
Jakarta – Dua calon presiden (capres) yang maju di Pilpres 2014, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (Jokowi) dinilai belum siap untuk menghadapi keindonesiaan dan tantangannya serta masing-masing masih memiliki banyak kelemahan.
“Baik Prabowo dan Jokowi, masih kurang pembekalan. Para Capres itu merasa hebat, tapi penuh kelemahan. Capres-capres tidak paham dengan ucapannya, keduanya hanya diberi mauskan dari tim penasihatnya,” ungkap pengamat politik dari The President Center, Didied Mahaswara, dalam diskusi “Etika Pemimpin dalam Kompetisi Politik”yang digelar di kawasan Jalan Saharjo, Jakarta, Kamis (26/6/2014). Pembicara lainnya adalah pengamat politik LIPI Prof R Siti Zuhro dan Pakar hukum tata negara UI Dr Margarito Kamis.
Didied Mahaswara mengungkapkan kelemahan dua capres yang maju saat ini. Misalnya, Prabowo sering mengatakan keuangan negara bocor Rp1000 triliun, tetapi tidak pernah menjelaskan apa saja kebocoran tersebut. “Prabowo sering bilang bocor, bonor … tapi tak pernah jelaskan apa saja itu, apakah APBN atau juga di luar APBN,” kritiknya.
Demikian juga Jokowi dalam debat capres, mengatakan telah dan akan membangun sistem anggaan seperti e-budgeting, e-procurement, e-purchasing, e-catalog, e-audit, pajak online, IMB online. “Jokowi sering bilang penerapan sistem elektronik untuk anggaran, e-budgeting dan lainnya. Lha masalah untuk parkir di Jakarta saja belum beres,” kritik Didied.
Ia menegaskan, kedua capres masih lemah dalam hal kenegarawanan. Semangat keindonesiaan dan segala permasalahannya, kedua capres masih menunjukkan kelemahannya. “Capres dan cawapres kita, masih kurang pemahamannya dalam hal etika politiknya,” beber pendiri The President Center.
Menurut Didied, hal-hal tersebut seharusnya menjadi tugas partai politik (parpol) untuk menggembleng capresnya. Namun, parpol masih mengabaikannya. “Atas kondisi seperti inilah seharusnta ada suatu lembaga untuk mempersiapkan pemimpin, baik di lembaha perwakilan seperti DPR, DPD RI, dan DPRD. Dalam hal inilah kami mempertimbangkan untuk meluncurkan Lembaga Kenegarawanan Nasional untuk para calon pemimpin tersebut,” tutur dia.
“Maka, perlu dibuat sekolah calon presiden atau pendidikan kandidat presiden. Atau nama yang tepat adalah lembaga kenegarawanan nasional, untuk mencetak negarawan-negarawan sejati,” tambahnya.
Mestinya, lanjut dia, lembaga seperti itu diadakan Litbang Parpol. “Tapi semua parpol sepi-sepi saja, lumpuh pemikirannya, karena serba transaksional. Kalau begitu kapan bisa akan muncul regenerasi. Jadi, kalau ada usul seperti ini, tentunya kami mohon dukungan akademisi dan lainnya, semua kita dedikasikan untuk rakyat,” tandasnya.
Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mendukung adanya lembaga untuk penggemblengan calon pemimpin, apa pun bentuknya. “Saya lihat penting sekali sekolah calon pemimpin, dan memang yang seperti ini diintrodusi atau dimasukkan ke parpol, Misalnya untuk pendalaman pemahaman, tentang Otonomi daerah, filosofi bangsa, dan ketatanegaraan,” terangnya.
Dalam lembaga ini, jelas dia, calon pemimpin diberikan simulasi dalam bentuk komunitas-komunitas kecil berisi 5-10 orang untuk melatih kepemimpinan dan kiprah mereka. “Ini sebagai cara untuk mentransfer ilmu ke penerapan,” tutur Siti Zuhro.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menegaskan jika pemimpin politik termasuk capres-cawapres tidak harus lahir dari proses pendidikan formal prosedural, karena memang tidak ada sekolah kepemimpinan politik. Pemimpin itu lahir dari proses kontroversial terhadap kondisi sosial politik yang dihadapi. Sehingga pemimpin itu benar-benar lahir dari rakyat dan untuk rakyat, bangsa, dan negara.
“Jadi, kalau partai merupakan pilar demokrasi yang menentukan proses kepemimpinan nasional, maka parpol harus didorong untuk melakukan pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang beretika, bercita-rasa, jujur, bermartabat, dan dihormati. Tapi, faktanya politik itu menghalalkan segala cara sehingga memunculkan slogan NPWP (nomor piro wani piro?),” bebernya.
Karena mengeyampingkan etika dalam politik, lanjut margarito, maka lahirlah penguasa (bukan pemimpin) yang dzalim, korup, tak melayani rakyat, tak punya kepedulian, tak punya rasa, dan kekuasaannya dijalankan sesuai prosedur hukum, legal formal saja. “Di luar itu, ketika negara dalam bahaya, penguasa ini tak mampu mencari jalan keluar dari bahaya yang mengancam negara itu sendiri, dan tak tahu batas-batas yang tak terlihat,” tambahnya.
Ia mengemukakan perbedaan antara pemimpin dengan penguasa. Kalau pemimpin bertindak dan berbuat atas rasa keterpanggilan, tanggung jawab, kepedulian, dan sebagainya. Sebaliknya, penguasa itu selalu bertindak atas kewenangan, kekuasaan yang dimilikinya, dan berpegang pada teks-teks hukum dan aturan. “Penguasa tak bisa keluar dari teks-teks itu,” jelasnya.
Siti Zuhro menambahkan, seharusnya pemimpin yang muncul sekarang ini yang bertanggungjawab adalah parpol. “Kalau tidak, maka partai yang harus direformasi agar menggodok calon pemimpin yang berkualitas, kapabel, kapasitas, dan berintegritas karena partai itu sebagai pilar demokrasi. Karena itu kalau sampai ada politisi kutu locat dianggar wajar, ini berarti blunder bagi negara,” ungkap Peneliti senior LIPI.
Menurutnya, kutu loncat dalam politik itu bukan hal yang sepele, remeh-temeh dan enteng, karena akan berdampak pada fungsi dan tugas DPR dalam membuat UU, anggaran, dan pengawasan bisa semuanya dijalankan secara pragmatis dan oportunis. “Itulah yang menjadikan oligarki dan dinasti politik. Padahal, harus mengedepankan etika, keteladanan, konsisten dan komitmen antara ucapan dan perbuatan agar melahirkan sosok pemimpin yang diharapkan rakyat,” tutur Siti Zuhro.
Karena itu lanjut Siti, siapa capres yang paling konsisten dan komitmen dalam debat capres sekarang ini, maka itulah yang layak memimpin Indonesia ke depan. “Biasanya capres yang akan terpilih adalah merupakan antitesa dari presiden yang sekarang. Semoga saja kontestasi ini pemilu sebagai koreksi terhadap proses kepemimpinan khususnya etika yang mulai ditinggalkan. Nilai-nilai itu yang harus digaungkan dalam debat capres,” lontarnya. (Ars)