Kamis, 25 April 24

Bung Karno yang Saya Kenal

Bung Karno yang Saya Kenal
* Mohammad Natsir dan Bung Karno.

Oleh: Mohammad Natsir, mantan Ketua Umum Partai Masyumi

 

Pengantar Redaksi: Artikel yang ditulis oleh mantan Ketua Umum Partai Masyumi Mohammad Natsir ini dimuat di buku “Bung Karno Dalam Kenangan” karya Solichin Salam, dan diterbitkan Penerbit Pusaka, Jakarta, tahun 1981.

 

Bung Karno adalah salah seorang pemimpin besar bangsa Indonesia, disamping bung Hatta. Ini satu kenyataan yang tak bisa seorang pun mengingkarinya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia.

 

Kami berkenalan semasa penjajahan Belanda, sewaktu sama-sama tinggal di Bandung. Sekalipun waktu itu saya belum aktif di partai politik. Saya aktif di organisasi Persatuan Islam (Persis), sedangkan bung Karno menjadi ketua PNI (Partai Nasional Indonesia).

 

Pada tahun 1930 an, terjadi polemik antara saya dengan bung Karno mengenai masalah politik dan ke-Islaman di majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Polemik tersebut berjalan dengan seru, meskipun demikian saya dengan bung Karno senantiasa bersikap objektif dan masing-masing tidak pernah melukai perasaan pribadi.

 

Walaupun saya tidak pernah menjadi anggota PNI di Bandung, akan tetapi pada waktu bung Karno ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Sukamiskin Bandung, kami dari Persatuan Islam termasuk yang pertama yang menjenguk, mengirim bacaan-bacaan dan kadang-kadang oleh-oleh alakadarnya. Sebagaimana lazimnya bila ada teman berada dalam tahanan.

 

Setiap orang yang membaca polemik antara saya dengan bung Karno dapat mengambil kesimpulan, bahwa pandangan hidup maupun pandangan politik serta azas perjuangan kami amatlah berbeda. Bung Karno mendasarkan perjuangannya atas dasar kebangsaan, sementara saya atas dasar Islam. Meskipun demikian, antara kami tidak pernah ada rasa benci atau dendam. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dalam surat-surat bung Karno kepada tuan A. Hassan, yang kemudian dikenal dengan nama “Surat-surat Islam dari Endeh”.

 

Sewaktu bung Karno akan divonis, majalah “Pembela Islam” yang saya pimpin melakukan pembelaan dengan satu tulisan bapak Haji Agus Salim berjudul: “Hukum, Hakim dan Keadilan”. Sudah jadi “kebudayaan” kita di zaman itu; perbedaan faham tidak berarti permusuhan.

 

Sesudah Indonesia merdeka, secara resmi saya aktif dalam partai politik Masyumi. Semenjak itu saya kenal bung Karno secara pribadi dari dekat. Apalagi sesudah saya menjadi Menteri Penerangan, hubungan saya dengan bung Karno baik sekali. Apabila saya berada di Yogyakarta, selalu ia mengajak saya sarapan pagi di Gedung Kepresidenan, sambil mempersiapkan pidato-pidato Presiden untuk 17 Agustus.

 

Setelah penyerahan kedaulatan, saya pernah ditunjuknya sebagai formatur Kabinet, kemudian menjadi Perdana Menteri. Pengalaman saya selama menjadi Perdana Menteri dan hubungan saya dengan bung Karno tidaklah selancar dan sebaik hubungan saya sewaktu masih menjadi Menteri Penerangan di masa revolusi dahulu. Banyak timbul kesulitan dan hambatan yang saya alami dalam kerjasama dengan bung Karno di periode Jakarta.

 

Makin lama makin memuncak perbedaan politik antara bung Karno dengan saya, apalagi setelah timbul gagasan bung Karno dengan konsepsinya berupa kabinet Kaki Empat. Gagasan bung Karno itu saya tentang.

 

Sementara itu di berbagai daerah timbul pergolakan, karena terasa kebijaksanaan politik pembangunan yang terlalu Jawa sentris dan Jakarta sentris. Selain itu politik bung Karno dengan NASAKOM-nya membuat hubungan kami jauh. Sekalipun pergolakan-pergolakan daerah ini telah dicoba untuk mengatasinya melalui Musyawarah Nasional dan MUNAS PEMBANGUNAN di Jakarta tahun 1957, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

 

Walaupun bagaimana, disaat pertentangan paham antara kami berdua telah memuncak, pada tanggal 1 Januari 1958 saya beserta istri, tetap diundang ke Istana Merdeka dan berjabatan tangan. Menurut kata orang yang melihat salam kami waktu itu tampak sangat akrab. Mungkin Iphos masih menyimpan fotonya. Bung Kano selaku Presiden Republik Indonesia politiknya makin lama makin dekat dengan PKI. Hal ini mendorong munculnya PRRI dan Permesta, yang dilanjutkan oleh generasi 1966, yang melahirkan Orde Baru.

 

Sebagai penutup saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain. Mudah mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan Bangsa di kalangan generasi penerus, demi tegaknya Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

 

Betapapun perbedaan-perbedaan pendirian yang jujur dibidang politik, “lawan dan kawan”, mengakui besarnya saham dan sumbangan bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Dan sejarah mencatat, bahwa BUNG KARNO dan BUNG HATTA adalah proklamator Kemerdekaan Indonesia.

 

Jakarta, 5 April 1981

 

Baca Juga:

Panglima TNI Ziarah ke Makam Bung Karno dan Gus Dur

Bung Karno dan Poligami

Mengejutkan! Maia Estianty Ungkap Neneknya Istri Pertama Bung Karno

Ketika Roem Bela Bung Karno

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.