
Jakarta – Pelaksanaan Pemilu Presiden 2014 disuguhkan dengan adanya dua kubu lembaga survei yang memberikan data hasil hitungan cepat (quick count) yang berbeda. Terdapat lembaga survei yang memenangkan Prabowo Subianto, ada juga lembaga Survei yang memenangkan Joko Widodo.
Setidaknya ada empat lembaga Survei yang telah memenangkan Prabowo yakni Indonesia Research Center (IRC), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Lingkaran Survei Nasional (LSN) dan Jaringan Suara Indonesia (JSI).
Lantas berapa biaya yang digunakan lembaga survei tersebut untuk bisa memenangkan Prabowo. Kepala IRC Yunita Mandolang, mengatakan biaya yang digunakan melakukan survei cukup besar yakni sekitar Rp2 miliar lebih. Ia mengaku itu diberikan dari milik MNC Group, yakni RCTI, MNC TV, dan Global TV.
Namun, ia membantah uang tersebut diberikan secara langsung dari pemilik MNC Group Hery Tanoesoedibjo. Ia juga menolak dikatakan uang tersebut digunakan untuk memaksa memenangkan Prabowo-Hatta. Pasalnya, Tanoe sendiri masuk dalam tim pemenangan Prabowo.
“Itu kan hanya kerjasama penyiaran saja. Mereka mendanai kita dan mereka bisa menyiarkan hasil hitung cepat kita,” ujar Yunita di Jakarta, Sabtu (12/7/2014).
Selain itu, ia juga membantah kalau IRC adalah lembaga survei yang dibuat oleh Hery Tanoe dan berada dalam naungan MNC Group. Pasalnya IRC sendiri berkantor di Gedung MNC Tower Jakarta Pusat. “Kantor kita juga memang di MNC Tower, tapi kita beda, hanya lokasinya juga yang sama,” tepisnya.
IRC Dipaki Kepentingan Politik
Berbeda dengan Yunita, mantan mantan peneliti Indonesia Research Center (IRC), Asep Saepuddin, justru mengungkapkan permainan yang terjadi di lembaga survei IRC. Menurutnya, lembaga survei bisa dikatakan kredibel jika metodologi yang dipakai benar dengan mengunakan kaidah ilmiah dan ilmu statistik.
Untuk IRC sendiri, ia mengaku lembaga survei itu kerap digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Seperti halnya ketika Hary Tanoesoedibyo terjun ke dunia politik IRC dipaksa untuk bisa menaikkan popularitas dan elektabitasnya dimana saat itu Tanoe maju menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi Wiranto dari Partai Hanura.
“IRC ini biasa dilakukan untuk dongkrak elektabilitas dan popularitas owner. Kadang dipakai juga untuk pilkada-pilkada, di mana HT di sana ikut meng-endorse sehingga terkesan ada peningkatan kerja,” ujar Asep, Jumat (11/7/2014).
Asep menuturkan, pola yang dipake oleh IRC juga tidak sesuai dengan kaidah statistik, dimana sampel yang digunakan harus mewakili semua populasi yang ada dan disesuaikan dengan data penduduk dari Badan Pusat Statistik. Sehingga survei benar-benar dilakukan secara obyektif tidak mengarang atau main sendiri.
“Kalau di IRC alasannya karena keterbatasan dana, sampling yang seharusnya bersifat probabilistik (acak, tanpa tujuan tertentu) diubah menjadi non-probabilistik (bertujuan tertentu, subyektivitas peneliti),” ujar Asep.
Misalnya saja Kata Asep, sempel yang digunakan oleh IRC kerap mengambil wilayah yang dekat aksesnya. Selain itu, apabila digunakan untuk kepentingan politik tertentu IRC sering kali mengambil sempel dari tempat basis pendukungnya. Maka secara otomatis pihak yang akan disurvei jauh lebih unggul dengan yang lain, karena tidak merata.
“Sehingga, hasilnya pun sesuai dengan keinginan klien. Saya bisa katakan, tingkat kesadaran akan penggunaan metodologi penelitian yang tepat sangat rendah di IRC. Sebagian besar orang lama di IRC, hanya memikirkan penghematan dana. Padahal seharusnya bagi peneliti, masalah dana nomor sekian, yang terpenting metodologinya benar dan bisa dipertanggungjawabkan,” tandasnya.
Sementara itu, lembaga lain yang juga memenangkan Prabowo-Hatta, Puskaptis, juga mengungkapkan sumber dana yang dipake untuk melakukan Quick Count pada Pemilu Presiden. Direktur Eksekutif Husein Yazid mengaku, pihaknya membiayai sendiri surveinya, meskipun hasil survei itu ditayangkan di TV One. “Totalnya sekitar 1,2 Miliar, itu biaya kita. TV One untuk publikasi saja,” ujar dia.
Sedangkan dari pihak Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Deny JA yang telah memenangkan Jokowi-JK, juga mengaku menggunakan biaya sendiri saat melakukan Quick Count. Biaya yang dipakai juga cukuo besar. “(Total biaya) Rp 1 miliar, tepatnya sekitar Rp 1,2 miliar, biaya sendiri,” kilah peneliti LSI Adjie Alfaraby.
Sementara itu, Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengaku biaya surveinya dibiayai oleh Metro TV. Muhtadi menegaskan, semua lembaga survei yang hendak mempublikasikan hasil quick count harus memberitahukan sumber dananya ke publik.
“Untuk konteks Pilpres, kami dibayar Metro TV. Setiap kali kita melakukan survei quick count dan sejenisnya harus diketahui dananya. Dan dana kita ditanggung Metro TV,” kata Burhanuddin kepada wartawan di Hotel Century, Jakarta, Kamis (10/7/2014).
Dia mengatakan, hasil quick count surveinya ini bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Bukan berdasarkan pesanan capres-cawapres tertentu. “Saya ini berbisnis. Kalau misanya ada yang bohong, kita langsung bawa ke polisi. Kami punya mekanisme quality control,” tuturnya.
Dia menambahkan, dirinya lebih percaya berdasarkan hasil quick count dari sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 2. Menurut dia, hasil quick count lebih akurat karena data diperoleh langsung dari Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Perbedaan hasil quick count dan penghitungan KPU, saya lebih percaya quick count. Karena teman-teman lembaga survei punya data langsung dari TPS,” kilahnya. (Abn)