
Jakarta – Indonesia memegang posisi penting dalam geopolitik Global. Itulah mengapa proses suksesi politik di Indonesia selalu mendapatkan interpensi pihak asing baik secara legal kepada lembaga-lembaga Negara maupun secara tertutup untuk mendukung para kandidat yang bertarung dalam pemilu.
Menurut Pengamat ekonomi global dari Asosiasi Eknomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng yang juga Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), dalam dialog yang digelar Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta (IEPSH) di Jakarta, Senin (21/7/2014), ada tiga jalur masuknya dana asing dalam Pemilu di Indonesia.
Pertama, jalur lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan lembaga lainnya yang terkait. Berbagai lembaga asing seperi USAID, AUSID, secara resmi membiayai KPU Indonesia.
Dalam sebuah laporan disebutkan “The Australia Indonesia Partnership untuk Dukungan Pemilu (‘program’) adalah program lima tahun (2011-15) hingga A $ 20m program untuk meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia. Dukungan diberikan dengan nilai A$ 15m pada tahun 1999, A$ 12m pada tahun 2004, dan A$ 6.2m pada tahun 2009.”
Selain itu dikatakan “Pendanaan AusAID dari 2011-2015 akan membuat Australia donor terbesar di sektor pemilu. Pendanaan AusAID akan menjadi katalis penting bagi reformasi pemilu Indonesia. Pada akhirnya, bagaimanapun, keberhasilan atau sebaliknya dari pemilihan di Indonesia pada tahun 2014 akan menjadi tanggung jawab masyarakat dan lembaga-lembaga Indonesia.”
Sebelumnya pada 2010, AusAID mendanai program jangka pendek A $ 5 juta dari bantuan kepada sektor pemilihan yang terdiri dari kegiatan untuk memperkuat KPU dan badan-badan manajemen pemilu.
Selain itu Pemerintah AS menyatakan dalam situs (http://www.state.gov) bahwa “Didukung, bekerja sama dengan pemilihan sesi pelatihan Komisi Pemilihan Umum dan Pengawasan Pemilu tubuh, Indonesia untuk 972 kandidat perempuan yang bertujuan untuk melengkapi mereka dengan keterampilan untuk menjadi kandidat untuk kantor elektif, dan, jika terpilih, untuk secara efektif mewakili konstituen mereka.
Kemudian dikatakan bahwa dana untuk pemilu oleh USAID bertitel ‘Program Demokrat dan Desentralisasi Tata Kelola ‘yakni “selama lima tahun terakhir telah mencapai USD 129 juta, dan telah difokuskan pada daerah-daerah seperti penguatan legislatif, pemilihan umum, reformasi sektor peradilan, mitigasi konflik, dan, terutama, desentralisasi dan dukungan pemerintahan lokal. (Laporan Proyek menilai Bantuan Demokrasi, 2010). (http://www.fride.org)
Selajutnya adalah jalur Kedua, yakni melalui lembaga survey, baik itu lembaga survey independen maupun lembaga survey yang secara terang terangan mendukung kandidat presiden. Termasuk dalam kelompok ini adalah dana yang kemungkinan mengalir kepada media massa pendung capres dan cawapres.
Dalam sebuah laporan USAID, IFES dan LSI yang dipublikasikan pada maret 2014 dikatakan, In December 2013, Lembaga Survey Indonesia (LSI), dengan dukungan dari Yayasan Internasional untuk Sistem Pemilihan (IFES), menerjunkan survei nasional yang berfokus pada isu-isu proses pemilu di Indonesia.
Selanjutnya dikatakan “IFES’ dana untuk survei pemilu nasional merupakan bagian dari program yang didanai oleh USAID pemilihan dan proses politik bantuan, dimungkinkan oleh dukungan yang murah hati dari rakyat Amerika.”
Jalur Ketiga, adalah uang dapat mengalir melalui cukong cukong yang berkaitan dengan perusahaan multinasional (multinational corporation) dalam rangka melangengkan kepentingannya di Indonesia.
Dana asing yang mengalir ke Calon Presiden (Capres) memang susah untuk dibuktikan, karena dukungan asing bisa melalui KPU, lembaga survey atau media pendukung untuk menenangkan capres terntentu.
Namun alangkah baiknya belajar dari pengalaman Bill Clinton, yang mendapatkan dukungan dana ilegal dari seorang konglomerat indonesia yang ahirnya dipindana. Atau dukungan dana ilegal Khadafi untuk Nicholas Sarkozy Presiden Perancis yang ahirnya dipidana.
Semoga tidak terjadi di Indonesia … (Ars)