Jumat, 19 April 24

DPR Tolak Perpanjangan Izin Freeport

DPR Tolak Perpanjangan Izin Freeport

Jakarta – Rencana pemerintah untuk memperpanjang kontrak izin usaha PT Freeport di Papua sampai 2041 mendapat penolakan keras dari dari DPR RI dan juga DPD RI.  Sebab, Freeport dinilai tidak memberikan dampak positif terhadap masyarakat Papua, terutama menyangkut dengan kesejahteraan rakyat Papua yang sampai saat ini belum juga tercapai.

Hal itu disampaikan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang membidangi masalah Migas, Toni Wardoyo. Menurutnya, masyarakat Papua sudah cukup menderita, dengan adanya penambangan emas di Papua, kekayaan alam di Papua semakin rusak, aliran sungai juga banyak tercemar karena limbah.

“Sumber alamnya yang diambil Papua, siapa Papua yang menanggung. Lingkungan alamnya rusak, sampai sungai rusak karena taling-taling, hanya rakyat Papua yang merasakan penderitaan dari penggalian sumber alam yang tidak baik itu. Kembalikan hak rakyat Papua,” ujarnya Senin (26/1/2015).

Sebagai anggota DPR yang mewakili daerah pemilihan Papua itu, Toni meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janjinya pada saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Jokowi disebut telah berjanji, akan meningkatkan lagi kesejahteraan rakyat Papua dengan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur yang baik di tanah Cedrawasih itu.

“Kami percaya kalau pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM yang dipercayai Jokowi untuk tangani ini memberi ruang Pemda untuk bisa duduk bersama dengan PT. Freeport,” terangnya.

Toni menambahkan, yang menjadi persoalan saat ini yakni ‎Pemda Papua belum dilibatkan dalam persetujuan perpanjangan izin usaha tambang oleh PT. Freeport ini. Karena itu ‎kondisi ini busa melanggar UU No.4/2009 tentang Minerba. “Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) DPR, ini (perpanjangan kontrak) melanggar konstitusi. Tidak ada satupun yang bisa dirubah apabila UU tidak direvisi,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komite II DPD RI yang membidangi masalah Migas, Dailami Firdaus juga mengatakan pemerintah dianggap sangat melemah dalam melakukan diplomasi ekonomi politik dengan Amerika. Lantaran ‎keputusan untuk membangun smelter untuk meningkatan nilai tambah ekonomi yang merupakan keputusan yang tepat ternyata dianulir sendiri oleh pemerintah.

“Kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh hak pendapatan hasil-hasil tambang yang selama ini di bawa keluar negeri. Dan ini juga pemeritah tidak adil karena lebih memihak kepada tekanan asing dibanding perusahaan domestik,” ujar Dailami Firdaus.

Selain itu dia juga menyesalkan banyak perusahaan tambang yang sudah menutup usahanya karena mulai 2014 dilarang mengekspor. “Kini dicabut aturan itu tidak serta merta bisa mendorong perusahaan yang sudah tutup tersebut bankit lagi karena sudah trauma, pegawai sudah terlanjur di PHK. Jadi yang untung hanya perusahaan asing atau BUMN besar yang bergerak di bidang tambang,” jelasnya (Albar)

Related posts