
Jakarta, Obsessionnews – Sudah lima bulan Pemrov DKI Jakarta belum merealisasikan kinerjanya. Tarik ulur proporsi anggaran berawal pada keputusuan DPRD DKI Jakarta menggunakan hak angket, hingga kemudian digulirkan hak interpelasi yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Meski Presiden Jokowi sudah turut serta menengahi persolan ini, perdebatan panas belum berakhir. Gubernur/Pemprov DKI Jakarta tidak mau menerima keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah memangkas anggaran Rp3,6 triliun dari total yang diajukan Rp72 trilun sehingga jatuhnya sekitar Rp69 triliun, dan ini pun menjadikan perdebatan baru.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto menilai, persoalan yang beralarut-larut menimpa DKI Jakarta mengenai alokasi anggaran disebabkan persoalan aturan yang tidak diterjemahkan secara eksplisit apakah Pergub memakai tahun sebelumnya, perencanaan ataukah realisasi.
“Tapi kalau didalam tafsir kami bahwa aturan-aturan sebelumnya, Pergub itu kalau memakai tahun sebelumnya adalah memakai tahun realisasi,” jelasnya kepada Obsessionnews usai acara launching Buku APBN Konstitusional dan Portal Info anggaran di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (24/4/2015).
Yenny melihat, ada keinginan Pemprov DKI untuk mempertahankan Rp72 triliun, dalam hal ini mencoba mempertahankan target kinerja didalam pengalokasian BKD yang dipangkas hanya Rp500 Miliar dari Rp16 triliun kemudian ada belanja makanan untuk birokrasi. Kedua, mengenai belanja operasionalnya Wakil Gubernur yang dipangkas.
Menurut Yenny, dalam pemangkasan anggaran tersebut tidak akan merugikan warga Jakarta. “Saya rasa tidak merugikan, pemangkasan-pemangkasan ini lebih pada porsi alokasi di birokrasi daripada belanja-belanja untuk sektor publik, karena jelas dari batasan-batasan aturan penggunaan Pergub itu kan harus diarahkan kepada belanja prioritas berdasarkan wajib,” tutur dia.
“Kemudian kedua dibelanjakan belanja mengikat, sehingga secara otomatis belanja-belanja untuk sektor-sektor publik seperti kesehatan, pendidikan tidak akan berdampak pada pemangkasan karena pemangkasan sudah dikonversi lebih pada birokrasi,” tambahnya.
“Saya rasa sebenarnya Pemprov seharusnya menerima saja lah penyunatan belanja untuk birokrasi. Karena kita tidak menginginkan bahwa terus-terusan APBD ini disandera, yang sampai hari ini belum ada keputusan kira-kira janjinya kan 1 Mei, ini kan cukup melalui proses yang panjang. Kalaupun Mei itu beriplementasikan 8 bulan paling tidak Pemprov DKI menjalankan program alokasi Rp69 triliun,” tuturnya.
Menurut dia, adanya pemangkasan anggaran oleh Kemendagri akan merugikan birokrasi bukan pada bidang sektor publik. “Kerugian atas pemangkasan lebih pada kerugian di birokrasi karena pemangkasan Rp3,6 triliun itu lebih pada birokrasi, gitu lho. Bukan bidang di sektor-sektor public. Hanya saja kerugiannya semakin lama penyanderaan ini semakin berdampak pada stagnasi pada pembangunan DKI Jakarta. Sudah lima bulan tidak membangun tidak mengimplementasikan program-program untuk pendidikan dan kesehatan,” kritiknya.
Ia pun melihat, Pemprov DKI mencoba untuk konsisten dengan target-targetnya. “Saya contohkan didalam keuangan PPS itu ada alokasi anggaran untuk tunjangan kinerja sebesar Rp10 triliun, kalau dipangkas dari mana? “Dia kan kepenginnya kan cukup konsisten dengan hitung-hitungan itu. Itulah ngotot untuk mempertahankan hal itu,” belanya.
Namun, Yenny menegaskan sebab APBD-nya diarahkan ke Pergub maka Pemprov tidak serta –merta bisa merumuskan APBD DKI seluas-luasnya sebab ada batasan prioritas dan belanja mengikat yang mesti harus dijalankan.
“Kemarin ngototnya harus Rp72 triliun karena akan memberikan penyertaan modal kepada BUMD sedangkan penyertaan modal pada BUMD itu bukan bagian dari prioritas program wajib belanja dan mengikat, saya rasa itu tidak perlu dipertahankan,” bebernya. (Asma)