
Oleh: DR. Bambang Widjojanto, Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Mengerikan! Kita, luar biasa pandirnya! Terjerembab pada kasus yang sama, terulang lagi dan terus menerus, korupsi dan kolusi lagi.
Kini, urusan KTP yang begitu mendasar dan fundamental saja, tidak pernah selesai, kendati sudah lebih 70 tahun menyatakan proklamasi kemerdekaan. Bahkan, aroma dan bau busuk kasus korupsi e-KTP kian menyengat dan dipastikan tidak hanya telah terjadi tetapi, diduga, melibatkan banyak pihak di level elit kekuasaan, di mana sebagiannya masih aktif, dan juga konsorsium.
Akhir Januari 2017, Tjahjo Kumolo, curhat dan gusar, katanya, ada sekitar 110 juta e-KTP sudah dicetak dan dimilki masyarakat, tapi ternyata, dicetaknya oleh perusahaan Amerika. Cilakanya, belum dibayar biaya pencetakannya.
Tjahjo juga menyatakan“…kita masih utang dengan perusahan Amerika, yang tidak mungkin saya bayar sendiri, pakai APBN juga tidak mungkin karena jumlahnya mencapai 90 juta dolar AS. Menang tender sudah kerja tapi belum dibayar…”.
Tidak jelas betul, apakah Tjahjo hanya menggertak sembari melempar tuduhan pada kinerja Menteri Dalam Negeri sebelumnya?
Nyatanya, Zudan Arif Fakhhrullon, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, bawahannya sendiri, menyatakan, tagihan sebesar 90 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun terkait pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang belum dibayarkan dan ditagih oleh PT Biomorf telah diurus oleh konsorsium.
Lepas dari itu semua, pernyataan di atas dipastikan punya relasi dengan penyidikan kasus korupsi yang tengah dilakukan KPK.
Jika tidak ada aral melintang, selambatnya, di awal bulan depan, berkas tersangka Sugiharto (mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri),dan Irman (mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri) sudah dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Bila hendak secara teliti mengkaji dan mendiskusikan soal e-KTP ini, pokok soalnya tidak hanya sekadar belum atau sudahnya tagihan dibayar. Ada 5 (lima) hal penting lain yang perlu dikemukakan berkaitan dengan e-KTP.
Kesatu, jumlah kerugiannya yang, menurut KPK, hingga mencapai Rp 2,3 triliun dari nilai proyek pengadaan KTP elektronik yang sebesar Rp 6 triliun.
Pihak yang diduga terlibat, selain dua orang yang sudah ditetapkan tersangka di atas, yaitu: konsorsium pemenang proyek {terdiri dari: Percetakan Negara RI (PNRI), PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaput, dan PT Quadra Solution}.
Tidak hanya sekadar jumlah kerugiannya sangat besar tetapi juga dampak atas korupsi e-KTP ini juga luar biasa. Misalnya, 90 juta informasi WN Indonesia tengah dikuasai oleh pihak asing yang dapat saja dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang bisa saja tidak selaras dengan kepentingan bangsa dan negara.
Kedua, ada cukup banyak anggota DPR yang terlibat dari berbagai fraksi dan KPK menegaskan berulang kali, akan ada tersangka lainnya. Itu artinya, jika diasumsikan, mereka yang potensial menjadi tersangka baru adalah pihak-pihak dari elti mantan anggota parlemen yang telah telah dipanggil KPK, sebagiannya sudah dipangil lebih dari satu kali.
Ada cukup banyak kandidat yang akan menjadi tersangka baru. Mulai dari Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Gandjar Pranowo, Ade Komarudin, Tamsil Linrung, Chairuman Harahap, Olly Dondokambey, Melchias Marcus Mekeng, Mirwan Amir, Nazaruddin, Teguh Juwarno, Jafar Hafsah, Agun Gunandjar Sudarsa, Khatibul Umam Wirannu, Arif Wibowo, dan pihak lainnya. Yasonna Laoly sudah beberapa kali dipanggil tetapi belum bisa hadir dengan berbagai alasan. Dari kalangan eksekutif, pihak yang sudah dipanggil, Gamawan Fauzi (mantan Menteri Dalam Negeri) dan Agus Martowardoyo dan Anny Ratnawati (mantan Wakil Kemenkeu) selain Diah Anggareni, mantan Sekjen Kemendagri. Gamawan dalam beberapa kesempatan menyatakan, proyek e-KTP telah pernah didiskusikan oleh Sri Mulyani (mantan Menteri Keuangan zaman Presiden SBY) dan juga Boediono, Wakil Presiden.
Ketiga, uraian di atas akan mengenai potensi atas calon kandidat tersangka, menjadi relevan dan menarik bila dikaitkan dengan informasi yang dilansir beberapa hari lalu, KPK telah menerima penyerahan sekitar Rp 250 miliar terkait proyek pengadaan e-KTP.
Jumlah itu, menurut Juru Bicara (Jubir) KPK kepada media, sebanyak Rp 220 miliar diserahkan oleh korporasi dan juga ada pengembalian dari 14 orang senilai Rp 30 miliar, sebagian dari mereka adalah anggota DPR RI.
Itu artinya, ada fakta dana yang mengalir pada sejumlah anggota DPR yang berkaitan dengan proyek e-KTP. Dana yang dapat dikualifikasi sebagai gratifikasi itu telah dikembalikan sehingga dapat dikompensasi sebagai pengurangan hukuman.
Pada pertengahan Januari 2017, Jubir KPK dalam pernyataan lainnya menyatakan “…selama 2016, telah dilakukan penyitaan setara dengan Rp 247 miliar…”. Penyitaan itu terhimpun dalam bentuk uang tunai dan rekening.
Rinciannya, Rp. 206,95 miliar, 1.132 dollar Singapura dan 3.036.715,64 dollar Amerika Serikat. Bila rincian dana dari kedua informasi di atas dijumlahkan, sudah ada sekitar 450 miliar lebih kerugian negara dapat dikembalikan.
Keempat, kasus e-KTP ini tidak bisa dilepaskan dari kasus Hambalang. Maksudnya, jika tidak pernah terbongkar kasus Hambalang maka tidak akan ada dan tidak akan pernah disebut-sebut, adanya indikasi korupsi pada proyek e-KTP di Departemen Dalam Negeri.
Korupsi sebagai well organize crime, dipastikan akan sulit terbongkar karena kejahatannya dilakukan secara terencana dan sistematis, ada beberapa layering dipakai untuk membangun alibi dan “soliditas etik” di antara pelaku untuk saling melindungi kejahatannya, penerimaan aliran uang. Pendeknya, para pelakunya akan saling melindungi satu dan lainnya.
Pada kasus e-KTP ini, ada indikasi, nampaknya, mata rantai solidaritas kejahatan sudah mulai terbongkar. Jika belajar dari kasus Hambalang, sebagian dari kalangan parlemen, dipastikan akan menjadi tersangka.
Indikasinya, mereka mempunyai posisi yang sangat strategis dalam penentuan persetujuan proyek e-KTP dan terkonfirmasi oleh tersangka dan pihak saksi lainnya, telah menerima aliran dana.
Salah satu saksi penting adalah Nazaruddin yang secara konsisten terus-menerus mengemukakan adanya indikasi korupsi dalam proyek e-KTP dan menyebut beberapa orang tertentu diduga sebagai pelaku, seperti: Setyo Novanto, Anas Urbaningrum dan Gamawan Fauzi.
Kelima, korupsi e-KTP memang harus dibongkar tuntas karena salah satu penyebabnya “ambruknya” bangsa ini, ketidakmampuanya untuk menghitung secara rinci berapa jumlah rakyatnya dan tersedianya data base yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan lain bagi kemajuan bangsa ini.
Yang diperlukan bukan e_KTP tetapi Single Identity Number (SIN) karena SIN akan sangat banyak berguna dalam membangun sistem pencegahan korupsi. Dengan adanya SIN akan dapat dibangun Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dengan lebih baik, begitupun dengan pembangunan akuntabilitas sistem perpajakan untuk kepentingan revenue APBN.
Semoga KPK dapat mengakselerasi penanganan kasus korupsi yang berkaitan dengan e-KTP ini, tidak hanya untuk menegakan keadilan atas pelaku yang kini tengah dijadikan tersangkan sehingga dapat ditegakkan equality before the law, tetapi juga meminimalisir potensi pelaku kejahatan e-KTP memasuki lembaga negara lainnya (misalnya, Melchias Marcus Mekeng menjadi kandidiat Komisioner OJK), membangun akuntabilitas parlemen, menjaga pemerintahan daerah dari potensi korupsi dari pihak yang mulai disebut-sebut dalam kasus proyek e-KTP dan sekaligus menjaga eksistensi KPK dari berbagai tudingan miring karena diduga melindungi pelaku kejahatan. (*)