Sabtu, 20 April 24

Berkunjung ke Ho Chi Minh City, Vietnam

Berkunjung ke Ho Chi Minh City, Vietnam
* Bandara Ho Chi Minh City. (Foto-foto: dok. Rinaldi Munir)

Setelah menghadiri konferensi internasional ICEEI 2017 di Langkawi, Malaysia, beberapa hari kemudian saya harus berangkat lagi ke Ho Chi Minh City, Vietnam, guna mengikuti konferensi RCCIE 2017. Konferensi ini  diselenggarakan di Ho Chi Minh City University of Technology (HCMUT).

Ini pengalaman pertama kali bagi saya berkunjung ke negara Vietnam. Jika disebut Vietnam maka yang terbayang bagi kita adalah Perang Vietnam, film Rambo, manusia perahu (yang mengungsi dan ditampung di Pulau Galang, dekat Batam), dan sebagainya. Tapi itu dulu, sekarang Vietnam tumbuh sebagai negara yang paling pesat pertumbuhan ekonominya. Vietnam  mampu mengejar ketertinggalannya setelah porak-poranda akibat perang saudara dan intervensi Amerika.

Ibu kota negara Vietnam adalah Hanoi, tetapi kota terbesar di negara itu adalah Ho Chi Minh City.  Dulu Vietnam terpecah menjadi dua negara, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Vietnam Utara yang berhaluan komunis beribukota di Hanoi, sedangkan Vietnam Selatan ibukotannya Saigon (sekarang berganti nama menjadi Ho Chi Minh City). Ho Chi Minh adalah nama pemimpin Vietnam dulu yang menjadi father of Vietnam.

Dari Bandung tidak ada penerbangan langsung ke Ho Chi Minh City. Jadi, saya naik pesawat Malindo Air dulu dari Bandung, kemudian transit di Kuala Lumpur (KLIA) selama empat jam. Dari Kuala Lumpur banyak pilihan maskapai ke Ho Chi Minh City, bisa menggunakan Vietnam AirlinesMalaysia AirlinesMalindo Air, dan sebagainya. Saya  naik Malaysia Airlines karena untuk mengikuti konferensi ini saya mendapat sponsorshipdari AUN-SEED/Net, dan pesawat yang dipilihkan adalah Malaysia Airlines.

Jadwal konferensi yang padat dari pagi sampai sore tidak memungkinkan saya untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat yang menarik di kota Ho Chi Minh City.  Meski bukan ibukota Vietnam, Ho Chi Minh City adalah kota metropolitan yang besar dan padat penduduk. Gedung-gedung pencakar langit bertebaran di mana-mana. Menurut guide orang Vietnam, penduduk kota Ho Chi Minh sekitar 10 juta jiwa. Hmmm…sepadat kota Jakarta ya.

Sesudut kota Ho Chi Minh City dari lantai sembilan Hotel Athena, tempat saya menginap.

Berada tiga hari di kota ini saya menyimpulkan kota Ho Chi Minh adalah kota dengan lalu lintas yang sangat semrawut. Jalan-jalan dikuasai oleh ribuan sepeda motor. Mobil dan kendaraan roda empat tidak terlalu banyak jumlahnya dibandingkan sepeda motor. Para biker (pengemudi sepeda  motor) tidak mempedulikan kedisiplinan berkendara. Mereka dengan seenaknya menyalip kendaraan lain tanpa bersalah, menyerobot,  mengemudikan motor dengan kencang, dan mengambil jalur yang berlawanan dengan cueknya. Tidak ada polisi yang terlihat mengatur lalu lintas. Sangat ngeri menyeberang jalan di kota Ho Chi Minh City, kalau tidak hati-hati bisa-bisa kita dilindas sepeda motor yang melaju kencang.

Yang mengherankan saya, meskipun para pemotor itu suka menyerobot dan menyalip kendaran roda empat dengan tiba-tiba, tidak ada yang marah-marah. Supir bis kami terlihat tenang saja ketika sebuah motor menyalip dari arah belakang atau arah depan  dengan tiba-tiba sehingga hampir saja tertabrak. Tidak keluar umpatan dari mulutnya karena disalip motor dengan tiba-tiba. Kalau kejadian tersebut di negara kita pasti sudah terdengar umpatan dan sumpah serapah dari mulut supir kendaraan roda empat  yang disalip tiba-tiba. Sepertinya kejadian salip menyalip dan serobot menyerobot itu sudah biasa di Ho Chi Minh City. Saya yang menyaksikan motor-motor salip-menyalip secara tiba-tiba tidak dapat menahan sport jantung. Supir mobil di Ho Chi Minh City sudah lihai tampaknya.

Universitas Teknologi Ho Chi Minh City (HCMUT) adalah universitas papan atas di Vietnam. HCMUT sudah berusia 64 tahun. Kampusnya resik dan banyak pepohonanan sehingga terasa adem berada di sini di tengah cuaca kota Ho Chi Minh yang panas.

Gerbang kampus HCMUT

Pepohonan yang rindang di dalam kampus

Narsis di HCMUT

Latar belakang adalah gambar pemimpin Vietnam masa lalu, Ho Chi Minh

Bangku-bangku sepanjang jalan untuk duduk-duduk atau belajar

Seperti halnya kampus-kampus di Indonesia, di luar kampus banyak bertebaran tempat usaha foto copy dan pedagang kaki lima yang berjualan makanan. Rasanya saya sedang tidak berada di Vietnam, tetapi serasa berada di Indonesia saja.

Tempat usaha foto copy di luar kampus HCMUT

Pedagang kaki lima di sekitar kampus

Serasa bukan di Vietnam

OK, hanya segitu pengalaman saya di kota Ho Chi Minh City.  Seperti yang saya bilang tadi, saya tidak sempat mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini. Hanya pada malam hari saja kami menuju pusat kota untuk makan malam. Oh iya, bagi muslim harap berhati-hati makan di Vietnam karena sebagian besar makanan di sini tidak halal, banyak mengandung daging babi. Baik di hotel atau di restoran saya hanya berani makan ikan dan telur saja. Makan nasi goreng di hotel juga harus berani bertanya ke pelayan campurannya apa saja. Jika campurannya sayuran dan telur saya berani makan, tetapi jika ditambah dengan daging maka saya pun mundur, he..he.

Mata uang Vietnam adalah Dong. Satu Dong Vietnam nilainya setara dengan 0,6 rupiah. Jadi jangan kaget jika daftar harga di Vietnam mempunyai banyak angka nol. Nilai uang di Vietnam sangat rendah, lebih rendah dari mata uang rupiah kita. Sebagai contoh misalnya, harga sebotol Coca-cola di hotel 26.000 dong. Ketika menginap di hotel, petugas hotel meminta uang deposit sebesar 2.000.000 dong atau setara 100 dolar. Jadi, tidak hanya negara kita saja yang memiliki uang dngan nilai rendah dan banyak angka nol, Vietnam lebih parah lagi, he..he.

Vietnam adalah negara komunis. Delapan puluh persen penduduknya tidak memiliki agama atau memiliki kepercayaan lokal yang dipengaruhi oleh konfusianisme dan taoisme dari Cina (Sumber dari sini). Hanya 20% saja yang mengidentifikasikan dirinya dengan agama. Dari 20% itu agama yang terbesar adalah Budha, lalu Kristen dan Katolik, Hindu, dan Islam. Penganut Islam hanya sekitar 100 ribu yang kebanyakan dari etnis Cham di barat daya Vietnam (Sumber dari sini). Terdapat beberapa masjid di Ho Chi Minh City tetapi saya belum berhsil menemukannya. Menurut teman saya peserta konferensi dari Malaysia, di Ho Chi Minh City terdapat sebuah kampung yang bernama kampung Melayu. Di kampung ini ada masjid dan rumah makan yang menjual makanan halal. Sayang sekali saya tidak sempat ke sana karena pulang sudah malam.

Kembali ke Jakarta saya menggunakan Vietnam Airlines dari bandara Ho Chi Minh City. Maskapai ini tergabung dengan Skyteam sehingga kartu miles Garuda kita bisa dipakai di sini. Bandara Ho Chi Minh City sangat padat hari itu. Cukup lama kami antri di imigrasi. Setelah dari imigrasi kita harus antri lagi menuju ruang tunggu. Pemeriksaan di X-rayterakahir agat ketat. Kita sampai perlu membuka sepatu dan sandal lalu ditaruh di atas baki. Baru kali ini saya diminta melepas sepatu, padahal biasanya cukup ikat pinggang, dompet, jam tangan dan HP.

Antri check-in di konter Vietnam Airlines

Bandara Ho Chi Minh City sangat megah, mirip dengan Terminal 3 Soekarno-Hatta. Saya menghabiskan persediaan uang Dong dengan berbelanja di toko-toko di ruang tunggu penumpang. Saya hanya membeli mainan tempel magnetik kulkas dan durian kering. Harganya semua dalam dolar.

Ruang tunggu penumpang

Vietnam Airlines

Yang menarik di bandara ini adalah tersedia kamar-kamar tidur (sleep zone) bagi calon penumpang yang ingin beristirahat. Saya tidak tahu apakah kamar tidur ini gratis atau bayar.

Kamar-kamar tidur di bandara

Kapan-kapan saya ingin ke Vietnam lagi, tetapi bukan ke Ho Chi Minh City, melainkan ke Hanoi. Di dekat Hanoi ini ada tempat wisata yang terkenal yaiu Halong Bay. OK, suatu saat nanti jika ada kesempatan. (Rinaldi Munir, Dosen Teknik Informatika ITB)

Sumber: rinaldimunir.wordpress.com

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.