
Jakarta, Obsessionnews.com – Gubernur baru DKI Jakarta mendatang jangan menjadikan pengalaman Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai standar kriteria. Karena Ahok tak mampu dan gagal melaksanakan urusan reformasi birokrasi.
Harapan itu disampaikan pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap melalui keterangan tertulis kepada Obsessionnews.com, Senin (3/4/2017).

Muchtar mengatakan, tidak terjadi perubahan mendasar pada area-area yang harus menjadi sasaran. Perubahan memang terjadi dalam batas-batas tertentu pelayanan publik tingkat kecamatan dan kelurahan.
“Tapi, masih ada fakta untuk terima e-KTP menunggu hingga 5 bulan baru jadi. Alasannya, belum ada blanko e-KTP. Pemprov DKI ternyata tak mampu memberi solusi, hanya pandai mengalihkan kelemahan pada pemerintah (pusat). Rakyat DKI digiring untuk menyalahkan pemerintah. Rakyat tentu tak mau tahu. Bagi rakyat itu urusan Pemprov DKI yang diwakili pemerintahan kelurahan,” tandas aktivis mahasiswa 1977-1978 ini.
Dalam perspektif reformasi birokrasi, tutur Muchtar, perubahan strategis sesungguhnya terdapat di sekitar struktur kekuasaan elite atau atas, terutama mindset dan prilaku politik Gubernur DKI, Wakil Gubernur dan para pimpinan dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
“Intinya adalah perubahan dari kebiasaan dilayani menjadi melayani rakyat. Pemilik DKI sesungguhnya bukan Gubernur atau Wakil Gubernur, tetapi rakyat DKI itu sendiri. Teori kedaulatan rakyat mengajarkan kita bahwa rakyatlah pemilih sumber daya DKI. Pemprov DKI diberi wewenang rakyat untuk harus bekerja memberi pelayanan terhadap rakyat seprima mungkin. Bukan marah-marah dan menggusur paksa rakyat seperti pemilik saham perusahaan saja,” tegas alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 ini.
Untuk itu, lanjutnya, gubernur baru DKI harus berbeda dengan Ahok. Gubernur baru harus berpikir, bahwa pemilik sumber daya ini adalah rakyat. Pemprov hanya pelayan rakyat, bukan majikan. Rakyatlah yang menjadi majikan!
“Semua keputusan dan kebijakan publik Pemprov harus mempertimbangkan kepentingan majikan, bukan semata kepentingan pelayan,” ujar Muchtar.
Mengapa gubernur baru harus berbeda dengan Ahok? “Karena kondisi kinerja Ahok tergolong buruk dalam urusan reformasi birokrasi,” katanya.
Berdasarkan penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), ujar Muchtar, kinerja reformasi birokrasi Pemprov DKI periode 2013-2014 hanya mampu meraih predikat CC = 58. Angka predikat ini berada pada urutan ke-18 dibandingkan dengan kinerja provinsi-provinsi lain di Indonesia. Nilai Pemprov DKI diberi oleh Kemenpan dan RB dengan status s ama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan di bawah Pemprov Kalimantan Tengah.
“Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI ini menunjukkan prestasi Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah, dan tidak sebanding dengan posisi DKI sebagai Ibu kota RI dengan sumber daya terbesar di Indonesia,” kritik Muchtar.
Dia menilai Ahok ternyata tidak mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang RB. Realitas objektif menunjukkan lembaga negara tingkat pusat yang punya kompetensi menilai kinerja Ahok mengurus pemerintahan DKI masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah, yang dalam urusan pembangunan daerah jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI.
Muchtar berkeinginan gubernur baru DKI mendatang harus mampu dan bekerja keras agar memperoleh predikat “AA” dan tergolong lima provinsi terbaik.
“Jangan tiru Ahok, yang gemar pencitraan di media massa seakan-akan jujur, bersih, reformis, dan bekerja untuk rakyat. Pencitraan di media massa ternyata tak sesuai realitas objektif. Bahkan, lembaga negara sendiri menilai kinerja Ahok tergolong buruk. Padahal Jakarta adalah ibu kota RI sarat potensi sumber daya jauh lebih besar ketimbang provinsi lain,” ujarnya.
Pada Agustus 2015 Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. DKI terparah, kalah jauh dari Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan, serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai.
“Gubernur baru DKI harus mampu menangani rendahnya penyerapan anggaran ini dan harus menyerap lebih besar belanja jasa dan modal agar benar-benar pembangunan bermanfaat bagi rakyat, tak semata bermanfaat hanya untuk aparatur sipil negara (ASN).
Muchtar mengungkapkan, Pemprov DKI hingga kini masih menghadapi permasalahan yang sudah berlaku sebelum era Jokowi dan Ahok. Permasalahan tersebut terkait pelaksanaan konsep reformasi birokrasi secara efisiens dan efektif, dan pembenahan birokrasi atau perubahan sikap dan tingkah laku atau mind set aparat Pemprov DKI terpadu dan berkelanjutan. Selain itu penataan kelembagaan efisien dan efektif, tata laksana yang transparan, kapasitas SDM profesional dan akuntabilitas tinggi, dan pelayanan publik prima. Juga hubungan sinergik antar sesama lembaga pemerintahan, dengan masyarakat madani dan dunia usaha.
“Ahok tak mampu dan gagal menangani masalah-masalah tersebut. Dia hanya sibuk dengan pencitraan dan membantu kepentingan konglomerat pengembang, seperti pembangunan pulau palsu atau reklamasi, dan penggusuran paksa rakyat miskin yang berlokasi dekat area bisnis properti para pengembang, seperti Kali Jodoh dan Luar Batang, yang sama sekali tak terkait dengan proyek penanganan banjir di DKI,” tandas Muchtar.
Selain itu, tambahnya, Ahok juga bertindak untuk kepentingan kekuasaan diri melalui Pilkada 2017 sampai menjadi terdakwa dugaan penistaan agama Islam.
Karenanya, kata Muchtar, gubernur baru mendatang harus mampu memecahkan permasalahan reformasi birokrasi ini. Lima tahun ke depan tentu cukup untuk urusan solusi dibutuhkan. Setidaknya target capaian urusan reformasi birokrasi minimal 50%, lima tahun berikutnya 50% lagi. Bagaimanapun kondisi permasalahan reformasi birokrasi DKI dibutuhkan 10 tahun lagi.
“Selama ini Ahok tidak bekerja nyata mengurus isu strategis reformasi birokrasi ini. Gubernur baru terpaksa harus lakukan percepatan, karena Ahok stagnan mengurus reformasi birokrasi,” pungkasnya. (arh)
Baca Juga:
Ahok Cetak Sejarah Lakukan Penggusuran Paling Brutal
TEMPO Ungkap Ahok Terima Uang e-KTP
Kasus e-KTP , Nama Ahok Ada di Nomor 30
Gubernur Baru DKI Jangan Tiru Ahok yang Kering Inovasi