar berkeinginan gubernur baru DKI mendatang harus mampu dan bekerja keras agar memperoleh predikat “AA” dan tergolong lima provinsi terbaik.

“Jangan tiru Ahok, yang gemar pencitraan di media massa seakan-akan jujur, bersih, reformis, dan bekerja untuk rakyat. Pencitraan di media massa ternyata tak sesuai realitas objektif. Bahkan, lembaga negara sendiri menilai kinerja Ahok tergolong buruk. Padahal Jakarta adalah ibu kota RI sarat potensi sumber daya jauh lebih besar ketimbang provinsi lain,” ujarnya.

Pada  Agustus 2015 Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. DKI  terparah, kalah jauh dari Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan, serapan anggaran pemerintah Pemprov  DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai.

“Gubernur baru DKI harus mampu menangani rendahnya penyerapan anggaran ini dan harus menyerap lebih besar belanja jasa dan modal agar benar-benar pembangunan bermanfaat bagi rakyat, tak semata bermanfaat hanya untuk aparatur sipil negara (ASN).

Muchtar mengungkapkan, Pemprov DKI hingga kini masih menghadapi permasalahan yang sudah berlaku  sebelum era  Jokowi dan Ahok. Permasalahan tersebut terkait pelaksanaan konsep reformasi birokrasi  secara efisiens dan  efektif,  dan pembenahan birokrasi atau perubahan sikap dan tingkah laku atau mind set aparat Pemprov DKI terpadu dan berkelanjutan. Selain itu penataan kelembagaan efisien dan efektif, tata laksana yang transparan, kapasitas SDM profesional dan akuntabilitas tinggi, dan pelayanan publik prima. Juga  hubungan  sinergik antar sesama  lembaga pemerintahan, dengan  masyarakat madani dan dunia usaha.

“Ahok tak mampu dan gagal menangani masalah-masalah tersebut. Dia  hanya sibuk dengan  pencitraan dan membantu kepentingan konglomerat pengembang, seperti pembangunan pulau palsu atau reklamasi, dan penggusuran paksa rakyat miskin yang berlokasi dekat area bisnis properti para  pengembang, seperti Kali Jodoh dan Luar Batang, yang sama sekali tak terkait dengan proyek penanganan banjir di DKI,” tandas Muchtar.

Selain itu, tambahnya, Ahok juga  bertindak untuk kepentingan kekuasaan diri melalui Pilkada 2017 sampai menjadi terdakwa dugaan penistaan agama Islam.

Karenanya, kata Muchtar, gubernur baru mendatang harus mampu memecahkan permasalahan reformasi birokrasi ini. Lima tahun ke depan tentu cukup untuk urusan solusi dibutuhkan. Setidaknya target capaian urusan reformasi birokrasi minimal 50%, lima tahun berikutnya 50% lagi. Bagaimanapun kondisi permasalahan reformasi birokrasi DKI dibutuhkan 10 tahun lagi.

“Selama ini Ahok tidak bekerja nyata mengurus isu strategis reformasi birokrasi ini. Gubernur baru terpaksa harus lakukan percepatan, karena  Ahok stagnan mengurus reformasi birokrasi,” pungkasnya. (arh)

Baca Juga:

Ahok Cetak Sejarah Lakukan Penggusuran Paling Brutal

TEMPO Ungkap Ahok Terima Uang e-KTP

Kasus e-KTP , Nama Ahok Ada di Nomor 30

Gubernur Baru DKI Jangan Tiru Ahok yang Kering Inovasi

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.