
Jakarta, Obsessionnews – Ternyata, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya tidak kuat untuk bungkam menghadapi tekanan terhadap dirinya dari orang-orang sekelilingnya dan pihak Partai politik pendukungnya, termasuk PDI-P, termasuk tekanan terkait calon Kapolri. Jokowi juga mengeluh atas kinerja para menterinya yang duduk di Kabinet Kerja. Namun, Jokowi mengaku dalam posisi sulit menyikapinya.
Yang menarik, keluhan Jokowi tersebut disampaikan kepada Prabowo Subianto saat pertemuan Presiden dengan Ketua Umum Pratai Gerindra tersebut di Istana Bogor pada Kamis (29/1) lalu. Keluhan Presiden ini diungkapkan oleh Ketua DPP Partai Gerindra Arief Poyuono kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/2/2015), yang telah disampaikan langsung oleh Prabowo kepada dirinya.
Menurut Arief, ketika itu Prabowo membaca sinyal kalau Jokowi sudah tidak tahan atas tekanan yang dihadapinya dan ingin keluar dari tekanan sehingga lebih mandiri. Namun, lanjut Arief, Jokowi tidak mengungkapkan kepada Prabowo apakah Presiden ke-7 RI itu akan keluar dfari PDI-P atau mau bergabung dengan partai lain.
Saat bertemu Prabowo itu, lanjut Arief, Jokowi juga mengaku bahwa dia sebenarnya lebih memilih pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung atau melalui DPRD. Kepada Prabowo, Jokowi mengungkapkan alasannya pilkada tidak langsung lebih efisien mengingat kondisi pemilu langsung yang belum matang.
“Ditambah lagi alokasi yang besar untuk pilkada langsung bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat lainnya. Walau tidak mau permanen, tapi Jokowi sayangkan Perppu Presiden SBY,” beber Arief mengutip pengakuan Jokowi kepada Prabowo.
Selain itu, menurut Arief, mengeluh dengan banyaknya tekanan terhadap dirinya, baik dari orang sekelilingnya maupun dari partai pendukungnya, termasuk PDIP. “Utamanya dalam soal Kapolri. Jokowi mengaku mengeluh,” ungkapnya pula.
Di depan Prabowo, jelasnya, Jokowi pun merasa hak prerogatifnya sebagai presiden mulai diganggu, sejak pembentukan kabinet. Bahkan, Jokowi merasa dirinya diintervensi habis-habisan dalam penentuan calon Kapolri. Karena itulah, Jokowi tidak bisa mengambil sikap tegas dalam kisruh ‘KPK vs Polri’. “Menurut pengamatan Prabowo saat itu, Jokowi juga tidak mau melantik Budi Gunawan. Tapi Prabowo menegaskan akan mendukung apapun keputusan Presiden,” bongkar Arief.
Lebih lanjut, Jokowi meminta Prabowo untuk mendukungnya dalam pengesahan RAPBN-P 2015 di DPR. “Di situ, Jokowi memuji Prabowo sebagai negarawan. Prabowo pun menegaskan sikapnya bahwa Partainya akan mendukung apapun yang sejalan dengan kepentingan rakyat,” kisah Arief menyampaikan isi pertemuan Jokowi dengan Prabowo.
Secara terpisah, Ekonom senior Rizal Ramli menilai, kebijakan Presiden Jokowi menyengsarakan rakyat karena para menterinya KW3 alias kualitasnya ‘jelek’. Menurutnya, popularitas Jokowi anjlok karena membuat banyak kebijakan yang menyusahkan rakyat di awal pemerintahannya. Misalnya, Jokowi menaikkan harga premium di saat harga minyak dunia justru turun. “Premium dikonsumsi sebagian besar rakyat kelas bawah. Sopir angkutan umum, nelayan, pesepeda motor, dan lainnya,” ungkap Rizal.
Kebijakan Jokowi dinilai semakin menyengsarakan rakyat dengan menaikkan harga harga gas Elpiji 3 kg, tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400 persen. “Semua itu sangat bertentangan dengan jargon Trisakti yang diusung sewaktu kampanye Pilpres. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat kental bernuansa neolib dan menyakitkan rakyat,” beber Mantan Aktivis ITB ini yang pernah ditangkap rezim orde baru ini.
Rizal menambahkan, Jokowi telah meninggalkan Trisakti dan ternyata hanya dibuat jualan kampanye lalu. Hal ini semakin tampak saat kabinetnya dinamai Kabinet Kerja. “Kalau hanya kerja, zaman penjajah Belanda dan Jepang juga digenjot kerja, kerja dan kerja. Blunder Jokowi semakin menjadi (nyata) ketika kabinetnya diisi banyak para penganjur neolib dan berkualitas KW3. Para menterinya hanya bisa menaikkan harga,” semprot Mantan Menjko Perekonomian era Presiden Gus Dur. (Ars)