Rabu, 22 Maret 23

Fenomena ‘Gold Rally’ dan Prospek Investasi Logam Mulia

Fenomena ‘Gold Rally’ dan Prospek Investasi Logam Mulia
* Ilustrasi emas.

Sebuah fenomena menarik sedang terjadi, sehubungan dengan logam mulia –emas-, dimana permintaan akan emas naik sebesar 26% dari tahun lalu. Tak heran jika investasi emas kemudian meningkat drastis di beberapa negara seperti India, Cina dan Jerman. Jika dilihat lebih jeli, naiknya permintaan akan emas bukan untuk tujuan perhiasan, tetapi untuk investasi.

Lalu, siapa pembeli terbesar jika emas yang dibeli tidak dipakai sebagai perhiasan?

Jawabannya adalah bank sentral. Memang betul bahwa harga emas dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketersediaan komoditi emas itu sendiri, kemudian ada faktor supply and demand dari US Dolar sebagai reserve currency, belum lagi faktor jual dan beli yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara.

Namun ada satu fakta menarik. Permintaan emas terbesar justru datang dari raksasa ekonomi dunia yang kini sedang megap-megap secara ekonomi, akibat perlambatan global. India misalnya. Dengan populasi lebih dari 1 miliar jiwa, India belum bisa dikategorikan sebagai negara makmur. Tapi masyarakat India sangat suka dengan emas. Tak heran, harga emas saat ini juga dipengaruhi oleh tingginya permintaan emas dari India.

Lalu bagaimana dengan Cina, Jepang atau negara-negara Eropa Barat?

Sebetulnya secara ekonomi semua berada pada posisi yang sama. Negara-negara ini juga mengalami resesi ekonomi, meskipun keadaannya sangat variatif. Tapi intinya, semua sedang dililit oleh ancaman terjadinya resesi. Jangan lupa, negara-negara ini juga dikenal dengan kebiasaan mereka mencetak uang secara besar-besaran.

Terlepas dari semua faktor di atas, Consumer Price Inflation (CPI Index), kok bisa tetap terkendali dan ditekan seminimal mungkin. Bisa jadi karena adanya kekhawatiran besar di masyarakat dunia. Kebutuhan publik akan dana segar sangat tinggi, di samping kondusifitas dan stabilitas suatu negara yang tetap menjadi acuan bagi para pelaku ekonomi. Suku bunga juga ditekan serendah mungkin, sebagai bagian dari jaminan kondusivitas yang ditawarkan pemerintah. Bahkan Jepang dan Jerman memiliki rate suku bunga bond negatif.

Mungkin jika ada suatu perbedaan, hanya datang dari Amerika Serikat. Ekonomi terlihat agak sehat, meskipun Amerika terlilit inflasi sejak 2008 sebelum kemudian dikendalikan tahun 2014 melalui paket Quantitative Easing jilid III. Tapi sekali lagi, perbedaanya tipis sekali. Meski terlihat ekonomi Amerika lebih menjanjikan, sebetulnya tidak juga karena lilitan krisis ekonomi tetap masih menjadi bayang-bayang buruk.

Ketika satu negara tidak bisa mengendalikan laju inflasi, pasti perputaran uang tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pasalnya, akan ada sektor-sektor yang “ditambal” dengan gelontoran dana talangan, meski pada akhirnya harus mengorbankan sektor lain. Celakanya, situasi seperti demikian, pasti akan menyasar sektor keuangan seperti saham, bonds, emas, real estate, ataupun sektor-sektor ekonomi strategis lainnya. Tidak heran kemudian muncul apa yang dikenal dengan “economic bubble”, sekilas terlihat baik tapi rapuh dan kosong di dalamnya.

Kasus paling nyata adalah Cina. Real Estate dan pasar saham terlihat begitu ciamik, bubble-nya begitu besar dan membuat negara-negara lain gigit jari. Tapi ketika gelembung-gelembung itu mulai pecah satu-persatu, maka kiamatlah yang akan terjadi. Khusus untuk Cina, pemerintahnya cukup pintar dalam mengakali bagaimana supaya negeri Tirai Bambu itu tidak terjun bebas ke dalam jurang krisis ekonomi.

Semua orang mendoakan supaya Cina akan baik-baik saja. Pasalnya jika sesuatu yang buruk terjadi atas China, dampak secara global akan sangat mengerikan.Negara itu adalah pasar terbesar dunia saat ini. Jika Cina berhenti membeli dan menjual, seluruh dunia akan kena imbas.

Kembali pada eksistensi emas. Banyak yang berharap harga emas akan melambung tinggi, dengan tingkat inflasi massif global. Tapi mari lihat beberapa hal.

Pertama, harga emas sudah naik setelah krisis 2008. Sejak Oktober tahun itu, harga emas ada di level 700 US dolar per ounce. Juli 2011, harga emas melambung jauh dan bertengger di posisi 1.800 US dolar per ounce. Namun naiknya harga emas itu, sebetulnya tidak lebih dari sebuah economic bubble. Tidak heran jika kemudian harga emas terus terkoreksi dan bergerak bearish.

Hal kedua adalah, kecemasan dan ketakutan masyarakat global saat ini, seiring bertambah rentannya keadaan dunia. Okelah di beberapa negara terlihat ada pertumbuhan positif. Atau mungkin keadaan fundamental di beberapa wilayah terlihat cukup ciamik. Tapi tetap saja, secara umum tidak bisa disangkal bahwa masyarakat dunia sedang dilanda kekuatiran besar tentang bagaimana nasib ekonomi dunia ke depannya.

Ketika situasi memburuk, semua orang akan mencari dan menumpuk uang. Tidak heran jika uang berfungsi seperti darah yang membawa kehidupan. Uang menjadi raja jika krisis terjadi.

Hal ketiga adalah hampir semua uang yang dicetak pemerintah, telah habis terserap untuk investasi di sektor saham atau properti. Inilah yang saya namakan “The Last Days Economic Bubble”. Investor berlomba-lomba mencari keuntungan lewat dua sektor tersebut. Bagi mereka, inflasi bukan lagi menjadi ancaman, sementara alasan untuk membeli dan menumpuk emas justru karena dampak iflasi itu sendiri.

Seandainya saja Anda memiliki rumah di Amerika yang dibeli saat krisis terjadi tahun 2010 atau 2011. Pasti investasi properti Anda itu akan sangat menguntungkan hari ini. Sama juga jika Anda memiliki investasi di Wall Street sejak Maret 2009, ketika harga saham jatuh. Pasti nilai investasi Anda hari sangatlah menggiurkan.

Pertanyaan hari ini adalah investasi apa yang bisa membawa keuntungan di tahun-tahun mendatang, dengan tingkat suku bunga rendah seperti sekarang?

Tidak bisa disangkal bahwa sulit untuk menemukan jenis investasi yang aman, dengan return positif nantinya. Bahkan dengan inflasi rendah, alih-alih uang deposito Anda berbunga indah, malah ujung-ujungnya inflasi akan berbalik menggerogoti uang deposito Anda.

Sulitnya mencari investasi aman dengan prospek keuntungan besar, akhirnya memaksa pelaku ekonomi untuk mengambil risiko. Ramai-ramai menyerbu lantai bursa, dengan tujuan quick money alias untung cepat. Bukannya memperkuat fundamental ekonomi, tindakan seperti itu sebetulnya hanya menambah bubble-bubble baru.

Heran juga, kenapa emas tidak dilirik. Padahal investasi emas tidak mengenal yang namanya price inflation, ataupun suku bunga. Padahal, saham kian hari kian tidak pasti. Lihat saja apa yang terjadi pada saham-saham Cina. Jika tidak ada intervensi pemerintah, bukan tidak mungkin negeri itu sudah masuk ke jurang krisis ekonomi. Bagaimana dengan saham-saham di Wall Street? Tidak berbeda jauh dengan Cina.

Bisa dibilang, tidak ada lagi bentuk investasi yang menguntungkan. Apalagi di waktu bersamaan, rsiko makin hari makin tinggi, mengancam para investor, berikut modal mereka.

Bagaimana dengan emas?

Jika resesi ekonomi melanda dunia, mungkin US bonds akan menjadi sasaran alternatif  para investor meskipun dibayangi suku bunga rendah. Tapi, apa benar demikian? Siapa yang mau membeli surat berharga pemerintah selama 10 tahun, dengan tawaran keuntungan yang hanya 2% ? Apakah Anda yakin inflasi 10 tahun depan, akan tetap sama seperti inflasi tahun ini?

Pada akhirnya semua akan kembali melirik emas sebagai safe haven investment. Harga emas sekarang ini masih relative baik, tetapi ingat harga sedang bergerak dengan ritme bullish. Jika Anda ingin mengetahui nasib ekonomi dunia ke depan, sebaiknya Anda mulai melihat pergerakan harga emas di pasar dunia. Berbeda dengan dahulu, hari ini saham tidak bisa lagi dikategorikan sebagai smart money.

Di pasar saham, keuntungan kian tipis, dengan kisaran yield sebesar 2% atau lebih sedikit. Sementara emas, harganya kini mendekati 1.200 US dolar.

Beberapa waktu lalu, FOMC baru saja mengeluarkan kebijakan moneter terbarunya dan tidak ada kenaikan suku bunga dan itu persis sama dengan harapan para investor saham dan emas. Jika resesi terjadi, suku bunga mungkin akan lebih rendah, bisa-bisa menjadi negatif. Emas mungkin juga tidak akan bisa bertahan, apalagi jika US dolar tambah menguat.

Bisa saja Federal Reserve akan kembali mengeluarkan Quantitative Easing Jilid IV – babak baru pencetakan uang secara massif pasti terjadi lagi – untuk menyiasati resesi. Kalau itu terjadi, harga emas kemungkinan besar akan segera melambung tinggi. Seandainya Federal Reserve menjadi agresif sebagai reaksi terjadinya resesi, harga emas bisa saja menembus 2.000 US dolar per ounce.

Emas tentu saja tidak memiliki bunga, tapi logam mulia itu telah berfungsi seperti jaminan asuaransi untuk siapa saja yang memilikinya. Emas juga bisa menjadi pagar perlindungan kita dari inflasi.

Jika skenario ini terjadi, maka sudah pasti emas akan menjadi lumbung duit bagi para investor. (Samuel M.J Karwur,  A New Dimension Bearer)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.