Minggu, 2 April 23

Buya Hamka dan Ibnu Taimiyah

Buya Hamka dan Ibnu Taimiyah

Oleh: Lukman Hakiem, Sekretaris Majelis Pakar Parmusi

Inilah kenang-kenangan H.M. Yunan Nasution (1913-1996) dari penjara rezim Orde Lama.

Sektetaris Jenderal Partai Politik Islam Masyumi itu dijemput di rumahnya, di bilangan Cipinang Cempedak, Polonia, Jakarta Timur, oleh Polisi Milter dipimpin seorang perwira berpangkat Kapten, menjelang subuh, Rabu, 16 Januari 1962.

Kepada Yunan, perwira berpangkat Kapten itu menyerahkan surat perintah dari Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) untuk menangkapnya. Yunan paham apa yang sedang menimpa dirinya dan bergegas mempersiapkan sekadar pakain yang perlu dibawa, peralatan mandi, kitab suci Al-Quran, dan beberapa buku. Menjelang berangkat, istri Yunan bertanya mau dibawa ke mana suaminya itu. Sang Kapten menjawab lugas: “Ke Mess CPM di Jalan Hayam Wuruk.”

Muchtar Lubis, M. Yunan Nasution, J. Princen, Isa Anshary, E.Z. Muttaqien di penjara rezim Irde Lama.

Menjelang berangkat, Yunan berbisik kepada istrinya agar memberi tahu peristiwa menjelang fajar itu kepada teman-teman dekat antara lain Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito, dan Wakil Ketua Masyumi Mr. Mohamad Roem.

Setiba di Mess CPM, perwira penjemput mempersilahkan Yunan untuk beristirahat sambil berkata: “Di sebelah kamar Bapak, sudah ada Pak Subadio Sastrosatomo.”

Mendengar nama Subadio, Yunan langsung paham, penangkapan ini berlatar belakang politik. Subadio adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sesudah mandi dan shalat Subuh, Yunan duduk-duduk di depan kamar tahanannya. Di beranda salah satu kamar, terlihat Mohamad Roem. Tidak berapa lama kemudian, muncul pula Ketua Umum PSI dan mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Setelah itu, keluar pula dari salah satu kamar, Prawoto Mangkusasmito. Agak siang sedikit, datang sebuah mobil, dan dari mobil itu turun bekas Menteri Luar Negeri Anak Agung Gde Agung.

Setelah memperhatikan wajah-wajah yang muncul di Mess CPM, Yunan makin yakin, ini adalah penangkapan politik dengan sasaran tokoh Partai Masyumi dan PSI. Beberapa hari kemudian “bergabung” pula di Mess CPM, pegawai tinggi Bank Indonesia Ir. Ondang, dan tokoh antikomunis, K.H. Isa Anshary.

Sesudah hampir empat bulan di Mess CPM, pada 7 April 1962, Yunan dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Di RTM, Yunan disekap  selama delapan bulan.

Di RTM ada suatu ruangan besar yang khusus dijadikan tempat kegiatan keagamaan. Tempat itu dijadikan masjid untuk shalat berjamaah terutama Maghrib, Isya, dan Subuh. Shalat Jumat juga dilaksanakan di tempat tersebut. Kadang-kadang datang juga guru-guru agama dari Pusat Rohani (Pusroh) TNI Angkatan Darat. Peringatan hari-hari besar keagamaan seperti Maulid, Isra Mi’raj, shalat Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan di lapangan tennis dengan penceramah, imam, dan khatib dari Pusroh TNI-AD.

Pada peringatan Maulid tahun 1962, Puroh TNI-AD mengirim muballigh yang sudah sangat dikenal oleh Yunan: HAMKA. Menurut cerita HAMKA kepada Yunan, saat Pusroh TNI-AD memintanya menjadi mubaligh dalam peringatan Maulid Nabi di RTM, tanpa berpikir dua kali, HAMKA langsung menyatakan bersedia. “Malah pucuk dicinta ulam tiba,” ujar HAMKA dalam hati.

Pada ceramah Maulid Nabi di RTM itu, HAMKA bercerita tentang perjuangan Ibnu Taimiyah yang terpaksa meringkuk dalam tahanan selama lebih dari tujuh tahun lantaran mempertahankan cita-cita dan keyakinannya. Di dalam penjara, Taimiyah terus-menerus menuangkan pemikirannya sehingga setelah bebas dari penjara terbitlah buku-bukunya yang ditulis selama masa uzlah itu.

Sesudah selesai peringatan maulid pada malam itu, Yunan dan kawan-kawan penghuni RTM mengantar HAMKA sampai di pintu bui bagian depan. Secara berkelakar, Yunan berkata kepada HAMKA, kawan lama sesama pengasuh Panji Islam di tahun 1930-an,”Di sini sajalah bermalam, Bung HAMKA.”

HAMKA menjawab seraya  tersenyum: “Lain kali sajalah.”

Tentu sama sekali tidak terpikir oleh HAMKA bahwa setahun kemudian dia pun ditangkap dan ditahan oleh rezim Sukarno dengan tuduhan berdasarkan sesuatu fitnah. HAMKA ditahan selama hampir tiga tahun lamanya.

Riwayat Ibnu Taimiyah yang diceritakannya malam itu di RTM, ternyata dialaminya juga. HAMKA menjadi Ibnu Taimiyah Indonesia. Di penjara rezim Sukarno, HAMKA menulis karya monumentalnya: Tafsir Al-Azhar.

Pada 22 Desember 1962, Yunan dipindahkan dari RTM ke penjara Madiun menyusul Sutan Sjahrir, Roem, Prawoto, dan lain-lain yang telah lebih dulu dipindah ke Madiun.

Dari Wisma Wilis di Madiun, Yunan dibawa lagi ke RTM, lalu dipindah ke Wisma Keagungan di Jl. Gajah Mada Jakarta.

Dari Wisma Keagungan itulah Sutan Sjahrir yang penyakitnya makin parah, dibawa ke Zurich untuk diobati. Pada 16 April 1966, pejuang kemerdekaan yang dipenjara oleh rezim Sukarno sejak 16 Januari 1962, meninggal dunia.

Mengenai wafatnya Sjahrir, Yunan menulis: “Tuhan telah memperlihatkan keadilan dan kerahiman-Nya dengan memanggil arwah Almarhum pada hari kebangkitan Orde Baru, pada waktu kekuatan-kekuatan PKI telah dihancurkan, sehingga Almarhum meninggal sebagai Pahlawan Nasional dan dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dihantarkan oleh ratusan ribu rakyat ke tempat peristirahatannya. Bayangkanlah apa yang akan terjadi andainya beliau meninggal dunia di zaman PKI masih berpengaruh dan menguasai pemerintahan dengan Orde Lamanya yang memandang pejuang sebagai ‘kontra revolusioner’….”

Sekitar tiga pekan sesudah pemakaman Sjahrir, yakni pada hari Selasa, 17 Mei 1966, Yunan bersama 14 tahanan politik lainnya, dibebaskan dari penjara. Mereka ialah: 1. Mohamad Roem, 2. Anak Agung Gde Agung, 3. Prawoto Mangkusasmito, 4. Mochtar Gozali, 5. K.H. Isa Anshary, 6. Imron Rosjadi, 7. Hasan Sastraatmadja, 8. Kiai Mukti, 9. E.Z. Muttaqien, 10. Mochtar Lubis, 11. J. Princen, 12. Sultan Hamid, 13. Subadio Sastrosatomo, 14. Sholeh Iskandar, dan 15. M. Yunan Nasution.

Pada bulan Juli 1966, dibebaskan pula: 1. Mohammad Natsir, 2. Sjafruddin Prawiranegara, 3. Burhanuddin Harahap, 4. Nawawi, 5. M. Simbolon, 6. Assaat, 7. Nun Pantow, 8. Ventje Sumual, dan 9. Rudolf Runturambi.

Pada tanggal 19 Mei 1967 barulah seluruh tahanan politik rezim Orde Lama itu mendapat pembebasan penuh, yaitu sesudah selama satu tahun berada dalam status tahanan kota.

Mengenai masa penahanan dari 16 Januari 1962 hingga 17 Mei 1966, Yunan mengingatkan bahwa meskipun rangkaian penangkapan tanpa dasar hukum itu memiliki hubungan dan kaitan  dengan pertumbuhan sistem diktator di Indonesia yang sudah berkembang jauh, “peristiwa itu hendaknya ditinjau dengan scoupe yang lebih luas dan tidak sewajarnya menimbulkan bekas perasaan dendam dan lain-lain yang serupa itu.”

Hanya seorang negarawan yang berjiwa besar yang dapat bersikap seperti M. Yunan Nasution: tidak menaruh dendam kepada penguasa yang mendzaliminya. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.