Sabtu, 20 April 24

Dilarang Tangkap Hiu dan Pari!

Dilarang Tangkap Hiu dan Pari!
* Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di acara pembukaan Simposium Nasional Ke-2 Hiu dan Pari di Jakarta, Rabu (28/3/2018). (Foto: KKP)

Jakarta, Obsessionnews.com –  Eksploitasi hiu dan pari di Indonesia secara berlebih akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi kedua spesies tersebut. Pemerintah dan masyarakat seyogyanya menyadari, perlu dibutuhkan waktu lama untuk memulihkan keberadaannya kembali. Terlebih spesies yang ditangkap telah masuk dalam daftar Apendiks II Convention on International Trade of Endangered species (Konvensi Perdagangan Spesies Terancam Punah).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengenang sebuah kisah pada masa kecilnya. Ia mengatakan, keberadaan  pari manta dan whale shark merupakan sebuah tanda bahwa terdapat banyak ikan di lautan. Namun, keberadaan pari manta dan whale shark, mulai langka ketika sebelumnya kapal-kapal asing diizinkan masuk ke perairan Indonesia.

“Saya waktu kecil kalau hiu bintang datang, itu pertanda bahwa ikan-ikan pada datang. Jadi disambut suka cita. Apabila ia di pinggir tapi tidak mati, biasanya oleh masyarakat didorong ke laut. Namun semakin ke sini, whale shark menjadi komoditi yang bisa dijual,” kata Susi di sela-sela pembukaan Simposium Nasional Ke-2 Hiu dan Pari di Jakarta, Rabu (28/3/2018).

Dalam siaran pers yang diterima Obsessionnews.com, Kamis (29/3), di symposium tersebut Susi menuturkan,” Selain itu ternyata ada policy dan kejadian yang kita semua tidak tahu. Di mana pada tahun 2000-an, salah satu pemerintahan kita ada yang mengizinkan penangkapan ikan oleh kapal-kapal ikan asing di wilayah Indonesia. Kita tuh mulai berpikir, ikan hilang karena kita sendiri. Mungkin juga kita menjadi bagian penurunan sumber daya laut kita, namun ternyata tidak semua benar. Alasan yang paling besar adalah diizinkannya kapal asing masuk.

Menurut Susi, dengan diizinkannya kapal asing masuk ke perairan Indonesia secara resmi, akan membuka masifnya kedatangan kapal-kapal asing ilegal yang “terbungkus” dengan 1-2 kapal legal di wilayah perairan Indonesia.

“Kapal-kapal asing ini membeli, mengkonsensi dan meregisterkan menjadi kapal berbendera Indonesia. Ketamakan dan keserakahan mempengaruhi mereka. Di laut harusnya ada kapal 10 kapal, tapi nyatanya di laut ada 20. Bisa berapa kali lipat jumlahnya hanya dengan satu izin. Warnanya sama, nomornya juga sama. Kapal-kapal ini ukurannya luar biasa. More than averages dari pada kapal-kapal Indonesia,” terangnya.

Hal tersebut menjadi alasan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memberantas pencurian ikan. Keputusan ini dibuktikan melalui hasil penelitian Universitas California Santa Barbara bersama Badan Riset Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), saat ini stok ikan lestari telah mencapai 12 juta ton. Selain itu, beberapa ikan yang dahulu langka, saat ini sudah muncul kembali.

“ Di Probolinggo saya menyaksikan sendiri, ada dua puluhan ekor lari ke sana kemari. Di Kaimana, di Gorontalo yang hampir 10 tahun lebih tidak pernah kelihatan, sekarang ada lagi. Itu pertanda kesehatan laut kita membaik,” tandas Susi.

 

Pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan, dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya sehingga dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan. Pasalnya, karakteristik biologi ikan hiu dan pari memiliki laju reproduksi relatif rendah, usia matang seksual lama dan pertumbuhannya yang lambat. Ia pun meminta kepada pemda untuk mengadakan komunikasi dengan masyarakat maupun penyuluh perikanan agar melarang penangkapan hiu dan pari manta.

“Kita semua harus memberi pemahaman, bahwa pari manta dan hiu itu pasti hidup di wilayah yang masih subur dan produktif. Jadi kalau masih ada ikan besar-besar, itu berarti, ikan yang lainnya masih ada. Jadi pemdanya harus aktif. Tolongah jangan ambil parimanta,” tegas Susi.

Dalam kesempatan tersebut  Susi menyampaikan keinginannya membuat sebuah wadah berkumpul, bernama ‘Balai Bengong’. Nantinya di tempat tersebut akan difasilitasi televisi, CD dan DVD tentang kekayaan laut Indonesia. Tempat ini sebagai salah satu sarana edukasi bagi masyarakat terutama anak-anak, tentang betapa indahnya pemandangan bawah laut. Ia pun mengajak pemerintah daerah hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk berpartisipasi dalam berdirinya tempat tersebut.

”Mungkin dari yayasan konservasi bisa membantu. Karena dari sini, anak-anak nanti bisa nonton kekayaan alam, bisa nonton tentang (pengaruh) sampah plastik yang jelek,” tandasnya.

Dia berharap simposium ini dapat memberikan rekomendasi dan aksi, serta dapat menghimpun data dan informasi terkini tentang status populasi hiu dan pari, serta tingkat pemanfaatannya secara berkelanjutan berbasis ilmiah.

“Ini menjadi advice bagi kjta. Baiknya setelah ini kita adakan aksi. Kita datangi, kampanye ke restoran-retsoran seafood untuk menyuarakan berhenti menjual shark. Caranya mungkin dengan stiker, kaos,” tuturnya.

Simposium ini mengundang para akademisi, peneliti, dan praktisi untuk berkontribusi dalam pengelolaan dengan mengirimkan abstrak penelitian terkait dengan subtema yang diusung terkait aspek Biologi, Populasi, dan Ekologi; Sosial Ekonomi dan Kelembagaan; serta Pengelolaan dan konservasi.

Empat tema yang disampaikan dalam simposium pada tanggal 28 Maret 2018 adalah: (1) Strategi Pelaksanaan Resolusi Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) terkait dengan Bycatch Hiu dan Pari; (2) Isu Perdagangan Global Hiu dan Pari; (3) Peran Indonesia dalam Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Hiu dan Pari secara Berkelanjutan; dan (4) Peranan Hiu dan Pari dalam Pengelolaan Kawan Konservasi: Lesson learned dari Bentang Laut Kepala Burung Papua Barat.

Sedangkan  pada 29 Maret 2018, tema yang disampaikan yakni: (1) Status Global Potensi dan Upaya Konservasi Hiu dan Pari; (2) Aspek Sosial  Ekonomi dalam Pengelolaan Hiu Pari; (3) Urgency of Threatened Shark and Ray Species Assessment and Research in Indonesia; dan  (4) Pariwisata Hiu dan Pari.

Dengan adanya Simposium Nasional Hiu dan Pari, juga diharapkan dapat menjaring 75 pemakalah terkait sumber daya hiu dan pari maupun prosiding simposium yang telah melewati proses review pakar, agar dapat dijadikan acuan dalam penyusunan cetakan terbaru Buku Putih Perikanan Hiu di Indonesia dan rekomendasi kebijakan pengelolaan jenis ikan hiu yang belum diatur dalam RFMO, CITES peraturan perundangan-undangan di Indonesia. (ali/arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.