
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
Ketidakmampuan dan kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun 2013-2017 (era Gubernur Jokowi dan Ahok) terjadi pada urusan pelayanan di bidang perdagangan. Salah satu indikator adalah tingkat pencapaian target penyerapan atau realisasi anggaran APBD urusan perdagangan tiap tahun.
Kecenderungan kegagalan di bidang perdagangan ini sesungguhnya relevan dengan kegagalan di bidang ekonomi rakyat, yakni koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta juga pedagang kaki lima (PKL).Sangat rendah sikap pemihakan terhadap ekonomi rakyat. Tetapi, jika terkait kepentingan pengusaha besar apalagi pengembang besar, khususnya era Gubernur Ahok sangat memihak. Buktinya, penggusuran paksa rakyat DKI yang berlokasi dekat perumahan/apartemen atau mal milik pengembang besar dan juga pembangunan pulau-pulau palsu di Jakarta Utara. Juga lemahnya penegakan hukum terhadap pengelola atau pemilik mal yang tidak melaksanakan regulasi tentang penyediaan 20% ruang untuk PKL & UMKM. Tajam ke bawah, tumpul ke atas!!!
Sesungguhnya untuk pelayanan di bidang perdagangan ini, Pemprov DKI dapat berbuat banyak, antara lain pembinaan dan pelatihan, pendanaan dalam bentuk dana bergulir, dan proteksi terhadap pelaku bisnis, terutama PKL dan UMKM. Selain itu, juga dapat dilakukan pembangunan fasilitas perdagangan seperti pembangunan lokasi binaan, penataan pasar tradisional dan pembangunan mal khusus untuk PKL dan UMKM. Khusus terakhir ini pernah dijanjikan pasangan calon (paslon) Jokowi-Ahok saat kampanye Pilkada DKI 2012 lalu. Tapi, mereka ingkar !
Pada dasarnya semua bentuk kegiatan tersebut cenderung diabaikan Pemprov DKI yang hanya sibuk mengurus penggusuran paksa rakyat DKI dan pembangunan pulau-pulau palsu/reklamasi.
Salah satu indikator kegagalan Pemprov DKI yakni penyerapan anggaran alokasi APBD urusan perdagangan tiap tahun. Terjadi kesenjangan berarti antara target capaian dan apa yang telah dicapai.
Pada tahun 2013 Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Jokowi merencanakan anggaran alokasi APBD sebesar Rp. 175,8 miliar. Sementara total penyerapan Rp. 156,6 miliar atau hanya 89,09%. Data ini menunjukkan Pemprov DKI belum mampu mencapai target alokasi APBD 2013 urusan perdagangan. Kondisi kinerja Pemprov DKI tergolong buruk.
Pada tahun 2014, Ahok menjadi gubernur menggantikan Jokowi. Rencana alokasi APBD menurun drastic, yakni hanya Rp.22 miliar. Meskipun begitu, total penyerapan juga tidak mencapai target, hanya Rp.14,6 miliar atau 66,29%. Hal ini menunjukkan betapa buruknya prestasi Ahok. Sudah diturunkan drastis rencana anggaran, tapi masih tak mampu. Sangat jauh rendahnya kemampuan Ahok ketimbang Jokowi. Semakin rendah kemampuan mencapai target alokasi APBD 2014 urusan perdagangan di bandingkan capaian 2013. Kondisi kinerja Gubernur Ahok tergolong lebih buruk.
Pada tahun 2015, masih era Ahok, rencana alokasi APBD urusan perdagangan sebesar Rp.29 miliar. Sedikit lebih besar dibanding tahun 2014. Namun, total penyerapan sangat rendah, hanya Rp.10,5 miliar atau 36%. Hal ini menunjukkan Ahok semakin gagal mencapai target alokasi APBD urusan perdagangan di bandingkan capaian sebelumnya. Kondisi kinerja Ahok sangat…sangat buruk, jauh di bawah 50%. Betapa rendahnya kemampuan kepemimpinan Ahok mengurus bidang perdagangan ini. Untuk menyerap atau menggunakan dana sudah ada saja tidak mampu. Padahal dana untuk urusan perdagangan cuma puluhan miliar rupiah, belum pada tingkat ratusan miliar atau triliunan rupiah.
Kalau urusan penyerapan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan reklamasi sebagai kegiatan di luar atau off budget, tampaknya Ahok cepat dan mampu. Padahal kegiatan itu sangat mungkin sarat korupsi.
Rata-rata kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran alokasi APBD urusan perdagangan yakni sekitar 61% pertahun atau lebih buruk. Hanya era Ahok (2014-2015) sangat rendah, yakni sekitar 50 % atau sangat buruk.
Pengalaman Ahok mengurus perdagangan ini sangat tak layak dijadikan contoh praktis untuk gubernur baru DKI mendatang. Dari sisi penyerapan anggaran, Gubernur baru harus mampu mencapai target minimal jumlah anggaran Rp. 175 miliar, sedikit di atas anggaran tahun 2013. Khusus untuk program, gubernur baru harus sungguh-sungguh melaksanakan program bantuan teknis, dana bergulir dan proteksi terutama bagi PKL & UMKM. Juga gubernur baru perlu membangun mal PKL dan UMKM. Hal ini untuk meneruskan janji kampanye Jokowi-Ahok yang diingkari. (***)