Rabu, 24 April 24

Depok Razia LGBT Cegah ‘Predator Seks Setan’

Depok Razia LGBT Cegah ‘Predator Seks Setan’
* ilustrasi predator seksual setan. (VOR)

Untuk mencegah ‘predator seks setan’ pemerkosa terbesar di Inggris yang dilakukan Reinhrad Sinaga, Wali Kota Depok melakukan razia LGBT. Namun anehnya, ada pihak yang menolak kebijakan pemerintah Depok guna menyelamatkan generasi bangsa ini dari kehancuran moral ini.

Hakim pengadilan Manchester, Suzanne Goddard dalam putusannya pada Senin (6/1/2020), menggambarkan Reynhard sebagai “predator seksual setan” yang “tidak akan pernah aman untuk dibebaskan.”

Reynhard Sinaga, seorang pria asal Indonesia, dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris dalam 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban pria, selama rentang waktu dua setengah tahun dari 1 Januari 2015 sampai 2 Juni 2017. Di antara 159 kasus tersebut terdapat 136 perkosaan, di mana sejumlah korban diperkosa berkali-kali.

Ternyata, Reynhard Sinaga diketahui menuntaskan kuliah di Universitas Indonesia (UI) Depok dan sempat tinggal bersama orang tuanya di Depok.

Kebijakan Wali Kota Depok, Mohammad Idris, untuk mengerahkan seluruh perangkat daerah yang dimilikinya untuk mencegah apa yang disebutnya sebagai upaya penyebaran perilaku LGBT mendapat kritikan. Mohammad Idris beralasan langkah itu diambil demi melindungi wilayahnya dari kasus seperti Reynhard Sinaga.

Beberapa upaya pencegahan itu, kata Mohammad Idris, dengan merazia tempat-tempat yang diindikasikan sebagai lokasi LGBT berkumpul seperti mal, kos-kosan atau apartemen. Jika dipastikan ada kelompok LGBT, katanya, Satpol PP akan membawa ke bidang penyuluhan untuk ‘dibina’ secara agama.

“Kalau mereka mengaku LGBT dan minta bantuan ingin keluar dari lingkaran itu, kita lakukan semacam recovery atau nasihat-nasihat,” ucapnya kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (12/1).

Tindakan lainnya menyebarkan surat edaran ke pusat-pusat perbelanjaan agar tidak membiarkan kelompok LGBT berkumpul dan membentuk crisis centre untuk mendata korban LGBT.

Menurut Mohammad Idris, apa yang dilakukannya itu sebagai langkah antisipasi agar perilaku LGBT yang disebutnya sebagai ‘virus, tidak menyebar’. Karena itu ia menolak jika kebijakannya dikatakan melanggar hak privat seseorang dan mengkriminalkan kelompok LGBT.

“Kita berangkat dari aturan ketertiban umum bahwa ini memang secara norma dan agama, menjadi sebuah permasalahan. Makanya kita tindakan-tindakannya persuasif, artinya memberikan penyuluhan dan kesadaran.”

“LGBT melanggar aturan agama tidak? Ini kan masalahnya virus, bisa menyebar. Lain halnya orang meninggalkan salat itu sangat privasi, tidak bisa diambil tindakan karena aturan meninggalkan salat terus dieksekusi, tidak ada.”

Namun anehnya, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Uli Pangaribuan, menyebut kebijakan untuk melakukan apa yang disebut sebagai upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT, tidak masuk akal. “Itu ngawur dan salah sasaran,” kata Uli Pangaribuan kepada BBC, Minggu (12/1).

Bahkan, Uli menganggap, razia oleh Satpol PP terhadap kos-kosan atau apartemen yang diduga tempat berkumpulnya kelompok LGBT melanggar hak privat. “Itu membuat orang tidak nyaman dan pelanggaran hak privasi dan kebebasan. Apalagi ruangnya, ruang privat,” tantang pengacara LBH Apik.

Aktivis LGBT, Hendri Yulius juga mempertanyakan kebijakan wali kota Depok tersebut. “Saya nggak clear apa yang didefinisikan, tolok ukurnya apa? Karena tidak jelas apakah merujuk pada identitas seseorang atau pada perilakunya? Itu kan dua hal yang terpisah,” ujar Hendri Yulis kepada BBC, Minggu (12/1).

Menurut Hendri Yulius, kelompok LGBT tak bisa diperlakukan berbeda hanya karena orientasi seksnya sehingga pemerintah daerah tak berhak mencampuri urusan privasi mereka. Karena itulah, menurutnya pula, jika Pemkot Depok berkeras melakukan razia ke kos-kosan atau apartemen, akan terjadi persekusi atau kriminalisasi. (*/BBC News Indonesia/Red)

Kelompok Muslim anti-LGBT berbaris untuk memblokade pengunjuk rasa pro-LGBT di Yogyakarta pada 23 Februari 2016. (BBC)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.