
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York
Da’wah itu maknanya “mengajak, mengundang”. Tapi juga bisa berarti “tuduhan”. Sehingga pelaku da’wah bisa disebut “da’i” (pengajak atau pihak yang mengundang. Tapi juga bisa “mudda’i” atau pihak penuduh.
Ketika da’wah dimaknai “ajakan atau undangan” maka nuansa yang terbangun “pendekatan, persuasi, bujukan, meyakinkan, membangun konfidens, dan yang semakna”.
Tapi ketika da’wah dimaknai sebagai “tuduhan” (dakwaan) maka nuansa yang adalah “mencari kesalahan” bahkan membangun argumentasi sehingga objek dakwaan (mudda’a alaih) dipersalahkan.
Seterusnya ketika da’wah dimaknai sebagai “ajakan dan undangan” maka sudah pasti yang terjadi ada persuasi. Pendekatan yang diawali oleh upaya membangun relasi yang dengannya akan tumbuh rasa kedekatan dan kenyamanan.
Sementara ketika da’wah dimaknai “tuduhan” maka yang terjadi dari awal adalah kecurigaan dan dorongan untuk menjatuhkan dan menyalahkan.
Yang terpenting dari semua itu adalah jika da’wah dimaknai “ajakan dan undangan” maka pasti tujuannya adalah “menyelamatkan, menyenangkan, dan membawa kepada kebahagiaan”.
Sementara da’wah dengan makna memang bertujuan “menjerumuskan, mencelakakan, dan kepada penderitaan”.
Akhirnya pelaku da’wah dalam makna “ajakan, undangan” tidak balasan dunia. Semua li mardhotillah. Kalaupun dunia terikut, tapi itu bukan “tujuan”.
Sementara pelaku “da’wah” dengan makna “tuduhan” memang mematok gaji perjam. Tidak akan melakukan tugasnya jika balasan dunia (gaji) tidak diberikan.
Pelaku da’wah dalam arti pertama itulah yang disebut “da’i” atau “du’aat (jamak).
Pelaku da’wa (dakwaan) dalam arti kedua itu disebut “qadhi” atau “qudhaat” (jamak).
Anda ada di mana? Anda da’i atau anda seorang qadhi yang lebih menyengsarakan dan kerap menerakakan orang lain? Wallahu a’lam!