Selasa, 23 April 24

Gerakan 212 Harus Jadi Gerakan Politik

Gerakan 212 Harus Jadi Gerakan Politik

Oleh: Arief B. Iskandar, Editor dan Penulis Buku

Pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahwa “Gerakan 212” bermotif politik patut ditanggapi. Namun, pernyataan tersebut tak harus ditanggapi secara negatif. Kita sambut saja secara positif.

Tuduhan Tito justru harus dijadikan sebagai salah satu “pelecut” bagi para Alumni 212 untuk makin menegaskan diri sebagai gerakan politik, bukan semata-mata gerakan “keagamaan” yang tidak memiliki misi politik.

Namun demikian, politik yang dimaksud tidak harus dimaknai sebagai politik praktis, tetapi politik “adiluhung”, yakni politik yang semata-mata diorientasikan untuk melayani umat berdasarkan syariah Islam.

Itulah politik Islam yang sejak awal dijalankan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. sepanjang perjalanan dakwah beliau. Puncaknya, beliau berhasil meraih kekuasaan politik di Madinah, yang ditandai dengan pendirian Daulah Islam yang pertama.

****

Sebagaimana kita ketahui, Muhammad bin Abdillah, saat sebelum diangkat sebagai nabi/rasul, adalah seorang yang sangat dimuliakan kaumnya. Sosoknya yang baik, berakhlak mulia dan terkenal jujur membuat beliau mudah dikenal di kalangan orang-orang Arab saat itu.

Bahkan karena kejujurannya yang luar biasa, kaumnya menjuluki beliau dengan sebutan ‘Al-Amin’; artinya sangat bisa dipercaya.

Namun, kemuliaan akhlak dan kejujuran Muhammad seolah hilang begitu saja dan tak berbekas dalam pandangan bangsa Arab ketika beliau diangkat sebagai nabi/rasul.

Apakah karena setelah itu akhlak Muhammad menjadi buruk? Ataukah setelah menjadi nabi/rasul, Muhammad menjadi seorang pendusta alias tidak tidak bisa dipercaya lagi?

Tentu tidak. Bahkan kemuliaan akhlak Muhammad saw. setelah menjadi nabi/rasul tampak serba indah; sebagaimana pengakuan Ummul Mukminin Aisyah ra. sendiri.

Lalu mengapa tiba-tiba bangsa Arab begitu membenci beliau? Mengapa pula para pemuka Arab, bahkan paman beliau, seperti Abu Lahab yang dulu begitu menyayangi beliau, berbalik memusuhi beliau secara keras? Apakah hal itu semata-mata karena beliau membawa agama/keyakinan baru?

Tidak juga. Pada awal-awal Nabi Muhammad saw. memeluk Islam sekaligus mendakwahkannya, orang-orang Arab tidak begitu peduli. Sewaktu beliau melewati majelis mereka, mereka juga hanya berkomentar, “Inilah putra Abdul Muthalib yang menyampaikan sesuatu dari langit.” Sikap mereka ini terus berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. (An-Nabhani, 1994).

Namun, sikap mereka berubah drastis saat menyadari bahwa dakwah Baginda Rasulullah saw. bukan sekadar ‘gerakan keagamaan’, tetapi telah berubah menjadi sebuah gerakan politik yang diprediksi bakal mengancam bukan hanya keyakinan, tradisi dan budaya ‘lokal’ mereka, tetapi bahkan bakal menggusur kedudukan sosial dan kekuasan politik mereka. Itulah yang sangat disadari terutama oleh para pemuka Arab Qurays saat itu seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dll.

Karena itu pula, gerakan politik Nabi saw. dan kelompok dakwah beliau mulai dicurigai, dimusuhi bahkan terus-menerus diperangi oleh bangsa Arab Jahiliah saat itu.

Namun demikian, berbagai siksaan fisik maupun kekerasan psikis tidak menyurutkan gerakan politik Nabi saw. dan para Sahabat beliau. Bahkan atas bimbingan wahyu dan pertolongan Allah, gerakan politik Nabi saw. dan kelompok dakwah beliau semakin tak terbendung.

Gerakan politik inilah yang pada akhirnya berhasil mengantarkan Baginda Nabi Muhammad saw. meraih tampuk kekuasaan saat beliau berhasil menjadi kepala negara di Madinah al-Munawwarah.

Gerakan politik ini pula yang sesungguhnya mampu menyukseskan dakwah beliau, yaitu saat beliau mengobarkan jihad (perang) terhadap bangsa mana saja yang merintangi sampainya hidayah Allah kepada umat manusia.

Pada akhirnya, gerakan politik pula yang memungkinkan kekuasan Islam, yang semula hanya berkisar di Madinah, meluas ke Makkah dan seluruh jazirah Arab.

Dengan dakwah dan jihad, kekuasan Islam itu kemudian terus menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah pada masa kepemimpinan setelah beliau (masa Khulafaur Rasyidin); bahkan menembus ke jantung Afrika, Asia Tengah hingga Eropa pada masa-masa Kekhilafahan Islam setelahnya.

Tak kurang 2/3 wilayah dunia berada dalam kekuasan Kekhilafahan Islam selama berabad-abad. Selama itu pula, bangsa-bangsa kafir tidak pernah berani melecehkan umat Islam, sebagaimana saat ini.

****

Sayang, pasca penghapusan Khilafah Islam yang terakhir di Turki oleh Inggris melalui tangan anteknya Mustafa Kemal tanggal 3 Maret 1924, gerakan politik Islam kian memudar.

Di dalam negeri sendiri, bahkan organisasi Islam terbesar seperti NU hanya menjadi gerakan sosial. Padahal sejak awal, kelahiran NU tahun 1926 yang dibidani oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah adalah karena motif politik, yakni untuk merespon keruntuhan Khilafah Islam di Turki (Lihat: Ensiklopedia Islam, hlm. 353. Penerbit: Ichtiar Baru van Hoeve).

Namun demikian, berbagai gerakan politik Islam, terutama untuk membangkitkan kembali Kekhilafahan Islam, sesungguhnya tidak pernah pupus, bahkan kini terus makin membesar.

Justru, inilah yang dikhawatirkan oleh musuh-musuh Islam. Semakin membesarnya Islam sebagai gerakan politik inilah yang sangat ditakuti oleh Barat, khususnya AS, termasuk kaum sekular di negeri ini.

Karena itu, berbagai upaya—mulai dari yang ‘halus’ (seperti perang pemikiran, black propaganda, bantuan finansial pendidikan dengan kompensasi berupa perubahan kurikulum madrasah dan pesantren agar menjadi lebih moderat) hingga yang ‘kasar’ (seperti perang melawan terorisme secara fisik)—terus dilakukan oleh AS dan sekutunya. Semua itu dilakukan tidak lain untuk menggembosi Islam sebagai gerakan politik.

Karena itu, sangat disayangkan jika ada tokoh Muslim yang justru malah terbawa arus propaganda Barat dan AS dengan ikut-ikutan mengecam gerakan politik Islam. Tindakan demikian, di samping hanya menguntungkan musuh-musuh Islam, juga akan semakin melemahkan posisi Islam dan kaum Muslim sebagai satu-satunya kekuatan potensial di dunia yang bisa meruntuhkan dominasi Kapitalisme saat ini.

Kapitalismelah, dengan AS sebagai pengusung utamanya, yang sesungguhnya telah terbukti banyak menimbulkan kerusakan dan aneka krisis di mana-mana, termasuk di negeri ini.

Karena itu, Kapitalisme pula—yang notabene merupakan ideologi transnasional—yang seharusnya lebih layak untuk dipersoalkan dan dienyahkan dari permukaan bumi, bukan ideologi Islam. Islam sebagai ideologi justru harus terus diperjuangkan agar membumi. Sebab, Islam ideologi tidak lain adalah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan (ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dll) dengan syariah yang terpancar dari akidah Islam.

Hanya Islam seperti inilah—bukan Islam yang hanya berkutat dengan aspek ritual, spiritual dan moral belaka—yang bisa menjadi rahmat bagi dunia (rahmatan lil ‘alamin).

Alhasil, Gerakan 212 bukan saja harus menjadi gerakan politik, tetapi sekaligus harus menjadi salah satu kekuatan politik Islam di negeri ini.

Targetnya tentu bukan sekadar agar kaum Muslim bisa meraih kekuasaan. Yang lebih penting adalah agar Islam benar-benar berkuasa hingga negeri ini benar-benar bisa diatur dengan syariah Islam secara kaffah. Sebab, tentu tak ada artinya kaum Muslim duduk di tampuk kekuasaan, sementara Islam dicampakkan, lalu yang diterapkan dan yang tetap berkuasa adalah sistem sekular seperti sekarang ini.

WalLahu a‘lam bi ash-shawab.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.