
Jakarta, Obsessionnews – Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menekankan pentingnya bank yang khusus melayani petani, nelayan, dan UMKM untuk meningkatkan produktivitas. Pendapat tersebut diantaranya dikemukakan oleh Abdul Jabbar Toba (anggota DPD RI dari Provinsi Sulawesi Tenggara) yang mengatakan bahwa petani butuh modal untuk menggenjot produktivitas. Ia juga menyayangkan beralihnya BRI menjadi bank umum. “BRI harus kembali ke khittahnya,” kata Abdul Jabbar Toba.
Mohammad Saleh (anggota DPD RI dari Provinsi Bengkulu) mempertanyakan perhatian sektor perbankan ke pertanian dan nelayan. “Saya prihatin dengan tumbuh suburnya rentenir di pedesaan dengan bunga 10% per bulan, masyarakat seperti petani butuh menembus perbankan,” ujar Saleh.
Pendapat tersebut diungkapkan dalam rapat dengar pendapat Komite IV DPD RI dengan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas). Rapat dipimpin oleh Ketua Komite IV Cholid Mahmud (anggota DPD RI dari Provinsi DIY). Sementara dari pihak Perbanas hadir Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono. Rapat Dengar berlangsung di ruang rapat Komite IV Gedung DPD RI, Senayan Jakarta, Rabu (4/2).
Sigit Pramono juga sependapat dengan anggota Komite IV DPD RI mengenai pentingnya bank khusus tersebut, seperti BRI yang sebenarnya bisa membiayai sektor mikro jika kembali ke khittah (garis besar perjuangan). Namun kendalanya adalah pemerintah Indonesia tidak punya cetak biru perbankan. “Beda pemerintah akan beda kebijakan, dan kami tidak punya lobi politik untuk itu”, kata Sigit.
Menurut Sigit, bank umum yang ada sekarang tidak mampu melayani kredit masyarakat kecil seperti pedagang, petani dan nelayan karena karyawannya tidak dididik untuk melakukan pekerjaan tersebut. “Memang harus ada bank khusus yang berbeda Direksi dan cara penilaiannya untuk menangani UMKM, tani dan nelayan,” jelas Sigit.
Dalam rapat dengar tersebut, Sigit Pramono juga menerangkan perlunya Indonesia mempunyai bank dengan ukuran yang sangat besar, agar berkah pertumbuhan ekonomi bisa kita kelola sendiri. “Kita harus memperkuat bank lokal, jangan sampai pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh bank asing”, katanya.
Kebutuhan adanya bank dengan ukuran yang sangat besar perlu didukung adanya Cetak biru Perbankan Nasional yang harus merupakan bagian integral dari Arsitektur Keuangan Indonesia. Setelah menyusun Cetak Biru Perbankan Nasional, perlu dilakukan revisi Undang-Undang Bank Indonesia dan setelah itu baru dilakukan revisi Undang-Undang Perbankan, jadi tidak langsung melakukan revisi Undang-Undang Perbankan. (Asma)