Jumat, 19 April 24

China, Pemberi Pinjaman yang Baik atau Lintah Darat?

China, Pemberi Pinjaman yang Baik atau Lintah Darat?
* Jalur KA Yumo yang akan hubungkan China - Laos. (TPG/Getty/BBC)

China bisa memberi utang untuk pembangunan dua kali lebih banyak dibandingkan AS dan negara-negara besar lainnya, menurut sebuah penelitian. Pinjaman ini sebagian besar berasal dalam bentuk bunga tinggi yang berisiko dari bank-bank milik pemerintah China.

Jumlah pinjaman itu mengejutkan karena sebelumnya China menerima bantuan dari negara lain, tapi sekarang situasinya berbalik.

Dalam jangka waktu 18 tahun, China memberikan hibah maupun pinjaman uang kepada 13.427 proyek infrastruktur senilai $843 miliar (Rp12 kuadriliun-dikonversi dengan nilai dolar hari ini) di 165 negara, menurut penelitian AidData di William & Mary, sebuah universitas di negara bagian Virginia, Amerika Serikat.

Kebanyakan pinjaman ini berkaitan dengan Belt and Road Initiative (BRI), program ambisius Presiden Xi Jinping. Dimulai pada 2013, hal ini telah mendongkrak keahlian China dalam proyek infrastruktur, dan mata uang asing yang cukup untuk membangun jalur perdagangan global yang baru.

Namun, para kritikus khawatir bahwa pinjaman dengan bunga tinggi untuk mendanai banyak proyek investasi China akan membebani warga dari negara yang menjadi peminjam. Dan kabar itu bahkan ditujukan untuk pemerintah China sendiri.

Para peneliti dari AidData – yang menghabiskan waktu empat tahun untuk melacak semua pinjaman dan belanja China secara global – menuturkan bahwa pemerintah China secara rutin menemui mereka untuk mendapatkan informasi bagaimana pinjaman dari mereka digunakan di luar negeri.

“Kami dengar pernyataan yang selalu dilontarkan dari pejabat publik di China, ‘Lihat, kalian adalah yang terbaik’,” jelas Direktur AidData, Brad Parks. “Mereka mengatakan: ‘Kami tak bisa mendapatkan data ini secara internal.'”

Jalur kereta api yang berkelok-kelok antara China dengan tetangganya, Laos kerap disebut-sebut sebagai contoh terpenting pinjaman China yang tidak tercatat di dalam pembukuan transaksi.

Selama beberapa dekade, kalangan politisi mempertanyakan pembangunan jalur koneksi, seperti bagaimana menghubungkan wilayah China bagian barat daya yang terpencil langsung ke Asia Tenggara.

Namun, para insinyur memperingatkan bahwa biaya yang dikeluarkan akan mahal: jalurnya harus melewati pegunungan, membutuhkan puluhan jembatan dan terowongan. Laos adalah salah satu negara miskin di kawasan Asia Tenggara, dan bahkan tak mampu untuk membiayai proyek ini.

Dari sisi bankir ambisius China: dengan dukungan dari kelompok perusahaan pemerintah China dan sebuah konsorsium investor, jalur kereta api senilai $5.9 miliar (Rp84 triliun) akan mulai beroperasi pada Desember ini.

Namun, Laos harus mengambil utang sebesar $480 (Rp6,8 triliun) juta dari bank China untuk membiayai bagian kecil dari modalnya [ekuitas]. Salah satu sumber pendapatan Laos berasal dari hasil tambang Kaliumnya, yang digunakan untuk membayar utang tersebut.

“Pinjaman dari Eximbank China untuk mentutupi sebagian modalnya, benar-benar menunjukkan urgensi negara China untuk mendorong proyek tersebut,” jelas Wanjing Kelly Chen, asisten profesor peneliti di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong.

Sebagian besar dari jalur rel tersebut dimiliki oleh grup perkeretaapian China, tapi di bawah ketentuan dan kesepakatan yang tidak jelas, pemerintah Laos akhirnya harus bertanggung jawab atas utang proyek rel tersebut.

Kesepakatan yang tidak seimbang ini membuat kreditur internasional menurunkan peringkat kredit Laos dengan status “sampah”. Status ini menunjukkan pemerintah mungkin tak punya cukup uang untuk membayar utangnya.

Pada September 2020, dalam kondisi di ambang kebangkrutan, Laos menjual sebagian besar aset utamanya kepada China. Laos menyerahkan sebagian jaringan energinya senilai $600 juta (Rp8,54 triliun) untuk mendapatkan keringanan utang dari kreditur China. Ini terjadi bahkan sebelum pembangunan rel kereta dimulai.

Jalur kereta api Laos bukan hanya satu-satunya proyek berisiko yang didanai oleh bank-bank pemerintah China, namun, AidData mengatakan China tetaplah penyandang dana bagi banyak negara-negara berpendapatan menengah dan ke bawah.

“Dalam setahun, rata-rata lembaga keuangan pembangunan internasional China berkomitmen untuk mengeluarkan pinjaman sebesar $85 miliar (Rp1,21 kuadriliun). Jika dibandingkan, AS hanya menyediakan $37 miliar (Rp527,1 triliun) pada tahun tertentu untuk mendukung aktivitas pembangunan global,” kata Brad Parks.

China telah jauh melampaui negara-negara lain dalam pendanaan pembangunan, tapi cara Beijing untuk mencapai angka tersebut “luar biasa”, kata AidData.

Di masa lalu, negara-negara Barat bersalah karena menjerumuskan negara-negara Afrika ke lubang utang.

China meminjamkan dengan cara berbeda: alih-alih mendanai proyek dengan cara memberikan hibah atau meminjamkan uang dari satu negara ke negara lainnya, hampir semua uang itu didapatkan dalam bentuk pinjaman bank milik pemerintah China.

Pinjaman tersebut tak muncul dalam pembukuan resmi pemerintah. Karena itulah nama lembaga pemerintah pusat tidak muncul dalam banyak kesepakatan antara bank dengan negara peminjam. Hal semacam ini agar neraca perekonomian China tetap terjaga, serta menyembunyikan klausul-klausul kerahasiaan yang bisa mencegah pemerintah mengetahui secara pasti apa yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi.

AidData menghitung utang yang tak dicatat dalam pembukuan resmi pemerintah China mencapai $385 miliar.

Banyak kesepakatan dalam pinjaman jangka pendek China juga menuntut agunan yang tak biasa. Semakin meningkat, utang China tampaknya menuntut peminjam untuk menjanjikan uang tunai yang berasal dari penjualan sumber daya alam.

Kesepakatan dengan Venezuela misalnya, menuntut mereka menyetor mata uang asing [sebagai deposito] yang diperoleh dari penjualan minyak secara langsung ke rekening bank yang dikendalikan pemerintah China. Jika pembayaran utang lewat tenggat waktu, pemberi pinjaman dari China dapat segera menarik uang tunai dari rekening tersebut.

“Ini benar-benar nampak seperti strategi roti dan mentega, yang mereka gunakan untuk memberikan sinyal kepada para peminjam bahwa ‘Kamilah bosnya’,” jelas Brad Parks. Pesan mereka adalah: ‘Kalian akan kembali bayar utang pada kami sebelum yang lain, karena kamilah satu-satunya sangat penting untuk kalian.’

“Ini pendapatan bagi negara-negara miskin, dolar dan euro, untuk mengunci mereka dalam di rekening luar negeri yang dikontrol oleh kekuatan asing.”

“Apakah China pintar?” tanya Anna Gelpern, seorang professor hukum Georgetown yang terlibat dalam penelitian AidData awal tahun ini. Ia terlibat dalam pemeriksaan kontrak utang dari China.

“Menurut saya, kesimpulan kami adalah mereka kuat dan licin dalam kontrak ini. Mereka sangat melindungi kepentingan mereka sendiri.”

Negara-negara bisa menjadi peminjam yang sulit [untuk ditagih], jelas Gelpern, dan tidak praktis mengharapkan mereka menyerahkan aset secara fisik seperti pelabuhan, jika mereka tak mampu membayar utang.

China mungkin akan segera menghadapi kompetisi dari dunia internasional. Pada pertemuan negara-negara maju, G7, Juni lalu, AS dan sekutunya mengumumkan inisiatif “Build Back Better World” initiative, dengan janji untuk mendanai proyek infrastruktur global yang berkelanjutan secara finansial dan lingkungan.

Namun, rencana itu mungkin datang terlambat.

“Saya ragu kalau inisiatif negara-negara Barat akan membuat banyak tekanan pada program China,” kata David Dollar, peneliti di Brookings Institution sekaligus mantan perwakilan Departemen Keuangan AS di China.

“[Inisiatif-inisiatif baru itu] tidak akan cukup uang riil untuk mengatasi skala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di negara berkembang. Juga, bekerja sama dengan otoritas keuangan Barat itu birokratis dan dapat tertunda dalam jangka waktu lama.”

Para peneliti AidData menemukan bahwa proyek Belt and Road (BRI) sedang menghadapi persoalannya sendiri. Proyek BRI lebih cenderung dikaitkan dengan korupsi, persoalan perburuhan, atau isu lingkungan dari pada kesepakatan pembangunan China yang lainnya.

Untuk menjaga agar BRI tetap pada jalurnya, para peneliti mengatakan, Beijing tak akan punya pilihan selain mengatasi kekhawatiran peminjam.

Proyek China di Indonesia
Sejak Presiden Xi Jinping mempromosikan program ambisiusnya 2013, saat itu ia sempat berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam pertemuan itu, Indonesia meneken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait dengan pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen. Total nilai komitmen kerja sama mencapai $28,2 miliar (Rp401 triliun).

“Kita sekali lagi membuat sejarah dengan menyepakati untuk menjalin kerja sama strategis yang komprehensif. Saya yakin di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping kita akan dapat meningkatkan kerja sama bilateral kita di masa depan,” kata Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Antara.

Pada 2017, kerja sama terkait dengan program BRI berlanjut. Presiden Joko Widodo berada di antara 29 kepala negara dan perwakilan yang ikut serta dalam “Belt and Road Forum for International Cooperation”. Dalam kesempatan itu, Presiden Xi mengumumkan telah menyiapkan anggaran $55,09 miliar untuk mendukung proyek BRI untuk perluasan jaringan antara Asia, Afrika dan Eropa.

Satu bulan pasca dilantik menjadi presiden periode 2014-2019, Joko Widodo juga melakukan kunjungan kehormatan ke Presiden Xi Jinping. Antara melaporkan kedua kepala negara melakukan pembicaraan bilateral membahas perkembangan hubungan dan kerja sama kedua negara.

Pada 2019, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, juga menghadiri Forum BRI di China. Hasil dari pertemuan itu di kemudian hari menghasilan 23 proyek kerjasama Indonesia-China yang akan dibangun di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali.

Proyek-proyek tersebut meliputi, pembangunan kawasan industri dan infrastruktur penunjang Taman Kuning, Kaltara, proyek pembangkit listrik hasil olahan sampah di Sulawesi Utara dan Taman Teknologi di Pulau Kura-kura di Bali.

Dalam satu kesempatan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meyakini Indonesia bisa menghindari jebakan utang dalam kerja sama pembangunan dengan China ini.

Dalam kerjasamanya, kata dia, Indonesia menggunakan perjanjian B to B (antar badanusaha), bukan G to G (antar pemerintah). Sehingga tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek itu.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, posisi utang Indonesia per Juli 2021 mencapai $451,6 miliar (Rp5.912 triliun) yang meliputi utang pemerintah, lembaga keuangan, BUMN dan sektor swasta. Jumlahnya dua kali lipat dari APBN tahun-tahun terakhir.

Sementara utang Indonesia pada China per Juli 2021 mencapai $21,12 miliar (Rp300,9 triliun). Jumlah ini meningkat hampir enam kali lipat dalam 10 tahun terakhir, yaitu $3,7 miliar pada 2011. China merupakan pemberi pinjaman nomor empat terbesar di Indonesia setelah Singapura, Amerika Serikat dan Jepang.

Dalam perkembangan terakhir, Presiden Xi Jinping menghentikan dukungan pendanaan proyek batu bara. Hal ini juga menandai pergeseran kebijakan dalam BRI. (Red)

Sumber: BBC News

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.