Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Calon Presiden Tunggal Dicurigai Ada Suap

Calon Presiden Tunggal Dicurigai Ada Suap
* Diskusi bertema "Pilpres 2019 Terganjal Calon Tunggal?” yang digelar di Jakarta, Minggu (11/3/2018).

Jakarta, Obsessionnews.com Adanya keinginan pihak tertetu untuk menggolkan calon presiden (capres) tunggal dalam pemilihan umum presiden (Pilpres) 2019, dinilai sangat rentan dengan politik suap atau dagang sapi. Pasalnya, tidak ada dukungan gratis terhadap capres dengan mengarahkan ke calon tunggal. Oleh karena itu, capres tuggal lawan kotak kosong, harus ditolak masyarakat. Semakin banyak capres, semakin demokratis.

Hal ini mengemuka dalam diskusi bertema “Pilpres 2019 Terganjal Calon Tunggal?” yang digelar di Jakarta, Minggu (11/3/2018), menampilkan nara sumber sebagai pembicara: Pakar komunikasi politik dari Universitas Jayabaya Jakarta, Lely Aryanie, Pengamat Anggaran dan Politik dari Center for Budget Analysis (CBA) Ucok Sky Khadafi dan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr Yenti Garnasih SH MH, dengan moderator wartawan senior Arief Sofiyanto.

Ucok Sky Khadafi mencurigai para pimpinan partai yang mendukung capres tunggal mendapat ‘mahar politik’ alias suap dari pihak yang berkepentingan untuk menggolkan capres tunggal. “Tidak ada dukungan gratis, Dalam deal politik pasti ada kepentingan, kalau tidak uang ya jabatan. Yang jelas, kalau jabatan (cawapres) terbatas (hanya satu). Jadi, saya curiga mereka dapat uang,” duganya.

Melihat kalkulasi politik saat ini, capres petahana, Joko Widodo diperkirakan jadi capres tunggal. Yang perlu dipertanyakan, menurut Ucok, mengapa harus digiring/diarahkan ke capres tunggal dan apa motivasi para pimpinan partai tergiring mendukung capres tunggal? “Tentu ada imbalannya,” tandas Pengamat CBA.

Sementara itu, Yenti Garnasih khawatir Pemilu 2019 dan Pilpres akan marak money politics (politik uang). “Dalam pemilu kepala daerah (Pilkada) saja banyak yang bermasalah dan jadi tersangka. Apalagi kalau dalam Pemilu 2019 dan Pilpres nanti diwarnai politik uang. Luar biasa bahayanya,” paparnya.

Ia pun tidak setuju dengan istilah ‘mahar politik’ dalam pencalonan kepala daerah, karena itu adalah penghalusan bahasa. “Ini jelas penyuapan atau pemerasan alias kejahatan yang sifatnya negatif, kok dibilang mahar politik. Kalau Mahar politik itu maknanya positif,” sindir mantan anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.

Apalagi, lanjutnya, kalau uang yang dipakai untuk penyuapan tersebut adalah berasal dari hasil korupsi dan atau dari bisnis narkoba. “Pasti koruptor dan bandar narkoba nanti akan aman kalau yang terpilih jadi pemimpin adalah pihak penyuapnya,” beber pakar hukum pidana bidang ekonomi dan tindak pidana korupsi ini.

Oleh karena itu, Yenti meminta PPATK, KPK, Bawaslu dan pengawas lainnya untuk benar-benar memelototi jalannya Pilkada 2018, Pemilu 2019 dan Pilpres mendatang. “Apalagi kalau dana untuk politik uang di pemilu didapat dari korupsi dan narkoba, maka ini terjadi pencucian uang,” tegas doktor pencucian uang pertama di Indonesia ini.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr Yenti Garnasih.

Yenti mengingatkan adanya potensi pidana yang bakal terjadi dalam Pilpres ketika calonnya tunggal. “Bahayanya calon tunggal yang terjadi dalam pilpres dari sisi hukum pidana yang paling saya khawatirkan soal sumber dana pemilunya,” ungkap pakar hukum pidana pencucian uang ini.

Ia menyoroti pada Pilkada saja, dananya sudah banyak yang bermasalah sehingga sejumlah calon kepala daerah harus berurusan dengan hukum. Selain menyebut bahaya calon tunggal yang dikaitkan dengan sumber-sumber dana pemilu, Yenti juga mengingatkan potensi aliran dana yang berasal dari transaksi narkoba.“Di luar negeri terjadi dana dari transaksi narkoba mengalir ke Pemilu melalui partai politik. Saya membacanya hal itu juga bisa terjadi di Pemilu Indonesia,” ungkapnya.

Mestinya, kata Yenti, dalam berdemokrasi itu juga harus diikuti dengan ketatnya pengawasan dana haram masuk ke partai politik. Salah satu caranya publik harus tahu dari mana sumber pendanaan partai politik. “Sekarang transaksi narkoba nilai uangnya sangat banyak. Uang negara yang dikorupsi juga. Kalau dua sumber dana itu masuk ke Pemilu Presiden maka Pemilu dimenangkan oleh koruptor dan bandar narkoba,” kata Yenti.

Oleh karena itu, Yenti berharap, sumber dana pilkada sampai Pilres harus bersih. “Apa jadinya hasil pemilu kalau pemilu jadi sarana cuci uang. Luar biasa bahayanya!” serunya.

Lely Aryanie juga tidak sepakat dengan capres tunggal. Ia pun berharap ada dua capres atau bahkan tiga capres dengan adanya poros ketiga di luar Jokowi dan Prabowo. “Semoga ada dua capres atau lebih dalam Pilpres 2019,” harapnya.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Jayabaya Jakarta, Lely Aryanie.

Pakar komunikasi politik ini menduga, ada pihak-pihak yang menginginkan dalam Pilpres 2019 hanya muncul satu pasang calon atau calon tunggal dengan melakukan lobi-lobi politik. Ia pun menyebut, ada yang melobi Prabowo Soebianto untuk dijadikan cawapresnya Joko Widodo (Jokowi) untuk mewujudkan pasangan calon tunggal tersebut.

Lely menegaskan, calon tunggal dalam pemilu juga dianggap mengancam demokrasi. Menurut dia, yang namanya pemilu harus memiliki setidaknya dua calon. Agar masyarakat bisa memilih calon yang dianggap lebih baik. “Itu (calon tunggal) tidak mencerminkan demokrasi. Namanya pemilihan itu ya harus ada yang dipilih. Kalau hanya ada satu pasang calon apa yang dipilih,” tuturnya.

Jika pada Pilpres 2019 terjadi calon tunggal, menurut Lely, maka kegagalan itu datangnya dari partai politik, yang tidak mampu menciptakan kadernya menjadi pemimpin bangsa. Partai politik lebih mengedepankan uang dari pada kemajuan bangsa. Indikasi seperti itu, jelasnya, sudah ada dengan belum adanya partai yang berani menyodorkan kadernya sebagai capres. Mereka masih sebatas menawarkan diri sebagai cawapres. “Ini jelas mereka (partai), gagal dalam pembinaan. Akibat kadernya tak bisa mengakar ke publik,” kecamnya.

Kader partai tak bisa mengakar ke publik, lanjutnya, karena mereka banyak yang terlibat korupsi. “Ini semua akibat partai yang mengangkat kader dengan cara-cara yang tidak baik. Partai mengangkat kader untuk menjadi pemimpin hanya karena kepentingan uang,” katanya.

Lely juga tidak setuju perubahan istilah ‘politik uang’ menjadi ‘mahar politik’. “Mestinya wartawan harus tidak setuju pergantian kata itu. Mahar politik itu lebih kepada hal yang baik. Sementara politik uang itu adalah sebuah kejahatan. Jadi, apapun yang dilakukan untuk parpol atas uang itu adalah kejahatan,” tandasnya.

 

 

Sebagai catatan, capres tunggal memugkinkan karena UU No. 7 tahun 2017 pasal 222 berbunyi: “Partai politik yang dapat mencalonkan capres/cawapres hanya merupakan parpol peserta pemilu sebelumnya”. Artinya, partai-partai baru tidak bisa ajukan calon. Sedangkan persyaratan parpol/gabungan parpol dapat mengusung pasangan capres-cawapres adalah 20% kursi DPR RI atau 25 persen perolehan suara nasional dalam Pemilu 2014.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Prof Yusril Ihza Mahendra mengingatkan bahaya capres tunggal di Pilpres 2019. Bahayanya, jika calon tunggal ini kalah melawan kotak kosong. Pemerintahan pun kosong, chaos pun tidak terelakkan.

Bahkan, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung saat tampil di ILC beberapa hari lalu, menilai batasan presidential threshold (PT) 25 persen perolehan suara nasional dari partai politik hasil Pemilu 2014 lalu, untuk mencalonkan pasangan calon presiden-wapres adalah bibit busuk yang akan mewarnai politik kita. Mestinya, yang wajar adalah PT didasarkan pada parpol terpilih pemilu 2019. Dan akan lebih bagus lagi kalau capres tanpa PT, sehingga setiap parpol bisa mengusung capres. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.