Kamis, 25 April 24

2019: Uji Materi Kesiapan Partai Politik

2019: Uji Materi Kesiapan Partai Politik

Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

KPU sebagai penyelenggara pemilu serentak 2019, kini bekerja kian ekstra. Pasalnya hajatan Pilpres, Pileg, Pilkada, dan Pilwakilda, bersamaan. Ujian terberat dan terbesar bagi KPU. Hal menarik justru bisa diamati pada kesiapan partai politik. Pasalnya, dalam politik demokrasi instrumen parpol menjadi penentu utama, bahkan pemain utama. Tak ayal, jika ingin berkuasa maka parpol lah pintu utama.

Konsekuensi multyparty system (sistem banyak partai) di Indonesia berdampak pada penyiapan kader dan mesinnya. Partai di Indonesia seperti bakso beranak. Awalnya satu partai, berkembang menjadi puluhan partai. Berbeda pada masa Soeharto yang partai berfusi pada PPP, Golkar, dan PDI. Jika ditelisik kembali, ketua parpol yang ada pun tidak berlepas dari induk semangnya, yaitu Golkar di masa orde baru.

Satu hal tantangan parpol dalam menyiapkan kader yakni apatisme politik rakyat dan keengganan rakyat berpolitik. Demi menarik minat, akhirnya parpol menakut-nakuti, ‘jangan sampai parlemen dikuasai orang-orang rusak, harus ada orang baik yang mewarnai’. Sepintas, hal itu mewakili wajah demokrasi Indonesia yaitu wadah bagi yang baik dan rusak, serta tumbuhnya kerusakan sistemis karena disebabkan demokrasi yang liberalistik.

Pada akhirnya publik menilai parpol asal comot demi memenuhi kuota. Tak heran pula, di beberapa daerah ada parpol yang tidak bisa ikut pemilu karena tidak menyetor nama calegnya. Ada beberapa faktor ketidaksiapan parpol di Indonesia menyiapkan kadernya.

Pertama, basis ideologi partai di Indonesia masih abu-abu. Dibilang Pancasila, sikapnya sering melanggar Pancasila. Dibilang agama, seringnya menolak hukum dan negara agama. Dibilang sosialis kerakyatan, hidupnya perlente dan borjuis. Jika demikian, maka ideologi sesungguhnya parpol yaitu ‘kepentingan’.

Kedua, kader yang dipiiih lebih karena ketokohan dan ketenaran. Hal ini bisa diambil dari kalangan artis, rohaniawan, dokter, aktivis, tokoh kepemudaan, dan tokoh masyarakat berpengaruh. Parpol memandang ini cara cepat menyiapkan kader. Padahal kader itu tidak bisa karbitan, harus dibangun dari pondasi awal. Kalaulah yang dipilih sekadar orang berpengaruh, maka ke depan kader ini akan kendor lalu hilang tak berpolitik.

Ketiga, partai politik tidak jelas visi dan misinya membangun Indonesia. Mereka tidak memiliki road map dan blue print untuk mewujudkan Indonesia yang sejahterah dan berdikari. Jualan program pada musim kampanye, hanya agenda cabang dan tidak menyelesaikan persoalan. Kekaburan visi misi partai inilah yang mengakibatkan Indonesia tidak bisa dijadikan kiblat politik dalam membangun peradaban.

Keempat, demokrasi senantiasa meniscayakan koalisi dan oposisi. Demi satu kepentingan kursi kepresidenan, mereka berkoalisi. Tak jarang pun mereka bersebrangan dalam kepentingan meraih dukungan rakyat. Bisa dipastikan koalisi yang dibangun berdasar pragmatisme, saling melindungi dari dosa politik, dan menghantam lawan politik. Sementara, oposisi akan terus mencari celah untuk memutus kepercayaan rakyat pada koalisi. Segala hal kesalahan menjadi amunisi tembak yang mematikan.

Kelima, minimnya komitmen dalam mendidik politik pada rakyat. Partai politik dan kadernya baru hadir pada musim pemilihan. Pasca musim panen, rakyat ditinggalkan dan suaranya digadaikan pada tengkulak dan broker politik. Parpol sibuk mengawal hitung-hitungan suara perolehan, dibanding memikirkan nasib rakyat yang sudah sekarat.

Model pendidikan politik seharusnya mulai menjadi program harian parpol. Tidak menunggu tahun politik. Pendidikan politik ini dimaksudkan untuk mengajak rakyat mau mengoreksi, berkontribusi memberi solusi, mendengarkan aspirasi, dan keterbukaan informasi. Hasil akhirnya harus diarahkan pada politik yang bermakna mengurusi urusan rakyat dengan sistem dan aturan yang membawa keberkahan (syariah).

Keenam, parpol gagal mengidentifikasi jantung persolan Indonesia. Carut marut Indonesia bukan sebab maraknya korupsi, pendidikan rendah, negrawan yang tak bisa dipanut, atau ketidakmampuan anak bangsa. Itu semua adalah sebab dari tidak diterapkannya aturan Allah Swt. Pengabaian syariah Islam itulah yang mengakibatkan ekonomi terpuruk, tambang dikuasai asing, moral rakyat dan pejabat rusak, kriminalitas yang tinggi, dan semua persoalan lainnya. Karenanya, parpol harus memiliki agenda keumatan untuk lepas dari permasalahan utamanya.

Tahun 2018 dan 2019, rakyat wajib uji materi kesiapan partai politik. Benarkah parpol itu bekerja untuk rakyat? Ataukah sekadar jargon demi kepentingan duduk di kursi kekuasaan? Kini rakyat sudah bisa melihat dan belajar dari penguasa yang ada. Masih berharapkan dengan kondisi seperti ini? Atau harus bergeser ke arah yang lebih baik dan diridhoi Allah. Sudah saatnya pula, ada partai politik yang mampu menegakkan am ar ma’ruf nahi munkar, baik di dalam atau di luar kekuasaan. Adakah parpol itu? (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.