Rabu, 4 Oktober 23

Demokrasi Ekonomi Kecongkakan Akademis

Demokrasi Ekonomi Kecongkakan Akademis

Peringatan untuk Para Ekonom:
Demokrasi Ekonomi Kecongkakan Akademis  *)
Oleh: Prof Dr Sri Edi Swasono  **)

Barangkali perlu saya kemukakan di sini bahwa hampir di seluruh fakultas-fakultas ekonomi sejak awal berdirinya telah ditumbuhkan semacam kekaguman pada teori ekonomi Barat, yang kita kenal dengan sebutan mainstream neoclassical economics; barangkali sejak itu pula telah mengidap keminderan intelektual.

Akan saya sampaikan suatu kilas balik, sebagai berikut: Pada awal bulan Mei 1992, dalam salah satu makalah utama seorang Doktor Ekonomi yang diajukan pada suatu dialog eko-nomi nasional di Jakarta dikemukakan pernyataan seperti ini: “…istilah demokrasi ekonomi sebenarnya tidak akan bisa ditemukan dalam kamus istilah ekonomi. Bahkan pem¬bahasan mengenai konsep ini juga tidak terdapat dalam buku-buku ekonomi, politik, sosiologi ataupun buku-buku ilmiah lainnya. Akan tetapi istilah demokrasi ekonomi dapat dijumpai dalam Penjelasan UUD 1945 Republik Indonesia, tetapi tanpa penjabaran lebih lanjut yang mendalam…”.

Mengapa harus ada pernyataan demikian sebagai awal suatu makalah? Bukan main, suatu pernyataan yang kelewat berani-mati.

Pengungkapan pernyataan mineur di atas itu tidak bermaksud untuk memojokkan secara khusus makalah tersebut, apalagi memojokkan penulisnya. Pandangan-pandangan atau maksud-maksud seperti itu juga telah acapkali diucapkan oleh ekonom-ekonom yang lain dari kelompok yang sama, yang nyaris “memenangkan” suatu opinion building pada kalangan luas, terutama terhadap kaum yang awam tentang ilmu ekonomi.

Istilah demokrasi ekonomi sebenarnya dengan mudah didapati di Kamus Istilah Ekonomi (Inggris-Belanda-Indonesia) sebagai entry di bawah abjad E: Economic Democracy – Economische Demokratie – Demokrasi Ekonomi, dijelaskan di situ: Demokrasi ekonomi berhubungan dengan hak turut bersuaranya buruh/karyawan di lingkungan pimpinan perusahaan (Medezeggenschap). Terlepas dari setuju atau tidak setujunya kita dengan penjelasan yang berorientasi mikro dari Kamus Istilah Ekonomi ini, istilah itu ada di situ dan menjadi absahlah “demokrasi ekonomi” sebagai suatu istilah ekonomi.

Di dalam ensiklopedi yang paling popular pun, seperti misalnya Encyclopedia Americana, Vol. 8 (1970), pada entri “democracy”, sub-entri “Kinds of Democracy”, dapat ditemui tidak sekedar istilah, tetapi juga pengertian dan penjelasan tentang “demokrasi ekonomi” (economic democracy) dari berbagai sudut pandang mikro dan makro (disusun oleh ahli ilmu politik terkemuka, Sidney Hood dari New York University). Demikian pula dalam Encyclopaedia Britannica Vol. 7 (1958) pada entry “democracy” dibahas dengan panjang lebar masalah social equality, political equality dan economic equality sebagai bagian tak terpisahkan dari real democracy.

Hambatan ideologi atau kultural apakah gerangan yang menumbuhkan sinisme dan daya tolak yang begitu besar terhadap istilah demokrasi ekonomi oleh mereka? Padalah tidak saja di dalam kamus istilah ekonomi, di dalam buku-buku teks pun perkataan dan istilah serta konsep dan paham “demokrasi ekonomi” itu ada. Salah satu dari banyak buku tentang demokrasi ekonomi adalah karangan Robert A. Dahl, A Preface to Economic Democracy (1985). Biarlah satu buku yang ini saja yang saya single-out di sini, memang sengaja saya pilih, karena yang menerbitkan adalah University of California Press, Berkeley. Kampus Berkeley cukup popular di antara “kaum Berkeley Indonesia”. Andaikata buku-buku semacam ini, yang cukup banyak adanya, tidak sempat terbaca oleh mereka, toh mereka dapat melihat dari segi “akhlaknya”, bukan dari segi istilah. Akhlak demokrasi ekonomi ada, tidak saja dalam buku-buku tetapi juga dalam kehidupan kenegaraan secara nyata di Barat. Di Barat sehari-hari kita melihat adanya tuntutan akan economic equality, equity dan pemeliharaan dan serta penghormatan terhadap kepentingan publik (public interest). Ada pula program anti kemiskinan, anti-trust law, small-business act, employee stock ownership program dst dst. Perjuangan merealisasi demokrasi ekonomi dilancarkan secara nyata pula oleh pemimpin-pemimpin kelompok lemah dan “tertindas” di Amerika Serikat, tempat para ekonom kita belajar. Tentu perlu saya sebutkan buku monumental karangan J.W. Smith, Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century (2000), antara lain pengarangnya menegaskan “…The basic pattern of the world trade was established centuries ago, so today’s world trade is not a current conspiracy. It is a current structure of corporate imperialism monopolizing the tools of production, con-trolling the trade and enforcing inequality of trade as established centuries ago…”.

Keminderan intelektual barangkali telah mengambil ben¬tuknya sebagai kecongkakan akademis (yang menjadi judul paragraph ini) dan menggambarkan tumbuhnya semangat mena¬fi¬kan cita-cita kemerdekaan nasional, sekaligus menggambarkan mediokritas intelektual.

Cita-cita nasional yang strukturalistik untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… dst dst”, tidak akan bisa diwujudkan tanpa menggelar suatu perencanaan pembangunan nasional, yang tidak bisa hanya dengan sekedar menyandarkan pada kehendak dan selera pasar-bebas. Perencanaan Pembangunan Nasional tidak seharusnya direduksi hanya sebagai suatu perencanaan pembangunan ekonomi seperti saat ini. Tambahan lagi dalam cita-cita nasional itu kita menyatakan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berarti kita wajib proaktif ikut mendesain wujud masa depan globalisasi dan mekanisme operatifnya, tidak hanya membiarkan diri menjadi bangsa termenung dan antisipatif, sekedar menjadi obyek permainan konyol kekuatan-kekuatan global.

Demokrasi ekonomi Indonesia menentang artikulasi homo-economicus. Pasal 33 UUD 1945 adalah dasar dari demokrasi ekonomi Indonesia38). Pasal 33 UUD 1945 adalah local wisdom Indonesia, suatu master piece (Bintoro Tjokroamidjojo, Bappenas, 1973). Dengan Pasal 33 inilah Indonesia menegaskan custom-made economic democracy-nya, artinya (sebagai kebijaksanaan korektif) kita mengakhiri pola-pikir “goyang pendulum” dari “kiri” ke “kanan” atau sebaliknya. Kita perlu menolak westernism ini, yang terperangkap oleh pola-pikir komunisme versus kapitalisme itu-itu saja.

Sekali lagi, berpikir dalam alur pikiran goyang pendulum dari kiri ke kanan dan sebaliknya sudahlah obsolit. Bahwa Francis Fukuyama menulis tentang the “end of history” (1992) dan menyatakan bahwa “universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia”, telah mulai terbantahkan oleh fakta-fakta dan juga disanggah oleh Samuel Huntington (1996) yang mengemukakan pandangan tentang dominannya the “clash of civilizations”39).

Saat ini kita ditantang untuk berpikir korektif tentang manusia yang digambarkan sebagai homo-economicus sebagai titik-sentral di dalam Smithian economics. Mendahului tokoh-tokoh anti pasar-bebas yang menolak stelsel laissez-faire seperti Karl Polanyi (1944); Gunnar Myrdal, John Kenneth Galbraith, Francis Bator, Paul Baran dll (1957-1960); Robert Kuttner, Lester Thurow, Amartya Sen, George Soros, Joseph Stiglitz dan lain-lainnya (1990-2002); Mohammad Hatta pada tahun 1934 di dalam Penjara Glodog Jakarta telah menulis penolakan tegasnya terhadap manusia ekonomi yang digambarkan sebagai  homo-economicus:
Searah dengan pandangan Hatta adalah pandangan KRT dr. Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952), Ketua BPUPKI yang memimpin persiapan penyusunan UUD 1945, menyatakan (1944): “Adam Smith adalah seorang cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih pribadi (self-interest, pen.) sebagai penyakit masyarakat”.

Apa itu homo-economicus dapat lebih lanjut saya jelaskan melalui kutipan pada catatan kaki 42 di bawah ini. Dalam konteks pergeseran paradigma (shift of paradigms) dominasi pola-pikir ekonomi yang mewajarkan sikap dan perilaku rakus, egois, materialistik dan hedonistik untuk homo-economicus41) harus ditolak. Pembangunan sebagai proses “humanisasi” yang menempatkan “humanisme” sebagai nilai peradaban modern telah dituntut menjadi titik-sentral pembangunan nasional dan global. Seperti saya katakan di atas, demokrasi ekonomi menuntut partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi – sarat dengan nilai-nilai humanisme dan semangat humanisasi.

Modernisasi, Pergeseran Paradigma dan Tuntutan Transformasi
Paradigma ekonomi mulai bergeser, dari kompetitivisme ke kooperativisme, dari self-interest ke mutual-interest, dari market-centered ke people-centered, dari “daulat pasar” ke “daulat rakyat”, dari manusia sebagai homo-economicus ke manusia sebagai homo-humanus, homo-ethicus, homo-socious, homo-religious, homo-poeta dan homo-magnificus42), dari penjajahan ke kemerdekaan yang berkedaulatan, dan dari konflik ke ko-eksistensi damai, yang serba multi-dimensional.

Pergeseran Paradigma dan Jalan Lurus
Di luar pendapat para tokoh yang telah saya kemukakan di atas, fenomena terjadinya berbagai pergeseran paradigma itu juga dapat saya intip dari berbagai karya terkemuka tentang dinamika peradaban, meskipun tidak selalu seiring dengan kesimpulan doktriner masing-masing penulisnya, antara lain dari karya-karya besar Karl Polanyi, The Great Transfor¬mation (1944); Amitai Etzioni, The Moral Dimensions: Toward a New Economics (New York: The Free Press, 1988); Mark Blyth, Great Transformations (1995); Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996); dan Francis Fukuyama, The Great Disruption (1999).

Pasal 33 UUD 1945 bukan “jalan kiri”, bukan “jalan kanan”, bahkan bukanlah pula “jalan tengah”, tetapi adalah “jalan lain”, suatu “jalan lurus”, yang para pendiri Republik menyebutnya sebagai “jalan Pan¬casila”.

Saya ingin mengungkap di sini bahwa saya teringat akan sentilan seorang sesepuh harian Kompas kepada saya di bulan Agustus 2005 tatkala banyak ekonom kita mengagumi “jalan ketiga”-nya Anthony Giddens. The third way-nya Giddens, kata Jakob Oetama telah 65 tahun ketinggalan dari the third way (Pasal 33)-nya Hatta (saya tulis hal itu di Kompas 16/8/2005). “Jalan tengah” dalam konteks Pasal 33 UUD 1945 merupakan suatu penyelewengan sekaligus merupakan suatu absurditas abstraksi ideologis, ora rono ora réné, ora ngalor ora ngidul, mégal-mégol kaya ménthok.

Sekarang urusan kita menjadi lebih jelas, yaitu bagai¬mana Indonesia merespon berbagai pergeseran paradigma di atas?

Sesuai dengan “jalan lurus” atau “jalan Pancasila” yang kita idamkan, tidak bisa tidak, harus bertolak dari Pasal 33 UUD 1945, yang menolak pasar-bebas kapitalistik, yang mengutamakan “daulat rakyat” daripada “daulat pasar”, yang berdasar Demokrasi Ekonomi, di mana partisipasi dan emansipasi rakyat dalam perekonomian dituntut, yang people-based dan sekaligus people-centered, yang mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.

Transformasi Ekonomi
Secara sadar sejak Indonesia merdeka mene¬tapkan UUD 1945, telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekono¬mi” dan “transfor-masi sosial” yang menjadi kaitannya.

“Transformasi ekonomi” berhakikat “mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional”. Sistem ekonomi liberal kapitalistik dan sistem subordinasi ekonomi disisihkan. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghindari kemungkinan terjadinya chaos dalam melaksanakan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang ber¬bunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menu¬rut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah secara temporer “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional, sistem pertama ekonomi nasional secara imperatif berdasarkan paham demokrasi ekonomi sesuai Pasal 33 UUD 194543) diberlakukan, dan sistem kedua secara temporer (masih boleh) berlaku pula sistem ekonomi berdasar liberalisme-kapitalistik berikut paham individualismenya yang dikenal sebagai “asas per¬orangan”, yang berdasar ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai (Ayat II) Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.

Mengingat masih berlakunya sistem kedua yang “temporer” itu, maka di dalam me¬nyusun sistem ekonomi nasional, “asas perorangan” seharusnya diperlakukan secara temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menanggalkan “asas perorangan” dan menyusun pereko-no¬mian (termasuk budaya ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan” yang sesuai dengan sistem Demokrasi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD kolonial. Namun apa yang terjadi tidak demikian. Kita malah memelihara liberalisme bahkan neoliberalisme-kapitalistik, apakah itu oleh kelengahan-kultural, hegemoni-akademis ataukah oleh kemiskinan-akademis. Banyak undang-undang di bidang ekonomi bertentangan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian harus dimintakan judicial reviews kepada Mahkamah Konstitusi. Gerak divergensi terhadap konstitusi ini bolehlah dibilang sebagai paradigmatik menentang arus masa depan.

Dimensi moral-konstitusional Indonesia yang saya ajukan sebagai berikut: keber-samaan dan asas kekeluargaan dalam perekonomian mengandung makna perlunya diwujudkan prinsip kegotong-royongan Triple-Co44), yaitu pemilikan bersama (co-ownership), pengambilan keputusan bersama (co-determination), dan tanggungjawab ber¬sama (co-res-ponsibility) yang diberlakukan terhadap semua bentuk badan usaha demi mereduksi ruh dan soliditas kapitalisme secara mendasar dan sekaligus menegaskan prinsip partisipasi dan emansipasi ekonomi sesuai sistem Demokrasi Ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 tidak anti besar, tetapi yang besar perlu dimiliki atau dikuasai oleh orang banyak.

Apa yang dimaksud dengan “Perekonomian” tidak saja meliputi koperasi, tetapi tentu juga usaha swasta dan usaha milik Negara, ketiganya merupakan tiga wadah ekonomi utama. Apa yang dimaksud dengan “disusun” adalah ditata, didesain, distruktur, dibentuk, diwangun, yang selanjutnya keseluruhan Pasal 33 UUD 1945 saya urai di catatan kaki 16.

Ganasnya kompetitivisme pasar-bebas, barangkali retorik, dapat diberikan contoh sebagai berikut: pembangunan ternyata telah menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan, hal ini tidak hanya merupakan suatu kejahatan ekonomi, tetapi adalah suatu penodaan terhadap humanisme (the defunct of humanism). Dalam pemba-ngunan dan pembaharuan daerah urban pesangon atau ganti rugi apapun terhadap pemilik lahan yang tergusur tidak membuat si miskin menjadi bernasib lebih baik, tetapi sebaliknya pemilik baru lahan akan berkesinambungan menerima rente ekonomi. Sesuai dengan prinsip Demokrasi Ekonomi yang partisipatori dan emansipatori, dalam proses pembangunan semua harus terbawa serta dalam kemajuan, tidak ada yang terpinggirkan atau kehilangan pemilikan yang merugikan. Pembangunan manusia seutuhnya dan per-sahabatan serta kedamaian antar¬manusia tertelan oleh kapitalisme predatorik. Globalisasi menambah intensitas ini: “…dalam keadaan dunia semakin terglobalisasi akan terjadi perusakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis…” (Huntington, 1996). Dalam brutalitas pasar-bebas global saat ini kebenaran terjadinya jaman pertengkaran terbukti – asu gedhé menang kerahé (primbon Jawa).

Transformasi Sosial
“Trasformasi sosial” merupakan tuntutan riil. Hubungan ekonomi subordinasi “tuan-hamba”, “taoke-koelie” atau “juragan-buruh” (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita rubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori dan emansipatori. Ke arah inilah transformasi sosial dalam peri kehidupan ekonomi yang harus kita lakukan. Tanpa kesadaran perlunya dipenuhi tuntutan transformasi sosial itu, sebagai salah-satu contoh saja, maka pola kerjasama PIR (plasma tersubordinasi oleh inti) akan hanya merupakan cultuurstelsel baru, Demokrasi Ekonomi tidak terbentuk, bahkan menjadi gothang, artinya ada partisipasi ekonomi tanpa emansipasi ekonomi.

Transformasi sosial-ekonomi sebagaimana kita kehendaki tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial-ekonomi ternyata harus menempuh suatu proses “transformasi budaya” panjang, melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras dan terbuka hingga ke yang subtil. Transformasi budaya ini menghadapi berbagai resistensi dengan tetap langgengnya budaya feodalistik (patronisasi), servilisme, konservatisme dan keterbelakangan tradisi yang menghambat kemajuan sosial. Kita telah merdeka, tetapi tidak mampu mentransformasikannya ke dalam pergaulan internasional secara nyata, kita masih saja mudah kagum, tunduk dan terdikte oleh hegemoni global.

Cooperation: Kerjasama, Berlomba, Councours, Contest
Dapatkah kompetitivisme diakurkan dengan koopera¬tivisme? Sudah muncul istilah “co-opetition” yang diartikan sebagai suatu kerjasama untuk mengatur persaingan untuk mencari win-win solution. Persaingan diredam oleh kerjasama menjadi “perlombaan”, sebagai concours atau contest, di mana yang “kalah” tidak digusur, tetapi justru dimam-pukan dan tetap diberdayakan. Kita harus meningkatkan “daya-kerjasama” di dalam-negeri untuk meningkatkan “daya-saing” (baca: daya-joang) kita di tingkat global. Kita berdaulat dan proaktif ikut mendesain wujud globalisasi. Kita pun harus membangun aliansi-aliansi dan berbagai kerjasama strategis di tingkat regional dan global (bilateral atau multilateral) untuk bersama-sama saling menghindari pemborosan energi nasio¬nal kita, agar tak terkuras oleh persaingan tak seimbang yang melelahkan. Persaingan akan menjuruskan kita kepada konflik dagang bahkan perang-dagang dunia – suatu obsesi yang berbahaya (Krugman, 2001) yang hanya akan membentukkan a restless global society (Swasono, 2005, 2010). Jika the brotherhood of men menjadi the global axiom, maka extravagant corporate spending akan merupakan a waste of human and social resource dan free-fight competition akan merupakan a waste of human and social energy, banyak petarung akan berguguran, namun kaum “leviathans” menafikannya, tetap saja “the winners simply push the losers ruthlessly aside in the market” (Thurow, 2000), dan merenggut kedaulatan-kedaulatan nasional. Bukankah The League of Nations dan The United Nations adalah fora kerjasama yang diperlukan untuk menuntaskan dua Perang Dunia? Bukankah dunia saat ini diwarnai dengan kesibukan-kesibukan membentuk berbagai macam kerjasama, aliansi, traktat regional dan global? Pertanyaan praktisnya: bagaimana Asia Pacific Economic Cooperation tidak berubah menjadi Asia Pacific Economic Competition seperti sekarang ini? Bagaimana pula WTO tidak merupakan forum dominasi bagi si kuat terhadap si lemah? Dalam keberdaulatan negara memproteksi-diri adalah opsi.

Makna Baru Pembangunan Nasional
Saya ingin menegaskan di sini makna dan dimensi pembangunan nasional sebagai suatu proposisi dari Orasi ini. Penegasan ini saya telah sampaikan pula melalui Keynote Paper saya (Symposium 3 “Creativity and Economic Culture”) pada World Culture Forum 2013 di Bali tiga minggu yang lalu: bahwa pembangunan nasional bukanlah semata-mata untuk meraih “nilai-tambah ekonomi”, tetapi harus pula untuk meraih “nilai-tambah sosial-kultural”.

Pembangunan nasional tidak saja memerlukan “modal ekonomi”, tetapi juga memerlukan “modal sosial-kultural”, yang satu sama lainnya saling memperkukuh. Peningkatan mutu nilai-tambah sosial-kultural sebagai hasil pembangunan nasional akan selanjutnya meningkatkan efisiensi dan efektifitas modal ekonomi-finansial, demikian berputar seterusnya.

Banyak pemikiran ekonomi kehilangan relevansi dan validitasnya karena terdistorsi oleh pandangan miopi yang fokus orientasinya hanya melulu pada pertumbuhan nilai-tambah ekonomi atau GDP belaka.

Dengan demikian itulah maka pembangunan nasional merupakan suatu “pemberdayaan nasional” terhadap manusia Indonesia, untuk menjadikannya lebih bermakna dan produktif, tangguh dan mandraguna, selanjutnya mampu mentransformasikan seluruh anak-bangsa dari sekedar to have more menjadi to be more – artinya, dari sekedar memampukan rakyat memiliki lebih banyak kebutuhan materinya, tetapi juga sekaligus membuatnya lebih berharkat-martabat, lebih berjati-diri, memiliki integrita dan berkebahagiaan.45) Sesungguhnyalah bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, hal ini pernah kita tegaskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara pada masa pra-Reformasi yang deformatif ini.

Dari sinilah kita mengangkat konsekuensi inherennya bahwa pembangunan nasional adalah “proses humanisasi”. Pandangan humanistik ini terkait dengan pandangan tentang peningkatan modal sosial-kultural yang seiring pula dengan pandangan Amartya (1983) di atas dalam lingkup etika ekonomi yang ia selalu kemukakan, bahwa pada hakikatnya “pembangunan adalah perluasan kemampuan rakyat” – suatu expansion of people’s capa-bilities.

Mari kita kembali ke tugas intelektual kita. Kita harus mengajukan pola-pikir korektif. Untuk itu kita harus mengajukan posisi kita terhadap apa yang dimaksudkan dengan shift of paradigms.

Untuk mengakhiri Orasi ini, saya menyampaikan paradigma-paradigma baru yang terbentang di depan kita tidak saja sebagai an academic exercise, tetapi juga sebagai kekayaan batin kaum intelektual, penjaga kemuliaan kampus-kampus kita.

Bila ada paradigma baru mengenai ilmu ekonomi dan ekonomi pembangunan saat ini diperlukan, paradigma-paradigma baru itu adalah: (1) meninggalkan titik-tolak dari manusia sebagai homo-economicus, menuju (tentu mengandung tumpang-tinding arti) ke homo-humanus, homo-ethicus, homo-socious, homo-religious, homo-poeta dan homo-magnificus tentu saling mengandung (2) dalam perekonomian manusia (ummat) yang harus diperankan dalam posisi ”sentral-substansial” tidak boleh direduksi oleh modal menjadi sekedar ”marginal-residual” sebagai tuntutan penyelenggaraan demokrasi ekonomi; (3) menegaskan the end of laissez-faire, menegaskan bahwa pasarnya Adam Smith (the invisible hand) lebih banyak gagal daripada berhasil untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural yang menjadi misi kaum strukturalis; (4) menisbikan atau menafikan kompetitivisme sebagai titik-tolak dan memadukannya dengan koopera-tivisme dalam konteks ekonomi humanistik; (5) meninggalkan asas perorangan (self interest) menjadi asas bersama (mutual interest), menghidupkan kebersamaan dan asas kekeluargaan, sesuai tuntutan dunia baru yang berpaham alle Menchen werden Bruder – mengukuhkan the brotherhood of men46);  (6) mengung¬gulkan ”daulat rakyat” dan meminggirkan ”daulat pasar”, artinya dalam pembangunan yang dibangun adalah rakyat, bukan modal, pembangunan ekonomi adalah derivat dari pembangunan rakyat. Perubahan paradigma berlanjut (7) dari yang semula berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembagian yang lebih merata dari pertumbuhan ekonomi itu, menjadi berorientasi pada pembangunan untuk mening¬katkan harkat martabat manusia, artinya tidak lagi pembangunan adalah hanya untuk mencapai peningkatan ”nilai-tambah ekonomi” namun juga sekaligus meningkatkan ”nilai-tambah sosial-kultural”. (8) Modernisasi bukan westernisasi, modernisasi adalah memantapkan keindonesiaan, tidak harus kebarat-baratan. Usaha kebudayaan harus menuju kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan secara selektif tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Pembangunan mengembang konsepsi tidak saja untuk menjadi to have more, tetapi juga to be more. Demikian inilah sebabnya maka kita harus selalu mengacu Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 (yang sangat islami) bahwa ”tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. (9) Pembangunan memperoleh definisi baru pula, yaitu proses meningkatnya kemampuan rakyat, oleh karena itu strategi pembangunan tidak saja sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup massa rakyat, tetapi massa rakyat itu sendiri adalah produsen-produsennya. (10) Pembangunan dituntut mampu menghasilkan kebanggaan, kejayaan dan kemandragunaan nasional untuk memberi makna sakral pada nasionalisme. Pembangunan akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme sebagai modal dasar pembangunan itu sendiri. [***]

*) Pidato Ilmiah Prof Dr Sri Edi Swasono dalam acara Sidang Senat Terbuka Dies Nataslis ke-51 Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto pada Selasa (23/9/2014).

**) Prof.Dr.Sri-Edi Swasono – Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) dan Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa (2012 – 2017).

Related posts