Rabu, 24 April 24

Inilah Barong Ider Bumi yang Populer di Mancanegara

Inilah Barong Ider Bumi yang Populer di Mancanegara

Banyuwangi, Obsessionnews.com – Dalam lima tahun terakhir ini Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), mengalami kemajuan pesat di sektor pariwisata. Wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara tak henti-hentinya mengunjungi daerah yang terletak di ujung paling timur Jatim ini.

Keberhasilan sektor pariwisata ini tidak terlepas dari peranan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Anas piawai menjual berbagai potensi pariwisata di daerahnya.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Salah satu daya tarik Banyuwangi adalah wisata budaya berupa Barong Ider Bumi, ritual upacara adat suku Osing yang diselenggarakan tiap tahun.  Barong Ider Bumi  populer di mancanegara.

Hari ini Kamis (7/7/2016) digelar Barong Ider Bumi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang merupakan penyelenggaraan ke-115. Upacara bersih desa ini diadakan pada hari kedua Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran pada pukul dua siang.

Bagi masyarakat suku Osing, angka dua adalah simbol ciptaan Tuhan, di mana sesuatu di dunia ini diciptakan Allah secara berpasang-pasangan seperti siang dan malam, laki-laki dan perempuan, dan seterusnya. Masyarakat Osing pantang melakukan tradisi ini di luar waktu tersebut, karena dipercaya malah mendatangkan bencana atau musibah bagi masyarakat. Waktunya digeser saja bisa mendatangkan kematian pada keluarga yang melestarikan barong. Dan itu pernah terjadi.

Barong adalah semacam kostum dengan topeng dan pernak-pernik sebagai penggambaran hewan yang menakutkan. Dalam mitologi masyarakat Osing, Barong dipercaya sebagai lambang kebaikan yang mempunyai kemampuan untuk mengusisr roh-roh jahat. Masyarakat suku Osing percaya dengan melakukan Barong Ider Bumi, kehidupan setahun mendatang akan membahagiakan. Upacara adat leluhur ini digelar sebagai bentuk syukur pada Allah atas karunia-Nya yang telah memberikan ketentraman dan kemakmuran kepada warga desa. Selain itu tradiosi ini dipercaya dapat menghilangkan bala bencana (tolak bala).  Dalam kepercayaan masyarakat Osing, Barong ini dirasuki roh leluhur.

Siraj, salah seorang sesepuh adat Osing menceritakan, latar belakang sejarah tradisi tolak bala ini bermula pada tahun 1840-an saat Banyuwangi yang waktu itu masih bernama tanah Blambangan, diserang wabah penyakit aneh yang menyebabkan kematian ratusan orang. Banyak orang yang sakit pada pagi hari, sorenya meninggal dunia. Begitu juga kalau sore sakit dan paginya meninggal, begitu seterusnya.

Selain itu, tanaman pertanian juga banyak yang terserang hama. Lalu salah seorang sesepuh adat meminta petunjuk pada nenek moyang, Mbah Buyut Cili, yang makamnya masih dirawat hingga kini. Sesepuh desa mendapat wangsit lewat mimpi. Dalam mimpi tersebut, Mbah Buyut Cili memerintahkan warga melakukan arak-arakan barong jika ingin menghapus bencana saat itu.

Perintah pun dilaksanakan. Dan setelah dilakukan arak-arakan, kondisi desa kembali membaik. Hingga kini tradisi ini dilestarikan dengan tujuan menolak bala dan menjalin kebersamaan atau silaturahmi antar masyarakat desa.

Dalam ritual Barong Ider Bumi tersebut barong wajib diarak keliling desa dengan diiringi nyanyian macapat (tembang Jawa) yang berisi doa dan pemujaan kepada nenek moyang dan Allah untuk menolak bahaya yang bisa mengancam desa atau wilayah Banyuwangi pada umumnya. Jenis macapat yang dibaca disebut macapat Yusuf yang bernafaskan Islam. Mantra lontar Yusuf ini dipercaya memiliki energi positif bagi kehidupan di desa dan masyarakat. Dan tidak sembarang oleh didaulat membaca macapat, namun hanya pewaris kitab lontar berisi macapat tersebut.

Kata ider bumi merupakan penggabungan dari dua kata yaitu ider dan bumi. Ider berarti berkeliling ke mana-mana, dan bumi artinya jagat atau tempat berpijak. Dari arti kedua kata tersebut dapat dimengerti bahwa Ider Bumi merupakan kegiatan mengeliling tempat berpijak atau bumi. Jadi, sesuai dengan namanya, inti dari ritual Barong Ider Bumi adalah mengarak barong memutari desa.

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa rombongan yang mengiringi Barong saat berkeliling desa. Di barisan depan adalah beberapa tokoh adat yang membawa bokor – warga Kemiren menyebutnya Lukiran – yang berisi uang logam pecahan Rp 100 bercampur beras kuning serta bunga sembilan warna. Jumlah uang logam tersebut tepat Rp 99.900, dan hal ini berhubungan dengan  hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi,”Allah menyukai jumlah-jumlah yang ganjil.” Serta merujuk pada sebutan nama baik Allh (Asmaul Husna) yang berjumlah 99.

Lalu ada barisan tujuh orang nenek-nenek yang mengenakan selendang berwarna putih dengan corak garis hitam yang disebut Selendang Solok. Saat mengikuti iring-iringan barong, nenek-nenek tersebut sambil nginang atau nyusur dengan mengunyah daun sirih bercampur kapur gamping yang biasa dilakukan dalam masyarakat sejak dulu untuk menjaga keawetan gigi.

Sebelum Barong diarak keliling desa, para sesepuh memainkan angklung di balai desa untuk memulai ritual. Setelah itu, seluruh warga Desa Kemiren keluar rumah lalu mulai berbaris mengarak barong Osing yang diawali dari pusaran (gerbang masuk) desa kearah barat menuju tempat mangku barong (pintu keluar desa) sejauh dua kilometer. Di sepanjang arak-arakan ini, tokoh adat menebarkan koin, beras kuning dan bunga ke jalan dan diperebutkan anak-anak. Ini merupakan bagian dari ritual adat yang dinamakan “sembur utik-utik”.

Selama diarak warga, barong-barong tersebut juga diikuti para sesepuh desa yang berjalan beriringan sambil membawa dupa dan melafalkan doa-doa untuk keselamatan seluruh warga. Tidak lupa, tabuhan musik khas Osing juga mengiringi, sangat meriah namun tetap sakral.

Di ujung desa, masyarakat dan pemain kesenian barong berebut pisang yang dipajang. Mereka percaya saat memakan pisang tersebut, orang akan selamat dan diberi kemudahan dalam kehidupan.

Usai dilakukanritual Barong Ider Bumi masyarakat menggelar selamatan bersama sebagai penutup upacara. Di sinilah puncak acaranya, yakni selamatan dengan menggunakan tumpeng pecel pitik (ayam kampung yang dibakar dengan ditaburi parutan kelapa muda dengan bumbu) sebagai wujud rasa bersyukur kepada Allah yang telah memberikan keberkahan. Tumpeng dan pecel pitik untuk selamatan ini digelar di sepanjang jalan desa.

Tumpeng pecel pitik ini jumlahnya banyak sekali karena setiap keluarga menyuguhkan pecel pitik untuk makan bersama-sama. Hal ini dianggap sebagai sedekah Syawal. Sehari sebelumnya, masyarakat telah membuat kupat lepet dan kue-kue tradisional khas Banyuwangi untuk dibagikan kepada penonton. (arh, @arif_rhakim)

Baca Juga:

Bupati Banyuwangi Azwar Anas Sabet Penghargaan ‘Best Marketer Regent’

Anas Sukses Bawa Banyuwangi ke Tingkat Nasional

Pemkab Banyuwangi Dorong Anak Muda Manfaatkan Teknologi Internet

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.