Kamis, 28 September 23

Ekonomi Bangkrut Akibat Utang, Pemerintahan Baru ke Jurang Krisis

Ekonomi Bangkrut Akibat Utang, Pemerintahan Baru ke Jurang Krisis

Jakarta – Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng yang juga Peneliti senior The Indonesia for Global Justice (IGJ), menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bubar pasar, sementara pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dipaksa ke jurang krisis.

“Pemerintahan SBY akan berakhir bersamaan dengan terjun bebasnya ekonomi membawa pemerintahan Jokowi ke dalam jurang krisis. Penyebabnnya adalah krisis keuangan yang bersumber dari utang luar negeri pemerintah swasta, khususnya sektor perbankkan dan keuangan lainnya,” ungkap Salamuddin Daeng kepada Obsession News, Rabu (1/10/2014).

Salamuddin membeberkan, utang swasta yang terus membesar baik karena perilaku ugal-ugalan perbankan, yang secara bersamaan dengan merosotnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS. “Hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar US pada posisi Rp12.212/USD dan terus memburuk dalam hari hari ke depan,” paparnya.

Bahkan, menurutnya, Bank Indonesia (BI) telah mengingatkan Indonesia menghadapi risiko terkait utang luar negeri yang terlihat dari peningkatan debt service ratio (DSR), menyusul pemburukan kerentanan eksternal yang tercermin pada kenaikan sejumlah rasio utang LN hingga triwulan II-2014.

“Bank mengalami kekeringan liquiditas untuk bayar utang. Untuk itu perbankan akan menaikkan suku bunga untuk bisa dapat dana segar. Lagi-lagi konsumen kecil yang akan diperas dengan bunga setinggi langit lewat kredit konsumsi seperti kredit property, KPR, kredit kendaraan bermotor dan kredit UKM lainnya akan jadi sapi perah,” ungkapnya pula.

Akibatnya, lanjut dia, industri nasional juga akan bangkrut. Sementara lembaga super body Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lembaga yang digadang membangun protokol krisis malah mau lepas tangan. “OJK mengatakan agar segera dibentuk lembaga Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), dalam mengantisipasi krisis,” jelasnya.

“Inilah hasil dari ekonomi liberal, demokrasi liberal, demokrasi multi legitimasi. Semua institusi seperti BI, OJK, JPSK, memiliki kekuasaan setara dan independen. Mereka akan menjadi bom waktu bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan SBY dan membawa pemerintahan Jokowi dalam jurang krisis<” tutur Salamudding mengingatkan.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan, OJK menilai bahwa Indonesia sangat membutuhkan aturan tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Aturan ini penting agar Indonesia siap kala menghadapi ancaman krisis keuangan.

“Saya kira JPSK itu kan salah satu infrastruktur bagaimana sektor keuangan bisa dikelola dengan baik. Ini harus dibangun agar ke depan dalam situasi tertentu kita bisa memberi respons cepat dan tepat menghadapi ancaman krisis. Ini penting,” tegas Irwan sebagaimana diberitakan situs online, Selasa (30/9).

Menurut Irwan, saat ini memang sudah ada Forum Koordinasi Sistem Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang diketuai Menteri Keuangan Chatib Basri. Namun tetap dibutuhkan payung hukum yang kuat setingkat Undang-undang (UU). “Secara makro prudential, kita sudah punya FKSSK. Tapi kita harus punya landasan hukum, payung hukum untuk ini,” terangnya.

Sebagai informasi, DPR menghentikan pembahasan RUU JPSK yang sudah berlangsung selama 2 tahun. Hal ini berdasarkan keputusan rapat internal Komisi XI DPR, yang diperkuat oleh hasil keputusan sidang paripurna Senin (29/9/2014) malam.

Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta menyatakan alasannya adalah RUU JPSK tidak bisa dilakukan pembahasan lebih lanjut sebelum dilakukan pencabutan Perppu No 4/2008 tentang JPSK.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo menyatakan Indonesia sudah sangat membutuhkan regulasi yang kuat sebagai antisipasi jika terjadi guncangan di sektor keuangan, salah satunya dengan UU JPSK.

Tanpa ada dasar hukum yang kuat seperti UU JPSK, sulit untuk mengambil keputusan ketika krisis sudah di depan mata. Tanpa dasar hukum, pengambil keputusan akan ragu dan akhirnya tidak mengambil kebijakan antisipasi krisis. (Ars)

 

Related posts