
Jakarta – Aliansi Advokad Merah Putih (AAMP) meminta kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk meneliti dan menguji kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketua AAMP, Suhardi Somomoeljono mengatakan perlu dibentuknya Pansus, lantaran KPU diduga telah melakukan hukum yang bersifat subtantif.
“Apabila ditemukan pelanggaran hukum yang subtantif, maka negara melalui pemerintah yang berkuasa dapat segera mengeluarkan Perppu guna memperpanjang pemerintah selama maksimal 1 tahun, guna menyelenggarakan Pilpres secara demokratis,” ujar Suhardi Somomoeljono di Jakarta, Rabu (20/8/2014).
Suhardi mencontohkan, salah satu bentuk pelanggaran hukum subtantif yang dilakukan KPU adalah pencapresan Joko Widodo (Jokowi) yang melanggar PP no 14 tahun 2009 pasal 19 ayat 1,2,dan 3.
Pasal itu menyebutkan bahwa, kepala daerah yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres atau cawapre harus mengajukan permohonan izin kepada Presiden serta harus menyampaikan surat permohonan izin kepada presiden paling lambat 7 hari sebelum didaftarkan oleh parpol atau gabungan parpol di KPU.
Faktanya, kata Suhardi, Jokowi mendaftarkan diri sebagai capres pada tanggal 19 Mei 2014. Sedangkan Jokowi ketemu presiden tanggal 13 Mei dan itu pun tidak membawa surat rekomendasi dari partai pengusung.
“Jadi itu tidak sah bila merujuk pada Peraturan pemerintah tersebut,” ungkapnya.
Menurut Suhardi , KPU telah menabrak aturan yang dituliskan dalam UU No 42 Tahun 2008 Pasal 7 tentang pemilu presiden dan wakil presiden. Dimana seorang kepala daerah yang ingin maju sebagai calon presiden harus meminta izin kepada presiden.
Kemudian tanggal 31 Mei 2014 KPU melaksanakan verivikasi terhadap pasangan capres dan cawapres lewat sidang pleno. Dimana hasilnya meloloskan pasangan Prbowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Anehnya, lanjut Suhardi, lagi-lagi KPU mengabaikan amanat Undang-Undang No 15 Tahun 2011. Dimana Ketua KPU berkewajiban memimpin rapat pleno itu. Namun dalam pelaksanaannya rapat pleno itu tidak dipimpin Ketua KPU melainkan dipimpin pelaksana tugas yakni Hadar Nafis Gumay.
“UU No 15/2011 itu dipasal 7 dikatakan jelas ketua KPU wajib memimpin dan menandatangani rapat pleno. Tapi rapat dipimpin plt. Nah persoalannya adalah apa boleh diperbolehkan,” terangnya.
Dengan dugaan pelanggaran itu, Suhardi menilai bakal melahirkan pemerintah yang tidak legitimate. Akhirnya rakyat lah yang menjadi korban darikesalahan KPU.
Sementara itu, Ketua KPU, Husni Kamil Manik mengatakan gugatan di PTUN itu merupakan hak setiap warga negara dan merespon apa yang jadi perkembangan terutama dalam penyegaran.
“Ini banyak ruang dalam perundangan kita jadi kami hormati hak warga negara tersebut sejauh berkaitan kerjanya KPU,” ujarnya di Gedung KPU.
Husni juga menyampaikan, KPU akan ikuti dengan seksama apapun yang ditempuh para pihak apakah mengaduakan tuntutan pengadilan negeri menguji PKPU di MK dan lain-lian. “Termasuk kegiatan-kegiatan di DPR itu tidak hanya pansus tapi RDP yang sudah saya dapat undangan senin 25 agustus kami hadir,”pungkasnya. (Pur)