Kamis, 25 April 24

Cukup Besar, Peluang Golkar Tinggalkan Koalisi KMP

Cukup Besar, Peluang Golkar Tinggalkan Koalisi KMP

Cukup Besar, Peluang Golkar Tinggalkan Koalisi KMP

Dengan digelarnya Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Sabtu (6/12), kemungkinan peluang partai beringin meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP) cukup besar. Mengapa? Jangan lupa sebagian besar penggagas Munas di Jakarta ini adalah orang-orang yang selama Pemilihan Presiden (Pilpres) lebih condong ke Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa JK adalah mantan Ketua Umum (Ketum) Golkar, yang sampai saat ini masih menjadi kader partai.

Berbeda dengan Aburizal Bakrie (ARB), meskipun dia Ketum Golkar tetapi dalam pencapresan malah mendukung calon lain. Dan sejak ARB mendukung Prabowo Subianto, dia lantas ditunjuk sebagai coordinator KMP dan itu berlanjut sampai dengan digelarnya Munas Golkar di Bali 30 Nopember-4 Desember 2014. Hasil Munas di Bali antara lain kabarnya, mengingkari kesepakatan yang pernah dibuat dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendukung Perppu Pilkada. Benarkah?

Mengingkari kesepakatan dengan SBY diduga sebagai modal ARB meyakinkan peserta Munas Bali. Mengapa? Karena jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, sepertinya sangat sulit bagi kader Golkar di daerah  untuk menjadi kepala daerah. Sebaliknya, jika Pilkada dipilih oleh dewan, maka peluang kader Golkar di daerah sangat terbuka. Iming-iming semacam inilah yang diduga menjadi penyemangat para pendukung ARB sehingga mendukungnya secara aklamasi. Itulah Munas Bali.

Sekarang Munas Golkar digelar di Jakarta, tentu hasil dan arahnya diyakini sangat berbeda dengan Munas sebelumnya. Munas yang digagas Agung Laksono dan kawan-kawan, yang mengatasnamakan tim penyelamat partai, dipastikan oromanya berlainan. Karena itu, hasilnya kemungkinan besar mendukung pemerintah, dan tetap menyepakati Perppu Pilkada. Dan jika itu terjadi, maka dapat ditafsirkan bahwa Golkar menyatakan goobye kepada KMP.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Golkar versi Agung ini lebih legetimit dibanding kubu ARB? Sehebat apa pun partai, tanpa dukungan pemerintah, tanpa pengakuan pemerintah, pastilah akan terseok-seok. Ini pernah dialami PDI ataupun PDIP. Juga PPP, ketika sejumlah partai Islam diharuskan berfusi jadi satu partai. Dilihat dari jumlah partai yang berfusi seharusnya baik PDI atau pun PPP mampu menyaingi Golkar. Nyatanya?

Jangankan bersaing, untuk mendekati jumlah perolehan suara Golkar saja sulitnya setengah mati. Dan Golkar pastinya paham dan memahami kondisi-kondisi semacam itu. Karenanya, sehebat apa pun ARB menggalang dukungan, tetapi tanpa restu pemerintah sulit Golkar dapat berkembang di tangannya. Ini berbeda dengan Agung, dia lebih dapat beradaptasi, lebih mau kompromi dengan pemerintah. Sehingga kemungkinan Golkar dibawah kepemimpinan Agung lebih bisa diterima dan lebih legitimit. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Golkar akan bisa mendulang suara di Pemilu mendatang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kembali kepada siapa yang menjadi figure pimpinan dan syarat-syarat lain. Soalnya untuk bicara mendulang suara ini menyangkut banyak aspek dan yang utama adalah pimpinan. Jika partai dipimpin orang kuat, ada kemungkinan dia akan menjadi tangguh. Kalau tidak punya calon semacam itu, bisa digantikan orang yang mampu mendekati kekuasaan.

Saat ini, diakui atau tidak, Agung cs lebih bisa melakukannya dibanding ARB. Selain itu Golkar harus mampu menjadi partai yang bersih, meskipun tidak harus bersih sekali. Caranya, jangan memberi kesempatan kader bermasalah menduduki jabatan pengurus, baik di DPP mau pun dibawahnya. Karena public sekarang lebih kritis. Jika Golkar mampu berbenah semacam itu, niscaya suara Golkar tidak akan jeblok di Pemilu mendatang, meskipun sekarang tengah dilanda huru-hara. (Arief Turatno, wartawan senior)

 

Related posts