Jumat, 19 April 24

Calon Presiden Tunggal

Calon Presiden Tunggal
* Muslim Arbi.

Capres Tunggal Terlihat Dikemas dengan Berbagai Cara dan Manuver

Oleh: Muslim Arbi, Pengamat politik dan kebijakan publik

Kalender 2018 baru berjalan di bulan Maret, dan konon ini adalah tahun politik. Tahun ini akan dilakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sejumlah daerah. Tahun depan, 2019 akan dilakukan Pemilu serentak. Artinya, Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) disatukan. Seorang bakal calon presiden akan menjadi calon presiden (Capres) bilamana memenuhi Parlemen Threshold (PT) 20%.

Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana menentukan 20% PT jika Pileg dan Pilpres diserentakkan atau disatukan?

Mahkamah Konsitusi (MK) pun ikut koor dengan usulan Istana dan Parlemen dengan PT 20 %. Padahal, PT 20% itu adalah manut pada hasil Pileg 2014. Dan tidak ada aturan bahwa keputusan MK putuskan PT 20% merujuk pada hasil Pileg 2014.

Di Publik, suara-suara menghendaki agar PT 0 %, dan suara-suara itu lebih pas dan rasional. Karena, Pileg dan Pilpres digelar serentak. Maka lebih pas dan cocok adalah PT 0 %, biar Demokrasi lebih berkualitas dan tidak mengikuti skenario elit Parpol dalam Oligarki.

Karena tidak semua rakyat adalah anggota Partai Politik, sehingga pemaksaan PT 20 %, pemaksaan kehendak Oligarki Parpol (PT 20%).

Jika Pemerintah mau pemilu dan demokrasi berkualitas, mestinya tidak mematok PT 20%, data lama. Yang tidak bisa dijadikan patokan.

Pemaksaan data lama (Pileg 2014), sebenarnya cerminan ketakutan pihak Istana dan Koalisinya untuk memenangkan jagonya. Jadi, bisa dikatakan, jika PT 20 %, maka bisa saja ini semacam jualan kemasan produk lama. Padahal, rakyat ingin presiden baru. Ini tercermin dari sejumlah hasil survei yang dilansir belakangan ini.

Oleh karena takut jagonya kalah itu, maka sekarang dibuat kemasan baru, cassing baru HP lama (he…he…hee…). Yaitu Calon Tunggal. Calon tunggal, namanya pembodohan publik, a demokratis, dan tidak rasional. Kita alami kemunduran demokrasi.

Mestinya, jika Istana dan koalisinya tidak ketakutan, wajib membuka ruang agar Capres sebanyak Peserta pemilu 2019. Ada 15 Partai pada Pemilu 2019. Mestinya ada 15 Capres. Setiap Parpol peserta Pemilu diberi hak agar dapat memajukan Capres sendiri-sendiri. Ini malah tidak, Capres 2019 dibandrol dengan PT 20%.

Jika, suara Publik menghendaki Presiden baru, maka nasib Parpol Pendukung Capres tunggal akan apes. Bisa jadi Partai gurem dan minoritas di Parlemen. Hari ini boleh saja berada di urutan Partai Besar, tetapi jika kualitas pemerintahan yang sibuk pencitraan dan kecewakan Rakyat selama Rezim ini berkuasa, bisa membuat Oligarki Istana itu, akan jadi Partai unyil, hee…he…hee…

Calon tunggal Capres, terlihat dikemas dengan berbagai cara dan manuver. Tapi Rakyat sudah semakin cerdas, itu terlihat dengan simulasi Jokowi kalah berhadapan dengan kotak kosong. Jika berhadapan dengan kotak kosong saja kalah, maka bisa jadi jika ada Capres lebih dari satu pasti Jokowi kalah. Sehingga, pengguliran Capres Tunggal itu bisa bunuh diri secara politik.

Bisa juga Calon Tunggal ini adalah demi kepentingan Oligarki Parpol dan Pemodal. Anda ingatkah pada Pilpres 2014, semua media besar dikuasai dan tiap hari yang ada adalah Jokowi dan iklannya. Berapa dana habis untuk itu? Anda tahu kan siapa pemilik modal di Negeri ini? Setelah itu sejumlah Proyek bermasalah pun muncul, semisal Reklamsi, Meikarta, dan sebagainya.

Oleh karenanya, jangan mengulang lagi Capres dan Presiden Boneka di 2019. Terlalu mahal mempertaruhkan nasib Negeri ini di tangan Oligarki Parpol dan Kaum Pemodal. Dan Pemilu 2019 adalah bukan sejenis permainan dadu di meja judi.

Surabaya, 13 Maret 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.