
Jakarta – Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) bertema “Pembangunan SDM dan Iptek” yang digelar KPU di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu (29/6/2014) malam, antara Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla (JK) yang dimoderatori Wakil Rektor UGM Prof Wikorita Karnawati, terlihat menarik karena saling mencecar dan menyerang melalui pertanyaan masing-masing Cawapres.
Cawapres Hatta mempertanyakan JK soal visi misi Jokowi-JK yang ingin meningkatkan sertifikasi dan tunjangan guru. Padahal, Jokowi justru pernah mengatakan akan menghapus sertifikasi bagi guru. “Barusan saya tadi dengar pak JK katakan soal sertifikasi guru, tapi seingat saya justru itu yang tidak disetujui sistem seritifkasi tersebut, apa betul itu pak JK?” tanya Hatta membidik rivalnya.
Sadar dipojokkan dengan pertanyaan yang menjebak, JK berupaya untuk berkilah atau ngeles. JK mengaku, baik dirinya maupun Jokowi tidak pernah menyatakan hal itu. Ia pun mempersilakan Hatta untuk mengecek langsung dalam visi misi yang disusunnya bersama Jokowi. “Apakah ada itu, jelas tidak ada. yang ada ialah peningkatan kesejahteraan guru, tentu termasuk sertifikasi. Sertifikasi sendiri ada dalam UU,” kilah JK mengelak.
“Tak mungkin seorang presiden bisa seenaknya membatalkan UU. Karena itu adalah tidak mungkin Jokowi-JK ingin mengatakan sertifikasi ditiadakan,” tambah Cawapres pendamping Jokowi.
Menurut JK, sejak awal tujuannya bersama Jokowi sudah jelas, yakni meningkatkan tunjangan guru dan kesejahteraan guru. “Kedua ini UU tak mungkin tanpa persetujuan partai jadi tak mungkin dirubah. Jokowi JK tetap ingin ada serifiaksi guru dan dilaksanakan sebaik-baiknya,” kilahnya pula.
Hatta menyodorkan pertanyaan ‘pukulan’ kepada JK. “Saya bertanya yang ringan saja Pak, kita banyak mengenal revolusi, dan kita tahu revolusi adalah suatu proses yang memang sulit dikendalikan dibandingkan reformasi. Bagaimana dengan revolusi mental, apa sebenarnya yang tidak relevan lagi values kita contoh Pancasila?” tanya Hatta.
JK menjawab, revolusi jangan disalah artikan sebagai sebuah pemberontakan. Revolusi adalah bekerja cepat. “Contoh pak Capres (Prabowo- red) selalu berkata bocor. Bagaimana kita bisa melakukan ini? Harus cepat yang revolusi,” ujar JK.
“Pendidikan harus cepat dimeratakan, kita tidak menunggu berpuluh tahun, sudah habis periode. Kita harus kerjasama. Kita harus perhatikan bahwa tidak semua diubah, namun bagaimana kita bisa bekerja dengan cepat. Proses cepat kan namanya revolusi,” tambahnya.
Hatta balik bertanya kepada JK. “Barusan saya tadi mendengar, Pak JK mengatakan soal sertifikasi guru, tetapi seingat saya justru itu yang ditolak?” tanya JK.
JK pun giliran menjawab. “Berbicara visi, pak hatta bisa membaca semua visi misi kami. Kami tidak menolak itu, bahkan itu diatur dalam undang-undang. Tujuan kita meningkatkan kesejahteraan guru, bahkan presiden pun tidak bisa membatalkan UU sesukanya. Kita berkomitmen untuk meningkatkan itu semua,” jawab JK.
Gantian JK bertanya lagi kepada Hatta. “Kita masih mengirim TKI ke luar dalam jumlah yang banyak, pertanyaannya apakah sudah bebas dari masalah?, kita perhatikan sangat banyak masalah para pekerja kita di luar negeri. Bagaimana pendapat Bapak terkait hal ini?” tanya JK.
Hatta menjawab, yang pertama kita harus mendorong pertumbuhan ekonomi kita, mengembangkan usaha kewirausahaan. Ini akan meningkatkan employment di dalam negeri kita. “Kita menjadi bangsa yang terhormat, dimana kita tidak hanya mengirim tenaga pekerja namun tidak pembantu saja, jadi yang ke luar negeri harus yang berskill bukan pekerja kasar,” terangnya.
“Sedangkan untuk pekerja wanita, kita harus moratorium, karena terlalu banyak masalah yang mengganggu masalah harkat martabat bangsa kita dengan adanya banyak tindak kekerasan terhadap wanita,” ujar Hatta.
Hatta giliran bertanya lagi. “Pak JK, pertanyaan saya ringan. Orang sering bertanya tentang daya saing kita. Ada tiga indicator utama yang mempengaruhi daya saing kita. Menurut pak JK apa indikator?” tanyanya.
JK menjawab bahwa indeks yang paling mudah adalah kemudahan berusaha. “Apabila kita ingin perbaikan di indeks itu maka harus meningkatkan kemudahan di birokrasi perizinan. Karena itulah yang paling berat. Yang kedua adalah masalah perburuhan, yang harus kita perhatikan,” jelas JK.
Hatta langsung menukas: “Saya kira apa yang disampaikan tidak sepenuhnya benar. Menurut saya yang paling penting adalah inovasi. Kesiapan kita mengenai teknologi sangat penting, yang sangat besar kita perlu perhatikan adalah infrastruktur.”
JK pun balik menangkis. “Tadi memang karena meminta pendapat saya. Dalam pembahasan-pembahasan, infrastruktur penting, bapak sendiri tidak melakukan itu. Kita mudah bicara akan tetapi bapak sendiri tidak melakukan. Lampu kita mati terus itu karena tidak ada pelaksanaan. Di mimbar ini kita mudah bicara akan, akan dan akan, namun yang penting adalah pelaksanaan,” tampik JK.
Ujian Nasional
Pertanyaan Hatta kali ini menyerang JK soal Ujian Nasional. “Saya membaca visi misi bapak. Itu memang tidak lagi memperhitungkan atau menolak Ujian Nasional, bapak adalah promotor utama ujian nasional saat menjabat. Apa perubahan di diri pak JK, apa yang salah?” cecar Hatta
JK menjawab: “Pak Hatta, Kalau and abaca betul visi misi kami bunyinya adalah akan dievaluasi kurikulum, dan ujian nasional. Evaluasi adalah memperhatikan bobot dan sistem, bukan menghilangkan jangan disalahartikan.”
Menurut JK, kesenjangan pendidikan di daerah-daerah tidak mungkin diperbaiki kalau tidak ada pemetaan. Pemetaan hanya bisa dilakukan kalau ada Ujian nasional. Ini dilakukan di semua negara. “Ini diperlukan untuk pemetaan dan mengetahui seberapa besar kesenjangan itu, walaupun tentu perlu ada evaluasi dalam pelaksanaannya,” kilah JK.
Hatta pun terus mencecar JK, dengan melontarkan pertanyaan: “Apa yang dievaluasi? jika dibaca runtun terkait pemerataan. Ujian Nasional terkait dengan tolok ukur standarisasi. Tentu para pakar pendidikan kita sudah memperhatikan standar nasional dan standar daerah, Kalau bapak ingin evaluasi di bagian mana lagi? Ada tiga kompetisi knowledge, attitude, dan skill. Jangan jadi kita tidak punya attitude itu. Bagaimana yang dievaluasi di sisi apanya?”
JK menjawab: “Saya ingin memberikan pengalaman dulu, bagaimana mutu pendidikan waktu itu, nilai kelulusan kita hanya 3.5. Itu sangat rendah, kemudian kita naikkan lagi 5.5 dan yang tidak lulus hanya satu persen. Itu sangat tinggi. Itu juga bisa kita masukkan sebagai evaluasi, karena kita menjadi tahu bagaimana kondisi pendidikan kita.”
Hatta bertanya lagi: “Pertanyaan saya sederhana, apa pandangan Pak JK terkait sistem pendidikan kita saat ini dan dikaitkan dengan pandangan pak JK dulu yang kurang setuju dengan pendidikan gratis. Kami menggratiskan biaya pendidikan dari mulai usia dini. Apakah bapak menilai adanya pendidikan inklusif di situ?”
Terkait hal itu, JK menjawabnya bahwa pendidikan gratis, sudah terjadi sesuai konstituen. “Mengenai berbeda pendapat itu menjadi hal lain. Harus adanya cross subsidi mengenai kemampuan dan ketidakmampuan. Hal ini untuk menghindari yang mampu membayar secara inklusif. Ada hal yang perlu kita perhatikan dalam pendidikan kita,” tangkis JK.
Tidak puas dengan jawaban JK, Hatta mengatakan, “Saya masih belum mendapatkan jawaban yang pas, pendidikan berkeadilan dan inklusif adalah hak mendasar dari warga negara sebagaiamana dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Masalah yang kaya dan miskin itu tidak menjadi masalah, karena orang kaya sudah membayar pajak lebih tinggi. Kalau perlu kita harus menggratiskan sampai perguruan tinggi.”
JK lantas menimpali dengan berucap: “Saya ingin tegaskan kita mendorong adanya pendidikan gratis, tapi tentu perlu adanya kerjasama antar institusi. Contohnya sekolah berfasilitas sangat baik bisa berkontribusi ke sekolah dengan fasilitas kurang ini akan mengurangi gap.”
Cerita Kancil Menipu
Sebelumnya menjawab pertanyaan moderator, JK memaparkan, pengembangan budi pekerti bisa dilakukan di semua mata pelajaran. Kita bisa melakukan di mata pelajaran sejarah, mata pelajaran matematika seperti kedisiplinan. Contohnya di pendidikan mata pelajaran bahasa Indonesia, kita bisa membuat cerita heroik di dalamnya.
JK memberi contoh, kejujuran harus dimasukkan dalam materi pendidikan matematika. Dengan begitu perhitungan angka-angka yang dipelajari tidak membuat peserta didik menipu. Materi pendidikan budi pekerti dimasukkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia dengan menampilkan cerita-cerita heroik tentang bangsa.
“Seperti cerita kancil yang cenderung menipu bisa kita hilangkan dan hal-hal lain. Hilangkan cerita kancil yang cenderung menipu. Semua pelajaran isinya harus menyangkut bagaimana bangsa Indonesia pintar, berani, dan dinamis. Belajar Indonesia yang benar bukan berarti harus belajar komunis,” kata JK.
“Kita mengenal revolusi mental membutuhkan proses. Ini menjadi penting karena kita harus mengevaluasi mengenai kualitas guru juga, terkait sertifikasi guru. Sehingga guru bisa menguasai mata pelajaran dan mampu menyampaikan kepada siswanya. Hal ini tentu sejalan dan didukung kesejahteraan guru yang diperhatikan secara lebih lagi,” tambahnya.
Anggaran Riset Rp10 Triliun
Moderator bertanya kepada Hatta mengenai pendapatnya tentang adanya kesenjangan dalam kualitas SDM dan penyebarannya di berbagai daerah Indonesia, dan daya saing SDM kita yang rendah di pasar global. “Bagaimana bapak mengatasi hal tersebut. Justru SDM berkualitas malah memilih berkarya di luar. Bagaimana Bapak menanggapi ini?” tanyanya.
Hatta menjawab: “Dari 150 juta angkatan kerja kita memang 45 persen masih tamatan SD. Hanya 8 persen yang tamatan Perguruan tinggi. Jadi, sebenarnya ini yang harus kita perhatikan. Kita harus meningkatkan tamatan Perguruan tinggi minimal 40 persen. Bagaimana dengan tamatan SD yang sudah di lapangan. Maka kita harus meningkatkan training di lapangan.”
Menurut Hatta, kita harus meningkatkan dan menumbuhkan pusat-pusat pengembangan Sumber-sumber pertumbuhan baru berbasis produk lokal. “Terhadap adanya tenaga kerja yang di luar, ada dua pendekatan. Kita harus melihat dari satu sisi mengenai strategi pembangunan kita, contoh jika kita menjual bahan mentah kita tentu para engineer kita akan bekerja di luar, yang kedua kita memperhatikan contoh di India mereka bekerja di luar tetapi tujuannya untuk membuka lapangan pekerjaan domestik. Seperti itu yang kita lakukan,” tandasnya.
Moderator pun melanjutkan pertanyaan, kita sadari bahwa Indonesia menjadi pasar produk teknologi bangsa lain. “Padahal kita memiliki ratusan perguruan tinggi, banyak institusi berbasis riset teknologi dan industry terkait tetapi tidak bersinergi, bagaimana bapak memperhatikan masalah itu?” tanya Prof Karnawati.
Hatta menjawab, kita harus memperhatikan bahwa regulasi untuk mempermudah para pelaku inovasi, yang kedua perusahaan harus ditekan untuk memperhatikan riset. “Khusus masalah banjirnya import, bahwa pemerintah Prabowo-Hatta, mengedepankan seluruh sumber daya alam kita dikelola berdasarkan added value (nilai tambah),” paparnya.
“Pendekatan Industri untuk mengurangi import dengan triple helix, yakni dunia usaha, dunia riset, dan dunia pelaku. Kita harus fokus. Mau tidak mau anggaran yang hanya 0.1 dari GDP kita harus kita tingkatkan untuk riset yakni minimal 10 trilliun. Dalam konteks-konteks tersebut, kita harus memasukkan berbasiskan pada pengembangan pada IPTEK yang semakin dikembangkan lebih lagi,” tambahnya.
Pemihakan pada Pengusaha
Moderator bertanya kepada JK soal Indonesia yang menjadi pasar produk teknologi bangsa lain. Padahal kita memiliki ratusan perguruan tinggi, banyak institusi berbasis riset teknologi dan industry terkait tetapi tidak bersinergi. JK menjawab, perkembangan teknologi memang sangat cepat. Contoh IT berkembang seratus persen setiap 18 bulan. “Jika kita tidak memperhatikan ini dengan baik kita akan ketinggalan,” tandas Cawapres pendamping Jokowi.
Apabila bangsa lain dalam industri ingin masuk ke Indonesia, lanjut JK, harus ada aturan bahwa bangsa itu harus berkontribusi kepada pelaku industri dalam negeri. Yang kedua, kata dia, harus ada barrier tariff untuk meningkatkan pemberdayaan pelaku inovasi dalam negeri.
“Terkait sinergi atas lembaga-lembaga perguruan tinggi dan institusi riset, kita harus mengembangkan pemofukasan berbagai Universitas dalam negeri contoh ITB mau kemana, UGM kemana? Iini harus difokuskan sehingga berkontribusi jelas ke dalam negeri,” tegas JK.
Menurut JK, koordinasi sangat penting, dengan catatan, dimana setiap ada paten ketika adanya inovasi, Universitas harus mendapatkan share. Ini akan meningkatkan proses pengembangan inovasi yang sangat tinggi ke depannya. “Kebijakan pemerintah harus mengutamakan pemihakan ke dalam pengusaha dan pelaku dalam negeri. Hanya dengan cara itu kita bisa maju,” tutur JK yang juga pengusaha kaya. (Ars)