
Jakarta – Sudah bisa ditebak, pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bakal minim membeberkan persoalan masih banyaknya kemiskinan di Indonesia, melainkan justru dominan memaparkan apa-apa yang dianggap menjadi keberhasilan dalam rezim kepemimpinannya. Dalam Pidato Kenegaraan di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jumat (15/8/2014), SBY malah mengklaim tingginya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia dan bahkan dia meminta masyakarat mengapresiasi ‘keberhasilan’ rezimnya tersebut.
Terlebih lagi, SBY justru berbangga ria dengan menyebut kemiskinan menurun di ujung era kepemimpinannya saat ini. Yakni menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,28 juta orang (11,25%), atau berkurang sebesar 0,32 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebesar 28,60 juta orang (versi BPS). Maka dengan sesumbar, SBY dalam pidatonya mengatakan, kita dapat menarik nafas lega karena sejak 2004, angka kemiskinan terus menurun, walaupun sempat ada masa angka ini meningkat. Khususnya di tahun 2005, karena krisis kenaikan harga minyak di dunia. Namun dalam lima tahun terakhir, lanjut SBY, Pemerintah telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin sekitar 4,5 juta orang.
Pada tahun 2009, jelas SBY, persentase penduduk miskin masih mencapai 14 persen atau sekitar 32 juta penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2014, tingkat kemiskinan turun menjadi 11 persen atau sekitar 28 juta penduduk. “Walaupun terus menurun, kita tetap tidak puas dengan angka ini, dan kita akan terus berupaya mencapai angka nol kemiskinan absolut di bumi Indonesia. Namun efektifitas pembangunan nasional tidak semata-mata diukur dari pengentasan kemiskinan. Ukuran lain yang juga penting adalah : pertumbuhan kelas menengah,” demikian Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraannya, kemarin.
Pidato lantang SBY ini pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Bambang Soesatyo mengritik, bahwa pertumbuhan kelas menengah itu bukan fakta yang ideal untuk menjawab atau mengilustrasikan perkembangan kualitas kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. “Data statistik menyebut sekitar 28 juta rakyat masih terperangkap kemiskinan, sementara kesenjangan sosial makin melebar,” beber vokalis DPR ini, Sabtu (16/8).
Dalam konteks mewujudkan kesejahteraan umum, lanjut Bambang, beban pekerjaan bangsa ini masih sangat berat. Karena itu, klaim SBY dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-69 RI pada sidang DPR – DPD tersebut, jangan sampai ditafsir atau diasumsikan sebagai meningkatnya kualitas kesejahteraan seluruh rakyat. Apalagi, sebagian kelas menengah perkotaan membiayai beberapa kebutuhannya dengan mengandalkan kredit dari lembaga pembiayaan. “Dalam forum itu, SBY seharusnya mengedepankan fakta tentang kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya memotret kelas menengah,” pinta fungsionaris KAHMI.
Selain faktor kesejahteraan umum, ungkap Bambang, SBY juga gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Faktanya, banyak pejabat negara tersandung kasus korupsi dan ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Pada periode 2004-2012, ia telah menandatangani 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan pejabat yang dicurigai berbuat korupsi dan tindak pidana lainnya. Dan, periode 2004-2014, 277 pejabat negara di pusat ataupun daerah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, dijerat KPK karena terlibat kasus korupsi.
Kritikan terhadap SBY juga datang dari berbagai kalangan LSM dan aktivis. Ketua Umum Serikat Perjuangan Rakyat, Marlo Sitompul, menilai selama 10 tahun berkuasa Presiden SBY gagal mengatasi kemiskinan. Padahal, dari awal kemerdekaannya, negeri Indonesia didirikan untuk mensejahterakan rakyatnya. Sehingga siapapun yang hidup di atasnya layak dan pantas untuk mendapatkan segala hal yang disebut “sejahtera”. Karena “sejahtera” dalam UUD 45 adalah Hak yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia.
Namun kenyataannya berbeda dengan yang menjadi cita-cita bangsa. Kenyataannya pada tahun 2013 -2014 rejim SBY-Boediono membiarkan pasar menaikkan harga pangan hingga 200% pada saat Lebaran. Sementara sekitar 80 juta rakyat Indonesia berpenghasilan di bawah Rp.2 juta/tahun dan tingkat inflasi 2% per tahun. Artinya 20% dari penghasilan mereka per bulan terbuang percuma oleh karena inflasi. Ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik dan semuanya kenaikan.
“Ini belum termasuk realitas meningkatnya angka kematian ibu dan anak yang mencapai angka 355-400 kematian per 1000 kelahiran. Belum lagi realitas pengangguran yang mencapai angka puluhan juta jiwa,” ungkap Marlo sembari menambahkan, semua realitas ini tentunya membuat kita bertanya-tanya: apa sebenarnya yang sudah dilakukan oleh rejim SBY – Boediono untuk kesejahteraan rakyat? Hampir semua kebijakan rejim ini lebih berpihak pada kepentingan pengusaha besar tapi tidak untuk pekerja, pengusaha kecil, dan petani. Seperti paket kebijakan penyelamatan ekonomi misalnya, tidak ada satu program pun yang mengarah pada perluasan lapangan pekerjaan.
“Malah sebaliknya justru melemahkan upah pekerja dengan membatasi tingkat kenaikan upah pekerja. Pun program kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk program pembangunan infrastruktur rumah murah dan sanitasi tak jelas juga juntrungannya. Lalu apa yang dilakukan oleh rejim ini demi sejahteranya rakyat? Nol besar!” bebernya.
Nampaknya, SBY tidak pernah blusukan untuk mengamati dari dekat betapa masih banyaknya kemiskinan yang menimpa rakyatnya. Salas satu misalnya, pada April 2014, terungkap bahwa Ayu Nurul Farida (18 tahun) siswi SMA di Surabaya, menjual ginjalnya Rp70 juta untuk menyelamatkan keluarganya dari kesulitan ekonomi akibat ayahnya stroke, ibu kista dan adik tumor. Kejadian lainnya dialami Aisyah (8 tahun) di Medan yang terpaksa berhenti sekolah untuk mengemis di jalanan guna mencari nafkah, merawat dan memberi makan bapaknya yang stroke serta mengayuh becak untuk membawa bapaknya dari satu tempat ke tempat lain.
Demikian pula Badri dan keluarganya di Sukabumi yang terpaksa tinggal di kandang kerbau milik majikannya. Ini potret kemiskinan yang masih sangat banyak dialami masyarakat banyak dan besar jumlahnya di Indonesia. Belum lagi masih banyak warga yang tinggal di kawasan kumuh, yang dibiarkan menganggur dan miskin, akibat pendidikan rendah yang menyebabkan tidak bisa diterima bekerja di sektor formal. Lebih ngeri lagi, ada banyak yang bunuh diri akibat tidak tahan miskin. Diantarnya pada Maret 2014, seorang warga Tapung Hulu, Kampar, Aprizon Agus (60), melakukan bakar diri didalam sebuah musholah, karena himpitan ekonomi.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika memprediksi penurunan angka kemiskinan bakal sulit tercapai, menyusul melambatnya pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2014. Penciptaan lapangan kerja juga disebutnya lebih susah. Semua sektor juga akan mengalami kesulitan. “Sama saja. Sekarang pertumbuhannya kan turun semua,” kata Erani. Menurutnya, selain berdampak pada melambatnya penurunan angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2014 yang hanya 5,12% juga bakal menurunkan daya beli. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk triwulan II 2014 sebesar 5,12%. Angka itu di bawah prediksi Bank Indonesia sebesar 5,19-5,3% dan asumsi pemerintah pada APBN-P di mana pertumbuhan ekonomi pada akhir akan ditutup sebesar 5,5%.
Sebelumnya, pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengingatkan, UUD 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia harus menciptakan tatanan dunia yang berkeadilan dan sejajar antar semua bangsa. Begitu juga dengan bapak proklamator, Soekarno yang selalu mencita-citakan tercitanya dunia yang adil dan berimbang. Namun, menurutnya, hal tersebut telah dicederai oleh pemerintahan SBY yang malah ikut melibatkan diri pada lembaga keuangan Internasional yang justru sifatnya menindas dan jelas tidak adil, seperti IMF.
Bahkan, Indonesia berencana memberikan bantuan yang jumlahnya pun tidak sedikit, Rp1 miliar dolar AS atau sekitar Rp9,4 triliun. Dan fantastis itu digunakan untuk menanggulangi krisis ekonomi di Eropa. Ray sangat keberatan dengan rencana Pemerintah SBY yang akan memberikan pinjaman kepada IMF jelas terlihat bodoh. “SBY sudah salahi konstitusi kita. IMF bantu negara pada zaman Soeharto sudah salahi konstitusi, karena tidak berdasarkan kepentingan rakyat, tapi semua paham soeharto merasa konstitusi ya dirinya sendiri,” paparnya beberapa waktu lalu. (Ars)