
Press Release
Jakarta – Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mempertanyakan sejumlah penerapan tarif PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang dinilai menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini tertuang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Keagamaan, dan Kementerian Kesehatan di Gedung DPD RI, Senin (6/3/2017).
Anggota DPD RI Ayi Hambali mempertanyakan penerapan PNBP yang mayoritas bersinggungan dengan kepentingan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan keagamaan.
“Kebutuhan dasar rakyat Indonesia ini ya agama, pendidikan dan kesehatan. Anehnya, kenapa kebutuhan dasar itu dibebankan PNBP. Seperti ada target pemerintah dan kementerian seolah adalah perusahaan dari pemerintah yang harus mengatur pemasukan,” tegasnya.
Ia pun menilai harusnya pemasukan dan pengeluaran PNBP dipertegas karena jumlahnya yang cukup besar. ”Jumlahnya triliunan lho untuk 3 kementerian, tapi apakah tepat sasaran penggunaannya. Di daerah itu apakah punya balai nikah yang cukup. Sarana dan petugasnya juga harus mendukung,” tutur dia.
“Untuk Kemenag, bagi yang menikah diluar kua itu apakah dari uang 600 ribu itu penghulu tidak boleh terima uang karena dianggap gratifikasi, tapi mereka juga berbulan-bulan tidak terima padahal penerimaan hanya dari situ, itu mekanismenya harus diperhatikan,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nursyam mengakui adanya persoalan para penghulu yang pembayarannya tertunda. Namun, prosesnya sedang berjalan sesuai mekanisme yang ada.
“Mekanismenya saat sudah disetor ke pusat, kita kirim surat ke kemenkeu, lalu kemenkeu kasih surat persetujuan, nah yang repot kalo pernikahan di bulan desember, apalagi di akhir desember, maka problemnya adalah terlambat dibayar, tunggu pengajuan, ini kami berharap ada fleksibilitas yang lebih dari PNBP. Saat ini ada angka Rp. 400 miliar lebih karena tidak bisa ditarik karena pernikahan di akhir tahun, itu memang prosesnya 3-4 bulan,” jawabnya.
Anggota DPD RI Andi Surya juga mempertanyakan pengenaan tarif PNBP pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN), terlebih untuk mahasiswa yang kurang mampu dan biaya kuliah yang cukup tinggi. “Soal uang kuliah yang ditarik PTN yang mengelola fakultas kedokteran, ini sangat tinggi bahkan sampai ratusan juta, apakah ini terkontrol, karena kelak kita akan butuhkan tenaga medis yang baik tapi juga tidak biaya kuliahnya jangan tinggi sehingga membebani masyarakat,” ungkapnya.
Menjawab hal itu, Kepala Badan PPSDM Kementerian Ristek dan Dikti, Usman Sumantri berkilah bahwa pengenaan tarif PNBP dibebankan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa dan orangtua.
“Terkait keringanan biaya kuliah itu harus memenuhi beberapa syarat. Faktor penentu yang berpengaruh dari pendapatan orang tua, ditentukan bukti bayar PBB, rekening listrik dan struk gaji orang tua, ada tim dari rektorat dan perwakilan mahasiswa, maka akan ditentukan mahasiswa masuk ke kelompok yang mana. jika mahasiswa keberatan maka dapat mengajukan permohon keringanan kepada universitas,” kilahnya pula.
Sementara itu Kepala Biro Perencanaan Kemristek Dikti, Erry Nurzal memaparkan penerimaan PNBP pada PTN itu digunakan seluruhnya untuk Tri Dharma perguruan tinggi yaitu untuk pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat pada masing-masing PTN dan dikelola dalam sistem APBN dan merupakan 20% anggaran penididkan, sehingga daerah tidak memiliki hak bagi hasil atas penerimaan PNBP untuk obyek penerimaan PNBP yang ada di daerah.
Menutup rapat, Ketua Komite IV DPD RI, Ajiep Padindang berharap pemberlakuan tarif PNBP dapat berpengaruh positif dalam peningkatan layanan ke masyarakat dan tidak membebani masyarakat. (*)