
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
APBD DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi dan Ahok tahun 2013-2017 sungguh besar untuk ukuran pemerintahan provinsi (Pemprov) di Indonesia. Jumlahnya antara 65-70an triliun rupiah. Tercatat dua kali lipat era gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo.
Tapi, jangan bangga dulu. Anggaran besar tak mesti berpengaruh pada peningkatan kondisi rakyat DKI. Kondisi DKI sesungguhnya sebagai berikut:
- Ternyata di DKI jumlah orang menganggur di atas rata-rata nasional.
- Jumlah orang miskin tergolong sangat banyak dan bertambah, tak pernah turun.
- Kesenjangan kelompok kaya (umumnya non pribumi) dan kelompok miskin (dominan pribumi) semakin melebar.
- Masih terdapat permukiman kumuh di mana-mana. Isu strategis ini tak terpecahkan, malah penggusuran paksa rakyat lebih diutamakan.
- DKI kota termacet se dunia. Mengurus peremajaan kendaraan umum gagal total. Mengurus pembangunan busway sangat buruk.
- Banjir besar masih terjadi tiap tahun. Isu strategis banjir masih berlaku dan tak terpecahkan.
- Semua pelaksanaan urusan pemerintahan tergolong setidaknya buruk.
- Tiada penyerapan anggaran alokasi APBD mencapai target ditetapkan dalam perencanaan resmi Pemprov DKI Jakarta di bawah kekuasaan Jokowi dan juga Ahok.
- Dan lain-lain. .
Khusus kondisi kinerja Pemprov DKI di bawah kekuasaan Ahok tergolong buruk, tak mampu dan gagal meraih target capaian bidang pajak daerah. Mampunya cuma kumpulkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) di luar politik anggaran yang benar, yakni APBD. Padahal politik anggaran tidak mengenal pembiayaan pembangunan di luar APBD.
Pajak daerah antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, BBN Kendaraan Bermotor, Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pemanfaatan Air Tanah, Hotel, Restoran, Hiburan, Reklame, Penerangan Jalan, Parkir, BPHTB, Rokok, dan PBB.
Apakah Ahok berprestasi urus pendapatan pajak daerah? Inilah jawabannya!
Ahok sungguh tidak berprestasi mengurus pendapatan pajak daerah. Hanya Jokowi yang berprestasi, dan mencapai target sesuai perencanaan.
Pada tahun 2013 Pemprov DKI era Jokowi menargetkan tercapai pendapatan pajak daerah sebesar Rp. 22,61 triliun. Jokowi mampu dan berhasil mencapai target, yakni Rp. 23,36 triliun atau 103,31%. Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Jokowi di bidang Pajak Daerah tergolong bagus dan berprestasi.
Namun, pada tahun 2014 Pemprov DKI era Ahok kondisi kinerja di bidang pajak daerah menurun menjadi buruk. Target capaian tahun 2014 urusan pajak daerah sebesar Rp. 32,50 triliun. Namun, Ahok hanya mampu mencapai Rp. 27,05 triliun atau 83,24 %. Jauh lebih rendah dari prestasi Jokowi.
Selanjutnya, Ahok tahun 2015 juga gagal dan tak mampu mencapai target. Pendapatan pajak daerah ditargetkan sebesar Rp. 32,58 triliun. Tetapi, hanya mampu memenuhi sebesar Rp. 29,07 triliun atau 89,24%. Kondisi kinerja Ahok menguurus pajak daerah tahun 2015 ini tergolong buruk. Hal ini juga diperkirakan tak jauh berbeda dengan tahun 2016 dan 2017.
Pengalaman Ahok mengurus pendapatan pajak daerah ini membuktikan kemampuan Ahok masih di bawah Jokowi. Kondisi kinerja Ahok lebih buruk dibandingkan sebelum nya, kondisi kinerja Jokowi. Karena itu, gubernur baru DKI harus mencontoh pengalaman Jokowi. Jangan mencontoh pengalaman Ahok yang tak mampu mempertahankan kondisi kinerja sebelumnya, malah kian merosot. (***)