
Jakarta, Obsessionnews.com – Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap, menyoroti masalah rendahnya tingkat penyerapan anggaran APBD sebagai salah satu indikator kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Kegagalan target penyerapan anggaran akan berakibat hilangnya manfaat belanja. Dana telah dialokasikan dalam belanja daerah, ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan.
“Ini berarti terjadi iddle money. Seandainya uang tersimpan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar, tentu pencapaian tujuan DKI akan mudah untuk dilakukan. Penyerapan anggaran belanja rendah dikhawatirkan tidak mendukung target pertumbuhan DKI,” kata Muchtar melalui keterangan tertulis kepada Obsessionnews.com, Minggu (5/3/2017).
Penyerapan anggaran setiap tahun Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok rata- rata sangat rendah di awal tahun. Dan bahkan ketika melewati triwulan kedua, realisasi belanja daerah masih sangat rendah.
“Bisa jadi, terlalu berhati-hati ketika melakukan pengeluaran anggaran. Atau sengaja tidak melakukan karena konflik laten dengan Ahok. Hal ini berlangsung terus hingga bulan kedua belas,” tandas Muchtar.
Anehnya, lanjut alumnus Program Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 ini, Ahok bangga dengan penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
“Bahkan, pendukung buta Ahok berdalih dana CSR mengurangi beban APBD sebagai kesuksesan, meski penyerapan anggaran APBD sangat rendah. Beragam kilah diajukan pendukung buta Ahok untuk melindungi kegagalan Ahok menyerap anggaran setiap tahun,” tegasnya.
Penyerapan anggaran selalu menjadi isu utama setiap tahun Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok. Dapat dilihat juga di media cetak maupun elektronik rendahnya penyerapan anggaran sering dibahas, karena berkaitan dengan pertumbuhan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan karena belanja Pemprov DKI turut menjadi penentu pertumbuhan perekonomian DKI. Mengapa ? “Karena variabel dominan pendorong pertumbuhan perekonomian daerah adalah faktor konsumsi,” kata Muchtar.
Fakta Penyerapan Anggaran
Muchtar membeberkan fakta penyerapan anggaran APBD era Ahok tak pernah bekerja nyata meraih target capaian tiap tahun.
Kriteria target capaian tiap tahun penyerapan anggaran alokasi APBD DKI merupakan dasar penilaian kritis atas kinerja Ahok. Sebagaimana bidang urusan pemerintahan, urusan penyerapan anggaran atau Belanja Daerah juga buruk dan gagal. Pada 2013 target capaian sebesar Rp 46.578.865.629.904. Faktanya, hanya mampu menyerap/merealisasikan Rp 38.294.398.527.100. Yakni hanya 82,21% atau buruk.
Pada 2014 Rencana Belanja Daerah Rp 63.650.106.383.473. Faktanya, hanya mampu menyerap Rp 37.759.772.987.977. Yakni 59,32 % atau sangat buruk.
Pada 2015 Rencana Belanja Daerah Rp 59.685.552.609.233,00. Faktanya, hanya mampu menyerap Rp 43.037.421.799.776. Yakni 72,11% atau lebih buruk.
Dari pengalaman tiga tahun, Ahok rata-rata mampu menyerap anggaran alokasi APBD hanya 71%. Dapat dinilai lebih buruk. Diperkirakan tahun 2016 tak jauh beda.
Pemprov DKI Jakarta baik era Jokowi maupun Ahok mengalami kegagalan memenuhi target capaian. Bahkan, pada tahun 2014 hanya mampu mencapai 59,32 %, sangat jauh dari target capaian. Kualitas kinerja Pemprov DKI tahun 2013-2017 dapat dinilai buruk. Tidak pernah berhasil mencapai atau mendekati target 100%.
Kritik Terhadap Pemprov DKI
Muchtar melontarkan kritik kepada Pemprov DKI di era Ahok. Pertama, kurangnya pengawasan Ahok terhadap program unggulan DKI, dan langkah-langkah yang dilaksanakan benar-benar hanya pencitraan semata.
Kedua, kinerja Ahok dan para aparat dalam penyerapan anggaran “sangat buruk”.
Ketiga, seorang gubernur meski popularitas tinggi, tetapi tidak menjamin kualitas bagus dalam laporan penyelenggaraan pemerintah daerahnya bagus. Hal ini terjadi pada Ahok.
Keempat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap Ahok (2013, 2014 dan 2015). Hal ini terbukti dari hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemrov DKI.
“Kondisi kinerja Ahok ini berdampak negatif terhadap pembangunan di DKI. Tidak berjalan secara maksimal. Hal ini dapat dijadikan indikator kegagalan Pemprov DKI yang dipimpin Ahok,” kata Muchtar.
Menurutnya, kondisi kinerja ini tentu bisa dijadikan pertimbangan untuk membantu argumentasi menghendaki DKI punya gubernur baru.
“Gubernur lama sudah punya kesempatan, tapi terbukti nyata tak mampu dan gagal menangani urusan penyerapan anggaran,” tegasnya. (arh)
Baca Juga:
Pengamat NSEAS Sebut Ahok Tak Mampu Atasi Kemacetan
Ahok Gagal Lindungi Aset Pemprov DKI
Jakarta Masih Banjir, Ahok Tetap Ngeles