Sabtu, 20 April 24

Dasa Sila Bandung 1955 Masih Relevan dan Harus Menjiwai KAA ke-60

Dasa Sila Bandung 1955  Masih Relevan dan Harus Menjiwai KAA ke-60

Jakarta, Obsessionnews – Dasa Sila Bandung masih relevan dan harus tetap dipertahankan, sehingga harus menjiwai dan menjadi sumber inspirasi negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60 yang berlangsung di Bandung tanggal 19-24 April 2015.

Demikian benang merah yang mencuat dalam seminar bertema Revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955 dalam rangka menyambut KAA ke-60 di auditorium Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (14/4/2015). Seminar ini diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI), lembaga kajian masalah internasional dan geopolitik.

Sehari sebelumnya, Senin (13/4), GFI dalam siaran persnya mensinyalir adanya beberapa indikasi yang bermaksud menggegelar KAA ke-60 namun tidak didasari oleh jiwa Dasa Sila Bandung 1955.

Narasumber dalam seminar itu adalah Andreas Sitepu, pejabat senior Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Thomas Ardian Siregar, Kepala Museum KAA Bandung dan dan Ketua Asosiasi Museum Indonesia Wilayah Jawa Barat, M Hasyim, staf senior bidang kajian Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Entjeng Shobirin Nadj,Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Andreas Sitepu mengungkapkan, Dasa Sila Bandung yang diinspirasi oleh terbentuknya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga kini masih tetap relevan, karena selama ada Piagam PBB berarti Dasa Sila Bandung masih tetap relevan.

“Dasa Sila Bandung masih relevan dalam hidup berbangsa di berbagai negara. Setelah Perang Dunia Kedua, kemudian Perang Dingin, KAA memberikan kontribusi yang luar biasa. Ada kawasan lain yang sangat membutuhkan bantuan dari spirit KAA, yaitu kawasan Pasifik Selatan. Kawasan Pasifik Selatan menjadi kawasan masa depan bagi negara-negara kuat (adidaya) dalam bidang food security dan energy security,” kata Andreas.

Menurutnya, negara-negara kuat melihat Asia secara geografis sebagai pintu masuk yang strategis. Maka dari itu, jika kawasan ini diabaikan oleh negara-negara peserta KAA ke-60, maka Pasifik Selatan akan menjadi sasaran empuk berbagai kepentingan negara-negara besar.

Terkait dengan hal itu, Andreas berjanji kepada GFI dan para peserta seminar, akan menyampaikan seruan GFI terhadap seluruh peserta KAA ke-60 maupun berkas-berkas seminar terkait lainnya, kepada para pimpinannya di Kementerian Luar Negeri.

Sementara itu M Hasyim mengatakan Dasa Sila Bandung masih tetap relevan hingga sekarang. Bahkan Hasyim mengajak seluruh peserta seminar, termasuk Kementerian Luar Negeri, agar menyikapi tema pelaksanaan KAA. Dia merasa perlu mengingatkan forum seminar bahwa Indonesia yang saat ini merupakan negara yang hidupnya berasal dari hutang luar negeri, berpotensi menjadi ‘boneka negara kuat’.

“Karena itu, negara-negara pemberi hutang kepada Indonesia, bisa kita pastikan tidak mungkin memberikan hutang dengan cuma-cuma atau tanpa pamrih. Apalagi hutang luar negeri Indonesia berasal dari negara-negara yang pernah menjajah Indonesia,” kata Hasyim.

Menurutnya, kenyataan inilah yang harus menjadi landasan pemerintah Indonesia untuk terus menggelorakan semangat anti kolonialisme dan anti imperialisme sebagaimana pernah dikumandangkan Bung Karno harus tetap dipertahankan. Apalagi di tengah-tengah gencarnya negara-negara asing melancarkan perang asimetris (perang melalui sarana-sarana non militer) terhadap Indonesia, maupun negara-negara di kawasan Asia-Afrika.

“Bayangkan, saat ini lulusan-lulusan terbaik universitas kita diberi beasiswa dan bekerja sebagai tenaga ahli di negara lain,” tandasnya.

Senada dengan Andreas Sitepu dan M Hasyim, Entjeng Shobirin mengatakan, revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955 harus dipresentasikan dan disosialisasikan secara lebih meluas kepada seluruh lapisan masyarakat. Dan harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih politis.

“Terkait dengan hal tersebut, Dasa Sila Bandung dan Spirit KAA 1955 harus tetap dipertahankan karena masih tetap relevan. Bahkan Indonesia yang merupakan sponsor utama KAA 1955, justru yang saat ini paling berkepentingan dan memandang relevan Dasa Sila Bandung 1955,” cetusnya.

Sedangkan Giat Wahyudi mengemukakan, jika pemerintah Jokowi sungguh akan melaksanakan Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya) sebagaimana digariskan Bung Karno, maka 60 tahun Dasa Sila Bandung punya nilai strategis untuk menggalang kekuatan dan kebersamaan negara-negara berkembang seantero Asia-Afrika, yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia memadai.

Hal ini penting sekali, mengingat dewasa ini di beberapa negara Asia dan Afrika tengah terjadi perubahan politik kekuasaan dengan cara kekerasan bersenjata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Bandung.

Yang patut disayangkan, kata Giat, terhadap peristiwa peringatan 60 tahun Dasa Sila Bandung publik sama sekali tidak tahu, apakah perhelatan yang tengah disiapkan pemerintah via panitia yang diketuai Kepala Kantor Staf Kepresidenan  Luhut Binsar Panjaitan sekadar peringatan saja, atau sekaligus sebagai ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara Asia-Afrika?

“Bila yang akan ditempuh adalah peringatan sekaligus konferensi, berarti kita melakukan KAA ketiga. Pernyataan ini perlu diketahui publik, sebab KTT Negara-negara Asia-Afrika yang diselenggarakan sekarang tidak boleh terputus dengan KA-A pertama di Bandung dan KA-A kedua yang akan dilaksanakan di Aljajair tahun 1965, tetapi tidak terselenggara karena terjadi kudeta di sana, kemudian dipindah ke Kairo,Mesir. Hal lain yang perlu dikritisi pada peringatan KA-A kali ini, terpampangnya poster Nelson Mandela di Sentero Bandung, padahal Nelson Mandela bukan peserta KA-A 1955,” kata Giat bernada menggugat.

Dia mengingatkan para peserta seminar, kalau KTT Negara-negara Asia-Afrika yang kini tengah disiapkan tidak dinyatakan sebagai KAA ketiga, berarti ada upaya terorganisir melalui institusi pemerintah untuk memanipulasi dan menggelapkan visi-misi dan sejarah Dasa Sila Bandung.

Menurutnya, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu membuat pernyataan resmi agar khalayak menjadi mafhum. “Di sini kita tidak boleh lengah, meski Blok Timur sudah bangkrut sejak 1989, namun neo-kolonialisme dan neo-imperialisme belum gulung tikar, sebaliknya semakin merajalela. Apalagi dengan adanya tren global ketika Amerika Serikat berusaha memaksakan terjadinya kutub tunggal (mono poliar) baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan. Sehingga pada perkembangannya bisa berdampak buruk bagi negara-negara berkembang, khususnya bagi Indonesia,” tandasnya.

Berbanding lurus dengan hal itu, lanjutnya, yakni munculnya perubahan politik kekuasaan di Irak, Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman, yang bersimbah darah sarat kekerasan bersenjata, peseteruan di Afganistan, pemberontakan Macan dan Elang Tamil yang terus menghantui Srilanka, dan ketegangan antara Filipina dan Malaysia, sudah saatnya dibahas dalam 60 tahun KA-A. Maka layak dibentuk Komisi Perdamaian, Komisi Kemanusiaan dan Komis anti Kejahatan trans-nasional.

Museum KAA Belum Banyak Dikenal oleh Masyarakat
Sementara itu Thomas Ardian Siregar mengatakan, keberadaan Museum KAA masih belum banyak dikenal oleh masyarakat bahkan oleh generasi muda. Yang menjadi catatan penting adalah bagaimana merangkul generasi muda untuk mengetahui sejarah bangsanya melalui museum. Bahkan masyarakat Bandung banyak tidak mengetahui adanya Museum KAA.

Upaya yang dilakukan Museum KAA dalam mendiseminasikan nilai-nilai Bandung Spirit dengan cara menggelar ruang publik seluas-luasnya melalui berbagai kegiatan edukatif yang melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan dan memberdayakan generasi muda yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Selain itu melakukan pengembangan program Museum KAA melalui konsep participatory public and community development. Juga menyelenggarakan pameran kolaborasi budaya Indonesia-Jepang ‘Keris-Katana’, peringatan HUT KAA, dan Pekan Literasi Asia Afrika. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.