* Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Oleh: Komaruddin Rachmat, Aktivis
Bisa tidak kita membayangkan ketika tahun 1965, Menpangad Jenderal Ahmad Yani menolak pembentukan Angkatan ke 5 yang diusulkan oleh PKI. Atau ketika Ahmad Yani tidak merespon rencana bung karno, untuk melakukan konprontasi dengan Malaysia , padahal itu perintah pemimpin besar revolusi.
Pastilah ketika itu terjadi kegaduhan menurut istilah sekarang, apalagi PKI saat itu sedang kuat kuatnya berada di ring satu kekuasaan bung Karno. Bully pastilah terjadi terhadap Ahmad Yani ,melalui koran koran kiri milik PKI ketika itu.
Mari kita bandingkan dengan Gatot Nurmantyo sebagai panglima TNI hari ini, yang cenderung tidak sepenuhnya sejalan dengan elite yang sedang berkuasa. Tentu tidak aneh bila kemudian jaring jaring kekuasaan diluar istana bergerak membullynya seperti yang sedang kita saksikan sekarang.
Gatot adalah pahlawan rakyat hari ini, dia telah menempatkan dirinya menjadi penyeimbang hubungan tidak harmonis antara umat islam dan kekuasaan.
Ketika kekuasaan melalui perangkatnya memusuhi aksi damai 212 , Gatot justru memberi isyarat dukungannya, keseimbangan barupun terbentuk. Dalam aksi damai 212 tersebut misalnya, Gatot memakai peci putih sebagai isyarat persahabatan kepada peserta aksi, berbeda dengan teman sejawatnya yang tidak peka menangkap fenomena.
Ketika polri mengambil posisi tidak seimbang dalam pilkada DKI, TNI justru memberikan keseimbangan baru dengan ikut mengamankan TPS TPS di pilkada tersebut,sehingga kecurangan dan kemungkinan terjadi konplik fisik dapat terhindarkan,meski mendapat resiko di lecehkan oleh Iwan bopeng.
Ketika kekuasaan cenderung gencar membuka poros ke RRC, Gatot justru gencar memberikan warning tentang proxi war. Sehingga setidaknya dapat menahan laju kekuasaan menuju “RRC full oriented” .
Warning proxi war juga ikut membangun kewaspadaan dan keberanian rakyat tentang bahaya penguasaan asset negara oleh RRC, seperti yang terlihat dalam kasus penolakan reklamasi misalnya.
Ketika fenomena kebangkitan komunis yang ditandai oleh over confidence para penganutnya, yang ngotot untuk memberikan penafsiran baru terhadap G 30S/PKI , melalui simposium dan seminar 65. Gatot justru mewajibkan anak buahnya nonton film G30S/PKI Arifin C Nur, yang telah lama tidak di putar untuk publik.
Anjuran menonton Film tersebut justru mendapat sambutan luar biasa dimasyarakat luas, dibuktikan dengan diputarnya film tersebut di seluruh nusantara dengan biaya swadaya.
Padahal nobar berlangsung ditengah larangan dari mendiknas agar Anak SD dan SMP tidak boleh nobar , dengan ancaman sangsi bagi sekolah yang tetap melaksanakannya. Bayangkan betapa masivenya nobar bila tidak ada larangan dari mendiknas tersebut.
Ketika kapolri menganjurkan agar kalangan pro Ahok berani menyuarakan pendapatnya,yang kemudian disusul dengan fenomena bunga yg juga dikirim secara besar besaran ke markas kepolisian,Gatot justru menolak TNI menerimanya.
Ketika import senjata tidak jelas yang dilakukan oleh polri dan instansi negara lainnya. Gatot menyuarakan pedapatnya dengan tegas dan juga terbuka. Bila import senjata tersebut ternyata diduga ilegal ,maka dengan serta merta mengingatkan rakyat pencinta sejarah, pada 100 ribu senapan chung yang dikirim RRC secara ilegal pada tahun 1965, untuk mempersenjatai angkatan ke 5.
Ditengah tuduhan sedang melakukan manuver politik akibat isu import senjata tersebut, Gatot dengan santai mengatakan “ya memang benar saya berpolitik tapi politik untuk kepentingan negara!” .Dengan perkataan lain , politik yang dilakukan Gatot adalah untuk tujuan “menyelamatkan negara!”.
Gatot adalah keseimbangan baru dalam kondisi kekuasaan yang bekecenderungan. Kecenderungan tersebut nampak secara gamblang , dari mulai ketidak adilan dalam pelaksanaan hukum,hingga kriminalisasi terhadap orang yang dianggap lawan politik. Bila dibiarkan akan merusak tatanan kehidupan bernegara.
KARENA ITU PANTASLAH BILA GATOT NURMANTIO KEMUDIAN DI JULUKI SEBAGAI ” GATOT SANG PENYELAMAT BANGSA”.
Salam 5 oktober 2017 (Hari Jadi TNI).