Senin, 5 Juni 23

BUMN dalam Genggaman Modal Asing

BUMN dalam Genggaman Modal Asing

Jakarta – Ancaman privatisasi Pertamina kembali mencuat dan jika ini terjadi dalam tubuh perusahaan pelat merah itu, maka tentu akan mengancam kesejahteran rakyat Indonesia pada umumnya. Hal ini ditengarai akan mendorong BUMN-BUMN Indonesia untuk masuk dalam aset keuangan untuk mengambil utang luar negeri.

“Kemudian didorong untuk menghasilkan devisa negara dari penerimaan utang luar negeri dengan devisit perdagangan dan transaksi berjalan kita ini tidak hanya berdampak pada BUMN kita namun pada makro ekonomi kita,” ungkap Salamudin Daeng, Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dalam forum diskusi bertema “Pertamina di Bawah Ancaman Privatisasi dan Utang Luar Negeri” di Jakarta,  Minggu (7/12/2015).

Menurut Salamuddin, hal ini mungkin bisa dilihat bahwa transaksi berjalan kita bisa devisit antara 60 samapai 80 trilun. “Sekian  tahun BUMN kita diperas untuk bisa menarik devisa luar negeri, dan lebih berbahaya lagi bahwa BUMN strategis kita itu di dorong pada pasar keuangan  baik itu melalui usaha saham walaupun dari utang luar negeri,” paparnya.

Jadi, tegas dia, kedua-duanya dipadukan supaya lebih cepat lagi masuk ke dalam agenda-agenda yang neoliberal. “Jadi, itu yang terjadi,” beber Peneliti senior The Indonesia For Global Justice (IGJ) ini.

Yang berkaitan dengan BUMN Pertamina, lanjut Salamuddin, dalam beberapa waktu terakhir ini terlihat sekali ada ekspansi. “Saya membaca pada 28 November lalu dikatakan bahwa Pertamina dalam lima tahun ke depan akan didorong untuk melakukan ekspansi sekitar 61 miliar dolar AS, itu sekitar tujuh ratusan triliun rupiah kalau itu benar-benar menjadi rencana mereka,” paparnya.

Jika demikian, tandas Salamuddin, kita akan cek sumber keuangannya darimana karena ini adalah angka yang cukup besar untuk ekspansi dan disebutkan bahwa termasuk dalam rangka eksploitasi di hulu dan juga dalam rangka merger dan akuisisi ini harus dibayangkan bahwa ini merupakan satu rencana untuk pertama harus mencari sumber-sumber keuangan yang besar dan dia harus berpikir harus ekspansi kalau sudah ada uangnya.

“Lalu kita lihat bahwa siapa pak Dwi Soetjipto (Dirut Pertamina- red), saya mencoba membaca laporan keuangan dari PT Semen Indonesia yang merupakan salah satu BUMN kita yang sudah masuk 49 persen sahamnya sudah dikuasai asing itu yang pertama, kemudian yang ke dua sejak 2012 lalu itu menunjukkan minatnya yang besar sekali untuk mengambil utang laur negeri guna memperbesar kapital semen Indonesia,” ungkapnya.

“Saya tidak tahu karena di laporan keungan dia itu tidak disebutkan secara jelas bahwa sudah mengambil utang luar negeri tetapi rencana itu sudah terbaca sejak tahun 2012. Mungkin kendalanya di semen Indonesia karena perusahaan ini juga sudah banyak utangnya sekarang yang kurang lebih Rp11,476 triliun baik dalam maupun luar negeri di laporan keuangan 2013,” beber Salamuddin.

“Ini angka sangat besar kalau melihat angka revenew-nya dia yang tidak sampai Rp1 triliun dan kalau melihat utang dia deviden dia kurang lebih dari Rp2,1 triliun. Kalau di aspek privatisasi semen Indonesia tinggal 2 persen lagi ini bukan lagi BUMN milik negara mayoritas tapi sudah mayoritas di tangan swasta,” tambahnya.

“Nah ketika di bawah masuk ke dalam Pertamina, hal ini ketemu momentumnya karena Pertamina itu perusahaan besar dimana  selalu menarik buat siapapun modal asing memberikan utang reting dia. Memberikan utang berdasarkan modus cukup bagus dan dia masuk rife haighder cousting sehingga visi dan orientasi dia kepada utang luar negeri dan privatisasi  sudah menemukan ruang yang bagus di pertamina,” lanjut dia.

Bahkan,  tandas Salamuddin, keadaan Pertamina dari awal krisis finansial sangat membahayakan sekali mungkin akan menjadi akumulasi beban. Berdasarkan laporan 2013 tentang Pertamina sudah mempunyai bond sekitar Rp80 triliun-an. Keuangan dan renstra untuk bon itu ada terbaca dari seluruh segmen untuk mengakumulasi di pasar keuangan.

“Dan menurut kita ketika terjadi seperti ini merupakan suatu perpaduan yang bisa mengancam eksistensi kedaulatan negera kita, kenapa karena amanat konstitusi kita harus menjadi perusahaan negara yang mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan bangsa kita.
Bagaimana mungkin dia bisa mengabdi kepada rakyat dan bangsa kita kalau dia terperangkat kedalam utang kalau diinvestasikan,” tambahnya.

Salamuddin juga menanggapi statemen menteri BUMN Rini Suemarno kemarin yang mengeluarkan dua pernyataan. Pertama, meminta Pertamina untuk melakukan listing terhadap utang-utang Pertamina dengan menerbitkan obligasi rupiah agar tercatat di pasar modal PT Bursa Efek Indonesia. Dengan alasan pencatatan utang Pertamina di BEI akan membuat BUMN migas tersebut menjadi perusahaan BUMN non listed dengan utang yang listed. Pencatatan utang yang menjadikan Pertamina selakyanya listed company menyebabkanb perushaan itu lebih terbuka yang diungkapkan Rini Senin lalu.

Jadi, ungkap Salamuddin, Rini mau mengakulasi utang lagi di bursa efek Indonesia di dalam bentuk rupiah untuk membayar kewajiban dia dalam bentuk dolar. Tapi nanti kita lihat kalau ini benar-benar dilakukan berarti beban yang bertumpuk di pertamina itu tidak hanya komponen-komponen utang dalam negeri, utang pada perbankan nasional tapi utang pada bursa-bursa keuangan.

“Nah ini yang penting kami sampaikan hari ini bahwa ini sebagai suatu peringatan kesekian kali dari kami ya dan teman-teman pertamina juga bahwa cara-cara seperti ini akan sangat membahayakan eksistensi daripada BUMN kita kedepan. Karena sekarang pola penguasaan pasar keuangan, pola penguasaan swasta terhadap  BUMN kita itu sudah semakin banyak variabelnya kalau dulu kan pemberian langsung sekarang bisa melalui utang luar negeri bisa juga melalui pasar keungan,” paparnya.

“Kalau mereka sudah masuk ke dalam tubuh Pertamina maka akan nati akan angkut semuanya apakah itu previumnya pertamina, apakah itu macam-macam belanjanya dia sampai pada hal-hal yang lebih teknis lagi sehingga masuknya Dwi Soetjipto patut di curigai sebagai perpaduan minat pertamina dan privatisasi sehingga langkah-langkah untuk mengambil utang lebih besar lagi di sektor keuangan dan langkah-langkah untuk melakukan privatisasi dari seluruh cabang-cabang atau seluruh rantai pertamina untuk tidak di lakukan dan dihentikan demi keselamatan bangsa dan negara kita,” terangnya. (Asm)

 

Related posts